Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INFO NASIONAL-Terobosan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)untuk melakukan formulasi ulang tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) berpotensi konstruktif bagi perikanan nasional. Namun perlu diperhatikan bahwa PNBP bukanlah tujuan akhir pembangunan perikanan. Prinsip keadilan dan keberlanjutan juga patut diperhatikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kendati mekanisme penerapan PNBP berbasis izin selamaini terlihat mudah, kontribusinya relatif belum maksimal terhadap penerimaan negara. Kondisi ini terjadi karena tingginya tingkat ketidakpastian usaha (uncertainity), terutama dalam kegiatan penangkapan ikan. Disisi lain, sebagian besar nelayan yang bergerak di bidang penangkapan ikanmasih berada pada skala kecil dan tradisional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Reformasi perikanan
Ada dualangkah penting yang perlu direformasi untuk menyiapkan kerangka ekonomi yang lebih berkeadilan dan berkelanjutan di sektor perikanan. Pertama, melakukan revisi Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan38 tahun 2015 tentang PNBP, dan kedua mengimplementasikan pendekatanpembangunan berbasis Wilayah Pengelolaan Perikanan atau WPP basedeconomy.
Pertama, terkait revisi Permen KP No 38 tahun 2015. Permen yang menerapkan mekanisme pendapatan berbasis izin memang memudahkan pemerintah dalam mengukur penerimaan. Karena dalam rezim keuangan jumlah PNBP akan setara dengan izin yang diberikan. Namun, ada dua hal yang luput yaitu besaran izin yang bisa diberikan menurut bentuknya dan daya dukung usaha yang mampu dibangun, serta mekanisme insentif bagi pengusaha ketika tidak ada hasil tangkapan.
Masih ada kesulitan dalam mengkalkulasi daya dukung stok untuk industri penangkapan dan pengolahan. Misalnya, untukmenangkap potensi sebanyak 10 juta ton stok pada MSY (potensi lestari yang aman), perlu diketahuiberapa armada, baik berbasis industri maupunsmall scale fisheries. Begitu juga izin yang dapat diberikan untuk industri pengolahan dibagian hilir. Berdasarkan hitungan penulis, dengan 10.5 juta ton potensi MSY, izin yang bisa diberikan hanya sebesar 3.120 unit UMKM dan industri. Ini sesuai dengan kapasitas bahan baku dan tingkat kapasitas efektivitas industri pengolahan dengan waktu produksi mencapai 312 hari dalam setahun. Izin masih dapat ditingkatkan untuk memanfaatkan potensi di laut lepas dengan keterlibatan Indonesia di Regional Fisheries Management Organisations (RFMOs)pada perikanan tuna. Dengan keterukuran stok yang baik, kita tidak perlu mengobral perizinan, karena informasi ketersediaan stokikantersedia dengan jelas.
Selain itu, untuk memastikan keterukuran stok ikan dan ketelusuran hasil tangkapan, pemerintah perlu mempertimbangkan insentif bagi pelaku usaha penangkapan ikan. Insentif tersebut diberikan saat pengusaha mampu menangkap dan melaporkan data dengan baik, maupun saat hasil tangkapanikan menurun atau hilang ketika musim gelombang tinggi. Insentif dapat dirancang berupa dukungan informasi dan dukungan dalam penguatan sistem usaha terintegrasi dihilir.
Kedua, terkait implementasi pendekatan pembangunan berbasis WPP. Sebagaimana diketahui, pengelolaan perikanan berbasis WPP akan mampu mengakomodasi keragaman potensi, dan kompleksitas tata kelola perikanan di seluruh perairan Indonesia yang luas. Namun, masih banyak pekerjaan rumah yang patut diselesaikan agar penerapannya berjalan baik. Contoh, dalam WPP telah diatur bahwa mekanisme pendaratanikandilakukan di Tempat Pendaratan Ikan(TPI) baik untuk small scale fisheries (SSF) maupun large scale fisheries (LSF). Faktanya, masih terjadi tempat pendaratan ikan yang tidak direkomendasikan,yaitu pada pengepul atau tangkahan.
Pemerintah harus mampu memetakan persebaran dan kondisitempat pelelangan ikan (TPI) di seluruh WPP, sekaligus memetakan jumlah SSF dan LSF yang dimiliki setiap WPP. Untuk LSF, pemerintah tinggal meminta kewajiban semua kapal berizin pusat atau daerah mendaratkan perikanannya di TPI. Sementara untuk SSF atau artisanal fisheries, pemerintah harus memperkuat mekanisme insentif dan disinsentif.
Nelayan kecil yang ada selama ini belum dianggap sebagai tenaga kerja resmi, harus diakomodir pemerintah. Pemerintah harus memastikan bahwa pengelolaan perikanan yang didorong pemerintah ini akan membuat mereka mendapat penghasilan yang layak. Ketika berpenghasilan kurang dari upah minimum,maka diberikan subsidi, misalnya untuk pendidikan dan kesehatan. Insentif ini diberikan apabila nelayan mendaratkan atau melaporkan/ mencatatkanhasil tangkapannya di TPI. Sedangkan apabila nilai tangkapan lebih dari upah minimum, maka beban retribusi ditetapkan dengan jumlah yang berkeadilan. Dengan mekanisme ini, semua hasil tangkahan akan tercatat dengan baik dan potensi ikan akan bisa dicatat lebih realistis dan kebijakan juga akan lebih baik.
Lalu bagaimana dengan tangkahan yang sudah ada dan berkembang? Dalam konteks perikanan Indonesia selama ini, mekanisme tangkahan dan patron-klien sudah begitu melekat dalam masyarakat. Mekanisme ini sudah berkembang menjadi kontrak sosial antara pengumpul dan nelayan penangkap ikan. Jika tangkahan menjadi sebuah private landing based, maka pemerintah harus memastikan bahwa tangkahan menerapkan mekanisme data yang presisi sesuai standar dari pemerintah, dan diberikan insentif bagi penangkapan yang dikelola tangkahan. Ketika beban insentif bagi nelayan dilimpahkan pada pengepul, maka pengepul juga bertanggung jawab terhadap kelangsungan dan kesejahteraankliennya. Ketika pengumpul tidak mampu maka peralihan dapat dilakukan kepada pemerintah melalui proses di TPI.
Dalam mendukung operasionalisasi ini, proses tata kelola presisi yang terukurberbasis WPP akan sangat dibutuhkan dan perlu disiapkan sistem ketertelusurannya. Akan terlihat mana WPP yang bertumbuh, lambat pembangunannya ataupun terhambat. Sehingga kebijakan operasionalisasi, pengawasan, termasuk share ekonomi dengan daerah dan ekonomi berbasis WPP dapat dikembangkan.
Tiga Pilihan
Pemerintah harus mampu melakukan tiga hal di setiap WPP, yaitu; pertama pemanfaatan instrumen teknologi RI 4.0 untuk digitalisasi data perikanan, keduamelakukan revitalisasi pendataan berbasis TPI, dan ketiga melakukan pengawasan operasionalisasi kebijakan.
Pertama, digitalisasi data hasil tangkap sudah tidak dapat ditawar lagi. Keberadaan Industri 4.0 sudah sangat masif dan tinggal diaplikasikan. Menyiapkan instrumen aplikasi dan mekanisme operasionalnya harus dirancang secara cepat. Oleh sebab itu, penting untuk mengukur kembali kekuatan dan kerjasama multistakeholder di setiap WPP.
Kedua, aplikasi yang dibangun kemudian diadaptasikan, minimal pada level TPI. Kinerja TPI di setiap WPP adalah terkait dengan tata kelola data dan mekanisme pelabuhan. SDM TPI bukan SDM administrasi, tapi lebih pada teknis manajerial. Untuk itu perlu disiapkan mekanisme operasional TPI. Pengumpulan data perikanan di TPI bukan proyek yang dikerjakan menunggu dana harian, tapi adalah indikator kunci kinerja pelabuhan. Dengan mekanisme insentif dan disinsentif, TPI yang jadi ujung tombak data harus disiapkan juga.
Ketiga, untuk memastikan aplikasi dan kinerja TPI berjalan dengan baik, maka pengawasan baikdidarat dan dilautharus dilakukan dengan efektif di setiap WPP. Pengawasan terhadap proses penangkapan, pendaratan dan lelang harus dipastikan berjalan dengan baik, agar tidak terjadi korupsi data. Korupsi data yang dimaksud dapat berupa pengisian aplikasi tanpa penimbangan atau penggelembungan data terkait kinerja. Bentuk penukangan data adalah awal dari korupsi yang harus dimitigasi sejak awal.
Beberapa langkah diatas menjadi bagian penting untuk optimalisasi pembangunan perikanan. Sehinga menjadi mutlak menetapkan kerangka kerja berbasis WPP dalam menciptakan ekonomi perikanan yang sehat, adil dan berdaya saing. (*)
Ditulis oleh Yonvitner, Kepala PKSPL IPB