Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rencana penambahan komando daerah militer (kodam) masih menimbulkan polemik. Saat ini, rencana penambahan kodam di tiap provinsi prosesnya masih di Markas Besar Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Guru besar Universitas Pertahanan, Syamsul Maarif, menyatakan pembentukan komando daerah militer atau kodam baru harus dikembangkan dalam konteks ancaman nonmiliter. Salah satunya keterlibatan militer dalam penanganan pandemi Covid-19.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Syamsul, peran militer sangat dibutuhkan masyarakat dalam penanggulangan kebencanaan. "Memang perlu ada semacam kajian bagaimana dukungan publik (penambahan Kodam), karena sampai saat ini, saya melihat kalau ada bencana yang diminta duluan pasti tentara," kata dia dalam Focus Group Discussion: Pro dan Kontra Penambahan Kodam yang diselenggarakan Tempo Media Group, Rabu, 31 Mei 2023. Acara tersebut disiarkan langsung dikanal YouTube Tempodotco.
Mantan Kepala Pusat Penerangan TNI ini, mengatakan ancaman militer dan nonmiliter. Kedua ancaman tersebut, kata Syamsul, sangat berkaitan. Pembentukan kodam baru sebagai tuntutan masyarakat dalam konteks operasi militer selain perang.
Pakar Ketahanan Nasional dan Intelijen Universitas Indonesia, Margaretha Hanita, mengatakan perlu kajian akademis tentang penambahan Kodam baru. "Seandainya harus ditambah, apakah tiap provinsi membutuhkan,” ujarnya.
Menurut dia, apakah 34 provinsi di Indonesia membutuhkan peran TNI. “Kalau butuh, apa potensi ancamannya. Apakah ancaman semua provinsi sama sehingga harus ditambah 22 kodam,” tutur Hanita.
Kebutuhan kodam baru butuh kajian akademis dan harus melihat kebutuhan dari pemerintah daerah. “Harus ada justifikasi bahwa memang pemda membutuhkan. Apakah kajian ini ada atau tidak,” kata dia.
Hanita mengatakan harus ada referensi yang tepat tentang pembentukan kodam baru. “Karena Kodam khas Indonesia banget, karena di negara lain tidak ada," ucapnya.
Adapun Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan pemerintah harus membentuk Dewan Pertahanan Negara sesuai amanat Undang-undang Nomor 3 Tahun 2002. “Sampai saat ini belum dibentuk,” tuturnya.
Padahal, kata dia, amanat undang-undang negara harus membentuk Dewan Pertahanan Negara yang merumuskan kebijakan pertahanan negara, ancaman atau persepsi ancaman. “Hasil analisis kemudian, dituangkan dalam sebuah kebijakan dan dilaksanakan.”
Sampai saat ini, lanjut Usman, Indonesia tidak bisa memetakan geopolitik strategis dari peta regional atau dunia di dalam urusan pertahanan. “Begitu juga dengan usulan penambahan kodam yang dilakukan tanpa kajian pertahanan yang seharusnya melalui dewan pertahanan negara,” ujarnya.
Menurut dia, pembentukan kodam baru hanya memperlihatkan kuatnya orientasi pembangunan poster pertahanan ke dalam atau dalam negeri. “Bukan ancaman dari luar,” tuturnya.
Pakar hukum internasional dari Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana, menyatakan pembentukan kodam baru di Ibu Kota Nusantara (IKN) penting. "Bukan diartikan siap perang, tapi siap membertahankan diri yang akan mengganggu Indonesia sebagai negara,” kata Hikmahanto yang juga Rektor Universitas Jenderal Ahmad Yani, Cimahi, Jawa Barat.
Mantan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara-Reformasi Birokrasi Asman Abnur, mendorong reformasi kelembagaan di bidang pertahanan, khususnya di TNI Angkatan Darat. Dia mendukung pembentukan kodam baru khususnya di wilayah kepulauan.
Menurut Asman, reformasi kelembagaan militer sangat mendesak sesuai tuntutan zaman. “Tantangan yang dihadapi sangat dinamis. Karena zamannya sudah berubah, tantangan dihadapi juga sangat dinamis,” tuturnya.
Reformasi kelembagaan TNI, kata dia, agar militer Indonesia tidak ketinggalan di era digital dan teknologi tinggi. “Saat ini momentum yang baik dalam pemerintahan untuk untuk melakukan perubahan-perubahan itu," ucap Asman.