Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Sekolah buat yang tidak ingin minder

Tata krama dan etiket itu berkait erat. sekolah pengembangan pribadi John Robert Powers (JRP), jakarta, menawarkan cara berpenampilan menarik. di bandung, ada studio intermodel khusus buat wanita.

11 Maret 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WAJAHNYA cantik. Tubuhnya semampai (162 cm, 55 kg). Dia adalah Harni Rinaldi, 35 tahun, seorang instruktur senam yang cukup beken di berbagai sanggar senam di Jakarta. Ia pernah menjadi atlet loncat indah yang berulang kali membela panji Indonesia di arena internasional pada tahun 1970-an. Toh ia merasa ada kekurangan dalam dirinya. "Saya suka gugup kalau berbicara di depan orang banyak. Saking gugupnya, sampai lupa apa yang mesti diucapkan," tuturnya. Berbagai cara sudah dia lakukan untuk mengobati "penyakitnya" itu. Namun, kegugupannya itu terus membandel. Padahal, profesinya sebagai instruktur senam menuntut ia harus tangkas berbicara dengan orang banyak. Pada saat itu -- dua tahun yang silam -- ia mengaku dihinggapi perasaan minder. Pikir punya pikir, akhirnya ia melangkah ke sebuah lembaga pendidikan yang bernama Sekolah Pengembangan Pribadi John Robert Powers (JRP) di Jakarta. Suatu tempat yang menawarkan seseorang untuk dapat mengembangkan kepribadiannya. Salah satunya, pelajaran tentang bagaimana cara berbicara dan tampil di depan umum. Selama sekitar 3,5 bulan Harni melalap berbagai jurus yang diberikan. Hasilnya, penyakit Harni sembuh. "Sekarang saya sudah tidak minder lagi, dan memiliki rasa percaya diri kalau berbicara dan tampil di depan umum," katanya. Program pendidikan yang ditawarkan JRP memang tak melulu "cara berbicara dan tampil di depan umum". Tapi juga belajar tentang berbagai hal lain yang intinya menumbuhkan rasa percaya diri yang lebih besar pada seseorang. Supaya luwes dalam pergaulan. Ini merupakan modal buat menapak ke puncak karier. Dan bekal dalam pergaulan sehari-hari. Sekolah yang mengajarkan "ilmu bergaul" seperti JRP itu kini bermunculan di mana-mana. Peminatnya cukup besar. Khususnya bagi mereka yang tergolong dalam kelompok masyarakat menengah ke atas yang merasakan perlunya menguasai ilmu itu. Hubungan dalam keluarga kini juga berubah. Budi pekerti, aturan sopan santun, dan berbagai tata cara pergaulan yang dulu diajarkan dalam keluarga juga cenderung diabaikan. Banyak orang tua mengeluh: anak-anak muda sekarang "tidak tahu adat". Gaya hidup juga berubah. Misalnya: kini banyak perjamuan yang menuntut orang memahami bermacam menu dan "menguasai" cara menggunakan berbagai macam piring, gelas, sendok, garpu, dan pisau. "Peningkatan kehidupan modern-internasional juga menyebabkan kita banyak berhubungan dengan bangsa asing. Ini mengakibatkan peningkatan kebutuhan akan tata cara internasional: penampilan diri, tata bicara, postur, sopan santun antara pria dan wanita, seperti cara mempersilakan duduk," ujar Joop Ave, Dirjen Pariwisata. Tanpa menguasai tata cara itu, orang bisa minder. Atau bisa menimbulkan kelucuan yang menyedihkan. Seperti sebuah anekdot ini. Seorang nyonya cantik yang berdandan dan bergaya mutakhir datang ke suatu restoran internasional bersama beberapa temannya. Cas-cis-cus ia berbicara, diselingi kata-kata asing. Ia lalu memesan steak. Pelayan bertanya, apakah sang nyonya ingin memesan steak yang rare, welldone, atau medium. "Jangan yang medium, itu kebanyakan. Saya mau yang small saja," jawab sang nyonya. Kebutuhan untuk belajar "ilmu bergaul" ini tampaknya memang meningkat belakangan ini. Kini hampir semua majalah wanita menyediakan halaman khusus untuk menjawab pertanyaan pembaca tentang masalah etika sehari-hari. Tumbuhnya lapisan-lapisan menengah dan kaya di Indonesia tampaknya mendorong juga kecenderungan ini. Kebutuhan itulah yang dicoba dipenuhi oleh berbagai sekolah etiket atau "pengembangan pribadi". "Saya rasa memang perlu adanya sekolah etiket. Karena ini menyangkut pembentukan sikap dan pribadi," kata Rae Sita Supit, Direktur PT Sahid Gema Wisata. Itu sebabnya ia menyekolahkan anaknya ke JRP. "Untuk pria, juga penting," katanya. Benar. Ternyata, banyak pria yang masuk ke JRP. Ajidinata, 27 tahun, misalnya kini sedang sibuk "membenahi" penampilannya. Jabatannya sebagai asisten manajer di sebuah perusahaan minyak asing di Balikpapan menuntut ia harus tampil penuh percaya diri. Tapi, seperti juga Harni, "Saya gampang gugup kalau di depan orang banyak," katanya berterus terang. Apalagi bulan depan ia ditugaskan kantornya ke Los Angeles, AS, untuk belajar komputer selama 2 tahun. Pria yang berpakaian necis dengan celana baggy dan berkumis tipis itu akhirnya ikut kursus. Di JRP dia mendapat pelajaran tentang cara jalan, berdiri, duduk, ekspresi suara, perawatan rambut dan kulit, tata busana dan tata krama pergaulan. Ia harus mengeluarkan Rp 560.000 untuk paket pendidikan yang akan diselesaikan dalam beberapa minggu itu. Ada juga yang belajar secara kelompok. Tahun lalu, misalnya, ada 22 instansi swasta dan pemerintah -- seperti Bank Niaga, Hotel Sari Pacific, Hotel Indonesia, Bank Bumi Daya. Bank Perkembangan Asia, Lemhanas -- yang meminta bantuan JRP untuk meningkatkan kemampuan karyawannya. Menurut General Manager Hotel Indonesia (HI), Banuarto Dasuki, kini tingkat pengisian HI semakin membaik setelah sejumlah karyawannya mendapat pendidikan "peningkatan kepribadian". "Karyawan hotel kami sekarang lebih ramah, lebih murah senyum, dan penampilannya bersih," katanya. Bank Niaga juga punya alasan yang hampir serupa. Itu sebabnya, Andi Mohamad Hatta, Wakil Presiden Bidang Sumber Daya Manusia dari bank tersebut, merasa tak rugi menyisihkan anggaran Rp 10 juta untuk 5 kali kursus "peningkatan kepribadian". "Di bank harus ada sentuhan pribadi. Penampilan harus necis. Kalau jorok, mana ada customer yang mau datang," katanya. Sebagai sebuah lembaga pendidikan yang berpusat di Boston, AS, JRP baru membuka cabangnya di Jakarta pada pertengahan tahun 1985 silam. Kini sekolah yang dipimpin oleh Nyonya Mien Uno ini punya siswa sekitar 400 orang. Alumnus JRP di Jakarta diperkirakan sudah lebih dari 1.000 orang. Gaung JRP juga sampai ke Surabaya. Jumat pekan lalu, kursus JRP yang yang berlangsung lima hari, di Hotel Bumi Hyatt, berakhir dengan sukses. Banyak istri pejabat daerah yang tertarik dan ikut bergabung, seperti Ny. Sugeng Subroto, istri Pangdam V Brawijaya Ny. Sularso, istri Gubernur Jawa Timur dan Ny. Mieke Soedarso, istri Rektor Universitas Airlangga. "Para istri pejabat itu mengaku bingung jika melayani tamu asing. Mereka tidak tahu kapan say hallo itu mulai diucapkan. Untuk itulah kami membantu mereka agar jadi balanced dengan kedudukan suami," ujar Maria Soepomo, instruktur yang mengajarkan ekspresi suara dan tata rias. Bekas kiper PSSI Maulwi Saelan juga memanfaatkan ladang bisnis pendidikan bidang ini. Ia kini menjadi Direktur Sekolah Pengembangan Citra Pribadi "Etika". "Di sekolah ini kami menekankan soal kepribadian nasional yang dikaitkan dengan internasional," kata Saelan, yang hingga kini masih aktif memimpin Dewan Pelatih PSSI. Saat ini, di Sekolah Etika ada sekitar 200 siswa yang mengikuti pelajaran dengan kurikulum yang tak jauh berbeda dengan yang ada pada JRP. Alumnusnya sudah 200 orang. Ini belum termasuk peminat yang hanya mendengar kiat dalam seminar atau ceramah sehari yang diadakan oleh Sekolah Etika. "Kalau dihitung-hitung, sudah 2.000 orang yang mengikuti seminar sehari yang kami adakan," ujar Paula D. Wiryawan, Wakil irektur Sekolah Etika. Di Bandung juga ada sekolah sejenis. Namanya: Studio Intermodel (SI). SI ini dipimpin oleh alumnus JRP cabang San Francisco (1979), Ny. Soewarti Berbudi Tjokrowinoto. Tak seperti JRP dan Etika, peminat SI ternyata semuanya kaum hawa. Maklum, ini memang sekolah etiket yang lebih mengarah pada pendidikan keperagawatian. "Saya ingin mengubah citra peragawati. Jangan cuma lincah dicat walk, tapi juga memiliki kepribadian yang bagus," kata Ny. Soewarti. Sekolah yang berdiri sejak tahun 1983 itu hingga kini sudah meluluskan 300 wanita "Kami tak terlalu komersial, tiap angkatan hanya kami isi dengan 10 murid," kata Ny. Soewarti lagi. Biaya yang dipungut Rp 200.000 untuk pendidikan selama 3 bulan. Tata krama dan penampilan memang -- lengket bagaikan mata uang yang memiliki dua sisi. Inilah yang disebut Etika. Penampilan boleh bagus, tapi kalau tak punya tata krama berarti "kurang ajar". Tata krama bagus tapi penampilan payah berarti memble. Menjamurnya salon kecantikan dan toko butik di mana-mana, menurut Nyonya Sinta Soeharto, adalah akibat dari makin banyaknya orang sadar akan beretiket. "Orang ingin tampil lebih percaya diri. Penunjangnya adalah dengan tampil serasi," begitu dia menjelaskan. Jadi, pentingkah sekolah etiket? Ternyata, tak semua orang menganggap sekolah etiket itu mutlak diperlukan. Bagaimanapun, menurut Ny. Karlina Wirahadikusumah, bekas Nyonya Wapres, "Tata krama bisa dibentuk dan ditanamkan sejak masih kecil. Dengan begitu, kebiasaan bersikap santun tidak akan luntur. Dengan sendirinya, ia tak perlu kursus tentang etiket lagi," tuturnya. Perancang mode Iwan Tirta juga setuju. "Justru pendidikan tata krama harus dimulai dari rumah," katanya menerangkan. Titi Dwijayanti, penyanyi yang mengikuti lomba Miss World 1983 di London, pernah mengenyam pendidikan di JRP tiga tahun yang silam. "Saya tertarik pada brosurnya. Asyik juga, sih, belajar makan ala Barat dan berbicara di depan umum," ucapnya. Ia mengikuti pendidikan itu dengan harapan bisa untuk bekal kariernya sebagai penyanyi. Namun, setelah mengakhiri pendidikan di JRP, Titi mengaku, "Biasa-biasa saja. Rasanya malah aneh, kok remaja jalannya mesti anggun seperti ibu-ibu," katanya. Untuk tingkat kadar dan kepentingan tertentu, pendidikan etiket tampaknya memang diperlukan. Misalnya, untuk mereka yang akan bertugas sebagai diplomat, artis, atau tokoh masyarakat. Namun, memang aneh kalau seseorang setiap waktu harus mengatur secara rinci bagaimanakah cara berjalan, mengangguk, menoleh, tertawa, dan sebagainya. "Lucu, deh. Padahal, yang juga penting adalah spontanitas," tutur La Rose, yang sering mengisi rubrik etiket "Timbang Rasa" di majalah Sarinah.Ahmed K. Soeriawidjaja, Linda Djalil, Yudhi Soerjoatmodjo, Sri Pudyastuti, Hedy Susanto, dan Wahyu Muryadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum