Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INFO NASIONAL – Kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen mulai berlaku pada 1 Januari 2025. Kenaikan ini merupakan implementasi dari amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dimana kenaikan ini dilakukan secara bertahap. Sebelumnya, pada 1 April 2022 telah ada kenaikan dari 10 persen menjadi 11 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Pengamat Pajak Yustinus Prastowo, kondisi Indonesia saat ini memang berat. Melihat kondisi seperti ini, jika kenaikan PPN dapat ditunda tentu merupakan pilihan terbaik. “Tetapi saya rasa masalah timing. Kalau dicari terus yang namanya pajak naik pasti tidak akan ada yang mau,” kata dia, baru-baru ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut mantan staf khusus Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati ini, kenaikan satu persen menjadi opsi yang paling mungkin diambil untuk jangka pendek karena mempertimbangkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). “Bagaimanapun investor dan market melihat kredibilitas APBN itu menjadi sesuatu yang penting, maka yang paling penting itu yang mesti kita jaga.”
Yustinus mengatakan, situasi yang dialami pemerintah saat ini tidak mudah. Di satu sisi menjaga kredibilitas APBN, di sisi lain menjaga ekonomi masyarakat. Oleh karena itu dicari jalan tengah. Karena itu meskipun ada kenaikan pada PPN, namun pemerintah juga memberikan stimulus.
“Menurut saya kenaikan PPN ini adalah opsi yang paling mungkin diambil karena APBN harus kredibel dijalankan dengan baik tetapi masyarakat juga tidak terdampak terlalu berat dengan adanya stimulus,” ujarnya. Ke depan, lanjut dia, implementasi ini juga harus dimonitor dan dievaluasi perkembangannya di lapangan agar dapat diberikan lagi opsi-opsi lainnya dari pemerintah.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, momentum kenaikan PPN menjadi 12 persen pada awal tahun 2025 menurut dia dapat dianggap tepat, namun memiliki sejumlah tantangan dan implikasi yang perlu dianalisis dengan cermat.
Pertama, lanjut Josua, konsumsi rumah tangga menunjukkan pertumbuhan stabil sekitar 4,9 persen pada 2024, dengan inflasi yang terkendali kurang dari 2 persen hingga akhir tahun 2024. Hal ini menciptakan ruang bagi pemerintah untuk meningkatkan tarif PPN tanpa risiko besar terhadap daya beli masyarakat, khususnya karena barang-barang kebutuhan pokok tetap bebas PPN.
“Lebih lanjut lagi, PPN 12 persen diterapkan hanya pada barang dan jasa kategori mewah, seperti bahan makanan premium dan layanan kesehatan serta pendidikan premium. Barang kebutuhan pokok, jasa pendidikan dasar, dan layanan kesehatan umum tetap bebas PPN,” kata dia.
Hal ini, lanjut Josua, menunjukkan keberpihakan pada masyarakat berpenghasilan rendah. Pemerintah menurut dia telah menyediakan stimulus ekonomi sebesar Rp 38,6 Triliun, termasuk diskon listrik untuk pelanggan kecil dan bantuan pangan untuk masyarakat kurang mampu. “Stimulus ini bertujuan mengurangi dampak kenaikan PPN terhadap kelompok rentan,” ucap dia.
Pemerintah, kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, akan terus mendengar berbagai masukan dalam memperbaiki sistem dan kebijakan perpajakan yang berkeadilan. Menkeu berharap, dengan berbagai upaya ini, momentum pertumbuhan ekonomi dapat terus dijaga, sekaligus melindungi masyarakat, serta menjaga kesehatan dan keberlanjutan APBN.
Kenaikan PPN 12 persen ini menurut menkeu adalah sebuah paket lengkap komprehensif. “Dengan terus melihat data, mendengar semua masukan, memberikan keseimbangan dan menjalankan tugas kita untuk menggunakan APBN dan perpajakan sebagai instrumen menjaga ekonomi, mewujudkan keadilan dan gotong royong,” ujar dia melalui keterangan pers, 16 Desember 2024.
Pajak, kata menkeu, merupakan instrumen penting bagi pembangunan. Dalam pemungutannya selalu mengutamakan prinsip keadilan dan gotong-royong. Prinsip ini juga mendasari penerapan kebijakan PPN 12 persen persen yang bersifat selektif untuk rakyat dan perekonomian.
“Keadilan adalah dimana kelompok masyarakat yang mampu akan membayarkan pajaknya sesuai dengan kewajiban berdasarkan undang-undang, sementara kelompok masyarakat yang tidak mampu akan dilindungi bahkan diberikan bantuan. Di sinilah prinsip negara hadir,” kata menkeu. (*)