Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Ekonom Ini Sebut Indonesia Masuk BRICS Bukan untuk Dedolarisasi, tapi Perluas Mitra Dagang

Dedolarisasi yang didorong Indonesia untuk memberikan opsi bagi dunia usaha untuk tidak selalu bergantung pada dolar AS.

10 Februari 2025 | 10.14 WIB

Kepala Ekonom PT Bank Permata Josua Pardede di kantor Tempo, Palmerah, Jakarta, 25 November 2024. TEMPO/Ilham Balindra
Perbesar
Kepala Ekonom PT Bank Permata Josua Pardede di kantor Tempo, Palmerah, Jakarta, 25 November 2024. TEMPO/Ilham Balindra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai keanggotaan Indonesia dalam BRICS tidak serta-merta berarti mendukung agenda dedolarisasi yang digaungkan oleh Cina dan Rusia. Menurutnya, keputusan ini lebih bertujuan untuk memperluas mitra dagang dan memperkuat posisi ekonomi Indonesia di kancah global.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Josua menjelaskan pemerintah memang mendorong skema Local Currency Transaction (LCT) guna mengurangi ketergantungan pada dolar AS dalam perdagangan internasional. Namun, ia menekankan hal itu bukan bagian dari strategi besar untuk meninggalkan dolar secara keseluruhan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

"Kita masuk BRICS bukan untuk mendukung dedolarisasi Cina dan Rusia, tetapi lebih kepada ekspansi mitra dagang. Dedolarisasi yang kita dorong adalah memberikan opsi bagi dunia usaha untuk tidak selalu bergantung pada dolar," ujar Josua dalam diskusi tentang Dinamika Nilai Tukar di Tengah Ketidakpastian Global di Bank Indonesia Provinsi Aceh, Sabtu, 8 Februari 2025.

Josua juga menyoroti tantangan implementasi LCT yang menurutnya sejauh ini lebih banyak didorong oleh pihak Indonesia, sementara bank sentral negara mitra belum menunjukkan komitmen serupa. Ia mencontohkan penggunaan QRIS di Thailand, yang ternyata masih belum sepenuhnya dipahami oleh pihak perbankan Thailand, meskipun sistem tersebut sudah bisa digunakan oleh wisatawan Indonesia di sana.

"Kita sudah punya QRIS, sudah punya LCT, tetapi bank sentral negara mitra belum sepenuhnya siap. Jangan sampai BI mendorong, tapi bank sentral lain belum menunjukkan keseriusan serupa," kata Josua.

Menurutnya, agar skema LCT berhasil, negara mitra harus ikut serta dalam mendorong penggunaannya, baik untuk transaksi impor maupun ekspor. Jika hanya satu pihak yang aktif, maka inisiatif ini tidak akan berjalan optimal.

Josua juga menepis spekulasi soal Indonesia akan mengikuti langkah Cina dan Rusia dalam menciptakan mata uang tunggal untuk menggantikan dolar AS. Ia mengatakan fokus Indonesia adalah memberi lebih banyak opsi bagi dunia usaha, bukan menggeser peran dolar dalam sistem keuangan global.

"Cina dan Rusia memang memiliki agenda membuat mata uang khusus untuk menggantikan dolar, tetapi Indonesia tidak memiliki niatan ke arah sana," katanya.

Dengan demikian, Indonesia tetap membuka peluang diversifikasi mata uang dalam transaksi internasional, namun tanpa meninggalkan sistem keuangan global yang masih didominasi oleh dolar AS. Langkah ini dinilai sebagai strategi yang lebih pragmatis dalam menjaga stabilitas ekonomi nasional di tengah dinamika geopolitik dunia.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus