Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INFO NASIONAL – Kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen dianggap sebagai langkah yang strategis namun penuh tantangan. Menurut Ekonom Bank Permata, Josua pardede, kenaikan PPN ini bertujuan untuk memperkuat fiscal space guna mendukung keberlanjutan pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Indonesia selama ini memiliki tarif PPN yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan negara lain. “Seperti misalnya rata-rata negara yang termasuk dalam Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (Organisation for Economic Co-operation and Development/OECD) yakni sekitar 19 persen,” kata dia, belum lama ini.
Tarif PPN di negara maju seperti Prancis (20 persen), Inggris (20 persen), dan Jerman (19 persen) lebih tinggi dibandingkan rata-rata global dan juga Indonesia (12 persen per 2025). Namun, jika dibandingkan Vietnam, negara yang mempunyai julukan Negeri Naga Biru itu dan Indonesia memiliki beberapa perbedaan utama dalam hal sistem PPN.
“Vietnam menerapkan tarif PPN standar sebesar 10 persen, yang saat ini dikurangi menjadi 8 persen untuk barang tertentu hingga Juni 2025,” kata Josua. Selain itu, lanjut dia, tarif PPN 5 persen berlaku untuk barang dan jasa esensial seperti air bersih, bahan makanan, pakan ternak, dan perumahan rakyat, sementara tarif 0 persen diterapkan untuk ekspor.
“Sebaliknya, Indonesia menetapkan tarif PPN single rate sebesar 12 persen mulai 2025, namun dengan pengecualian untuk barang dan jasa kebutuhan pokok, seperti bahan makanan, pendidikan, dan kesehatan, yang dibebaskan dari PPN (0 persen),” kata dia.
Menurut Josua, Indonesia juga memiliki batasan omzet pengusaha wajib PPN (PKP) yang jauh lebih tinggi, yaitu Rp 4,8 miliar per tahun dibandingkan Rp 63 juta di Vietnam. “Transparansi dalam fasilitas perpajakan juga lebih terlihat di Indonesia, dengan nilai insentif PPN dipublikasikan mencapai Rp 265,6 triliun pada 2025.”
Pengamat Pajak Yustinus Prastowo mengatakan, idealnya PPN di negara maju memang memiliki tarif yang tinggi. Jika dibandingkan dengan negara ASEAN, Vietnam misalnya, negara itu mempunyai tax ratio yang tinggi sehingga memiliki ruang yang lebih leluasa untuk mendiskon tarif PPN-nya.
“Ratio pajak Indonesia masih 10 persen, sangat rendah. Ini tantangan kita bersama bagaimana sistem pajak dibuat semakin efektif untuk mendorong kepatuhan. Karena itu yang didorong PPN dulu karena pasca Covid-19, ekonomi harus bergeliat dulu.”
Oleh karena itu dengan adanya daya saing dengan negara lain, Yustinus mendorong pemerintah untuk meletakkan isu PPN menjadi reformasi sebagai upaya melakukan pembenahan berbagai aspek yang dilakukan secara berkelanjutan. “Bagaimana membangun sistem hukum yang kepastiannya tinggi, administrasi sederhana, birokrasi yang efektif, hal-hal seperti itu.” (*)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini