Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Secangkir kopi hangat

Hanya 6,5 % kopi indonesia yang masuk pasar dunia. ada perebutan kuota antara produsen minoritas dan mayoritas. kopi indonesia belum menyerap pasar lokal. perlu digalakkan produksi kopi arabika.

30 Mei 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAWA punya nama, Brazil punya volume. Itu bukan pemeo yang salah. Java hingga sekarang masih merupakan nama yang identik dengan kopi. Di Stockholm atau di London, hingga sekarang pun Anda masih bisa memesan kopi cukup dengan mengatakan: "A cup of Java, please". Padahal kopi yang Anda minum di itockholm atau London itu kecil kmungkinannya merupakan kopi yang datang dari Indonesia. Maklum, kontribusi negeri kita terhadap pasar kopi dunia tak lebih dari 6,5% . Bagaimana kopi bisa bernama Java? Padahal kopi bukanlah tanaman yang berasal dari Jawa? Kopi sebenarnya berasal dari Kaffa, sebuah desa di Ethiopia. Kaffa ini yang diduga merupakan pula asal nama kopi, alias coffee. Konon, para penggembala domba dan kambing pada suatu ketika merasa heran melihat hewan gembalaannya meloncat-loncat riang gembira di bawah terik matahari yang menyengat. Usut punya usut, ternyata domba dan kambing itu baru saja memakan daun dan buah dari tanaman yang ada di dekat situ. Setiap kali hewan-hewan itu memakan buah-buah kecil itu, mereka pun menjadi bertambah lincah. Para penggembala lalu ikut mencoba memakan buah itu. Ternyata, efek memakan buah itu pun mereka rasakan Mereka merasa lebih segar dan mampu bekerja lebih giat. Tentara Persia yang mengetahui khasiat biji kopi itu lalu membawa bibitnya ke Yaman, di jazirah Arab. Orang-orang Arablah yang kemudian menemukan cara untuk mengolah biji-biji yang pahit itu menjadi minuman lezat yang menyegarkan. Dalam waktu singkat, minuman baru ini terkenal pula di Turki dan Eropa. Pada awal abad ke-17, saking banyaknya kopi yang dikirim dari bandar Mocha di jazirah Arab itu, maka kopi pun pada saat itu disebut dengan nama mocha. Para pedagang pun membawa biji kopi ke India dan Srilanka, dan mulai membudidayakan tanaman kopi di negara-negara itu. Baru pada akhir abad ke-17 tanaman kopi tiba di Jawa. Tanah dan iklim yang cocok di Jawa membuat tanaman kopi cepat menjadi tanaman budidaya utama di wilayah jajahan Belanda ini. VOC pun memanfaatkan keadaan ini dan berhasil membawa kopi Jawa ke tampuk perdagangan kopi dunia. Selama seabad, kopi Jawa merajai pasar dunia. Dan, tepat seabad yang lalu, hama menyerang seluruh perkebunan kopi di Jawa. Hancurlah semuanya. Yang tinggal abadi hanyalah nama Jawa yang hingga sekarang masih identik dengan kopi. Kisah sedih yang sama dialami juga oleh teh. Dalam edisi lama Guinness Book of World Records, nama Angkola di Cianjur Selatan pernah tercatat sebagai penghasil teh terbaik dunia. Kini, bekas perkebunan teh di Angkola itu telah berubah menjadi kebun buah dan cengkeh. Brazil segera mengambil alih posisi sebagai pemasok utama kopi dunia. Dan kedudukan itu tak pernah lepas dari tangannya hingga sekarang. Kolombia dan beberapa negara Amerika Selatan lainnya, merupakan penghasil-penghasil kopi terbesar di dunia. Kopi dari Indonesia dan beberapa negara pemasok lain hanya sempat "berbicara" sebentar ketika produksi kopi Brazil terganggu, terutama pada 1975/1976 dan 1985/1986 yang lalu. Kemudian, kita menunggu lagi gangguan pemasokan kopi dunia yang akan dapat menguntungkan produsen kopi Indonesia. Dunia benar sudah kecanduan kopi. Di kebanyakan negara Barat bahkan telah terlembagakan sebuah budaya saat-saat tertentu orang berjeda dan harus minum kopi. Coffee time atau coffee break, alias rehat sejenak untuk minum kopi yang dipercaya akan menyegarkan kembali gairah kerja. Kebudayaan Barat setidaknya mengenal empat kesempatan yang sah untuk minum kopi. Secangkir kopi selalu menemani santap pagi. Pukul sepuluh rehat kopi. Makan siang dan makan malam pun baru dianggap berakhir setelah kopi dihidangkan. Belum lagi terhitung tea time pada petang hari yang mulai banyak diganti kopi, atau saat-saat menemani kerja di meja. Tidaklah mengherankan bila orang Amerika dewasa meneguk delapan hingga sepuluh cangkir kopi sehari. Dalam film-film Amerika pun tampak setiap kali orang minum kopi. Hampir di setiap pojok ruang kerja terdapat kopi mendidih dalam bejana yang siap dituang. Di tempat-tempat umum pun mesin-mesin otomat penjual kopi banyak dijumpai. Amerika Serikat memang merupakan konsumen kopi terbesar di dunia. Untunglah bahwa iklim di sana tak cocok untuk membudidayakan kopi. Akibatnya, Amerika Serikat bergantung pada pasokan dari pasar kopi dunia. Tak heran bila Brazil yang berada di selatan benua itu mengambil kesempatan sebagai pemasok utama. Maka, ketika terjadi frost dahsyat pada 1975 dan musim kering berkepanjangan di Brazil pada akhir 1985, terciptalah peluang bagi Indonesia untuk memasok kopi lebih banyak ke pasar dunia. Petani-pekebun pun terdorong meningkatkan produksi untuk menjawab peluang itu. Maklum, harga kopi sedang bagus-bagusnya. Petani tergiur memetik hasil besar dari tanaman kopi. Gangguan panen kopi Brazil pada 1985 itu mendampak selama dua tahun sehingga jatah Brazil untuk memasok 30% kopi ke pasar dunia tak terpenuhi. Peluang itulah yang kemudian diisi oleh negara-negara pemasok kecil. Tak heran bila sektor komoditi kopi Indonesia tahun lalu berhasil memasukkan devisa sebesar US$ 800 juta. "Keberhasilan itu bukan semata-mata karena kegagalan panen di Brazil," kata Dharyono Kertosastro, Ketua Umum AEKI (Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia), "tetapi juga karena ICO (Organisasi Kopi Internasional) sejak Maret 1986 tidak lagi memberlakukan kuota ekspor, sehingga pasar kopi dunia terbuka luas." Tahun ini Dharyono memperkirakan bahwa sektornya hanya akan menyumbangkan devisa sebesar US$ 650--700 juta saja. Pasalnya bukan karena jumlah kopi biji yang diekspor berkurang, tetapi harga kopi tahun ini memang lebih rendah daripada tahun lalu. "Harga kopi bahkan jatuh di bawah harga minimal yang ditetap-kan ICO," tambah Dharyono. Harga yang dipatok sebesar US$ 1,35 per Ib sesuai dengan Perjanjian Kopi Internasional 1983 itu kini tak tercapai lagi. Sejak Desember 1986 harga kopi merosot tajam. Pernah bahkan mencapai US$ 0,96 per Ib. Kini harga per Ib hanya berkisar US$ 1,05 - 1,11. ICO sempat mengadakan sidang darurat pada Januari 1987 yang lalu untuk mencegah kemerosotan harga kopi lebih lanjut. Tetapi, Sidang Darurat Dewan Kopi Internasional di London ternyata tak menghasilkan apapa. Soalnya, sidang tak hanya membicarakan kemerosotan harga, tetapi juga mendesak diberlakukannya kembali sistem kuota. Indonesia yang termasuk dalam Kelompok Minoritas bersama tujuh negara penghasil kopi lainnya juga mendukung diberlakukannya kembali kuota. Keadaan tanpa kuota sebenarnya menguntungkan Indonesia dan negara-negara Kelompok Minoritas yang kenyataannya mampu memasok lebih banyak ke pasar kopi dunia. Tanpa kuota berarti jumlah yang dipasok ke pasar dunia tak dibatasi. Begitu juga pasar-pasar non-kuota dapat dimasuki dengan harga yang tinggi. Dengan sistem kuota, selain jumlah pasokan dibatasi, juga berlaku ketentuan untuk memasuki pasar non-kuota dengan harga 50% lebih rendah. Gagalnya Sidang Darurat Dewan Kopi Internasional itu terutama karena Brazil dan penghasil kopi utama dunia lainnya menghendaki diberlakukannya kembali kuota 1983 atas dasar ketentuan-ketentuan lama yang cenderung memberlakukan ketetapan jatah lama. Tetapi, Kelompok Minoritas menghendaki agar pembagian kuota sekarang ditetapkan berdasarkan kemampuan memasok pada pasar kopi dunia selama lima tahun terakhir. Keinginan Kelompok Minoritas ini ternyata memperoleh dukungan dari negara konsumen. Padahal kuota merupakan kesepakatan antara produsen dan konsumen. Saling mempertahankan kue ini mengakibatkan status quo. Pola pemasaran kopi dunia memang sedang mengalami pergeseran. Kelompok Minoritas yang justru makin besar produksinya selalu saja terjegal usahanya untuk memperoleh jatah yang lebih adil. Indonesia berharap akan memperoleh jatah ekspor sebesar 6,5% . Dengan jatah "sekecil" itu, Indonesia kini menduduki peringkat keempat pemasok kopi dunia setelah Brazil, Kolombia dan Pantai Gading. Dharyono mengakui adanya masalah politis yang masih mengganjal. Kelompok Asia-Pasifik, misalnya, tempat Indonesia bergabung, belum mempunyai perwakilan dalam Dewan Kopi Internasional. Untuk mendudukkan seorang wakil, kelompok yang bersangkutan harus mempunyai 73 suara. Indonesia yang terbesar dalam Kelompok Asia-Pasifik mempunyai 44 suara. Filipina mempunyai 11 suara. Sedangkan negara-negara penghasil kopi lainnya di Asia-Pasifik hanya mempunyai jumlah suara yang kecil sehingga total jenderal tetap kurang dari 73 suara. Tanpa adanya seorang wakil dalam Dewan, Kelompok Asia-Pasifik ini memang tak dapat berbuat banyak. "Sebenarnya, bila kelompok mayoritas mau melihat bahwa pola produksi kopi dunia sudah bergeser, jalan buntu seperti ini mestinya tak perlu terjadi," kata Dharyono. Masalah yang dihadapi Brazil, misalnya, bukan hanya karena iklim yang menggagalkan panen, tetapi juga fluktuasi mutu yang begitu besar. Dua hal itu berpotensi mengganggu pola pemasaran kopi dunia, apalagi karena jatah pasokan Brasil yang hampir sepertiga kebutuhan dunia itu. Sedangkan Indonesia dan negara-negara penghasil kopi dalam Kelompok Minoritas justru stabil pasokannya ke pasar dunia. Kemampuan Kelompok Minoritas untuk menjinakkan kemauan Kelompok Mayoritas, menurut Dharyono, sudah merupakan pencapaian yang penting. Lompatan besar Kelompok Minoritas pun terjadi dengan berhasilnya Indonesia menjadi tuan rumah bagi Sidang Badan Eksekutif ICO dan Seminar Internasional II tentang Robusta awal Juni mendatang di Bali. Kesempatan itu tentu akan semakin membukakan mata dunia terhadap kemampuan Indonesia memasok kopi ke pasar dunia. Tetapi, cukupkah kenyataan bahwa Indonesia mampu memasok kopi ke pasar dunia sejumlah 300-320.000 ton per tahun? Ada masalah lain yang harus diperhitungkan, ternyata. Konsumen kopi dunia kini semakin menuntut mutu. Untuk kopi bubuk saja sudah dituntut mutu kopi yang tinggi. Untuk kopi serbuk (instant coffee) dituntut mutu kopi yang lebih tinggi lagi. Untuk mencapai standar mutu tinggi, masih banyak hal yang perlu dilakukan Indonesia. Petani kopi yang sebagian terbesar merupakan petani kopi rakyat yang tidak tergabung dalam perkebunan besar, cenderung memanen kopinya sebelum masak benar. Apalagi bila harga kopi sedang melonjak, seperti terjadi tahun lalu, mereka tak sabar menunggu kopinya masak di pohon. Kenyataan itu tentu saja menurunkan citra mutu kopi yang dihasilkan. Bersama dengan Dinas-dinas Pertanian di daerah, dilakukanlah penyuluhan kepada petani agar hanya memetik kopinya setelah benar-benar merah dan masak di pohon. Para petani memang harus diberi pengertian bahwa kopi yang masak di pohon justru akan memberikan penghasilan yang lebih baik. AEKI pun membantu pengadaan alat-alat pemrosesan dan pengeringan biji kopi agar kandungan airnya hanya tinggal 11% dan tidak lagi dengan banyak cacat. Perluasan lahan budidaya kopi, sekalipun masih sangat memungkinkan di Indonesia, saat ini tidak perlu lagi dilakukan. Selain karena perjanjian non-proliferasi seperti yang tercantum dalam Artikel 50 Perjanjian Kopi Internasional--agar negara penghasil kopi tidak menambah lahan, juga karena masih bisa dilakukan rehabilitasi kebun dan intensifikasi pemeliharaan tanaman untuk meningkatkan hasil pada lahan budidaya kopi yang ada di Indonesia. Kebun-kebun kopi milik petani kopi rakyat yang rata-rata hanya seluas setengah hingga satu hektar, biasanya merupakan kebun tua yang rendah hasilnya. Bisa diremajakan untuk meningkatkan hasil. Tetapi, peremajaan sendiri banyak terbentur pada masalah pengadaan bibit unggul. Perjanjian non-proliferasi itu dimaksudkan untuk menstabilkan pasokan kopi ke pasar dunia. Selain memasok ke pasar-pasar kuota negara-negara anggota ICO, Indonesia juga memasarkan kopinya ke negara-negara non-kuota. Untuk perluasan pasar, Indonesia justru menghadapi masalah besar: memasarkan kopi di negeri sendiri. Indonesia, dengan 165 juta penduduknya, ternyata belum banyak menyerap produksi kopinya sendiri. Konsumsi kopi dalam negeri baru mencapai rata-rata setengah kilogram per orang per tahun. Jumlah yang sangat kecil bila dibanding dengan negaranegara konsumen kopi yang tingkat konsumsinya mencapai 4--5 kilograrn kopi per orang per tahun. Bahkan lebih. Alhasil, hanya 20% saja produksi kopi yang terserap pasar dalam negeri. Rendahnya konsumsi kopi dalam negeri itu dapat mengakibatkan kelebihan produksi sekitar 75.000 ton setahun. Sukses Jepang dalam memasyarakatkan kopi agaknya bisa dicontoh. Jepang, bangsa yang dulu menganggap pemakan daging adalah barbar dan kini sudah pula menggemari daging, dulunya juga tidak menyukai kopi. Minuman sehari-hari mereka adalah teh hijau khas Jepang. Tanaman tehnya pun khusus ditumbuhkan di Jepang. Tetapi, sejalan dengan bertumbuhnya kelas menengah mereka dan perkiblatan mereka ke gaya Barat kopi pun berkembang menjadi minuman yang digemari. Kedai-kedai kopi bertumbuhan di mana-mana. Bahkan ada chain kedai kopi bernama Key yang hampir selalu ada di pusat-pusat keramaian. Di Jepang juga populer kedai-kedai kopi yang sebenarnya merupakan tempat rendezvous bagi mereka yang sedang asyik berpacaran. Semuanya itu telah membuat konsumsi kopi di Jepang kini mencapai empat kilogram per orang per tahun, dan tergolong negara peminum kopi penting. Makin besarnya jumlah peminum kopi di Jepang juga menguntungkan bagi Indonesia karena mereka cukup fanatik terhadap jenis-jenis kopi hermutu tinggi, yang antara lain khu,sus didatangkan dari Sulawesi Selatan dan Jawa. Daerah asal kopi ini bahkan dijelaskan dalam iklan-iklan beberapa kedai kopi besar. Tipisnya golongan menengah di I ndonesia agaknya merupakan kendala besar bagi upaya memasarkan kopi di dalam negeri. Kopi memang lebih banyak dibutuhkan oleh mereka yang dituntut aktivitasnya di atas meja. Selain itu harga kopi yang lebih tinggi dibanding teh, merupakan unsur yang akan selalu menjadi penghalang. Upaya merendahkan harga kopi bukannya tak pernah dilakukan dalam mekanisme pasar. Tetapi, sayangnya, upaya itu justru tidak menguntungkan bagi produksi kopi. Banyak pedagang mencampurkan biji jagung. Malangnya, kopi jagung ini justru dianggap cukup enak oleh sekelompok masyarakat sehingga merasa tak perlu meningkatkan harga dirinya dengan minum kopi murni yang berlipat ganda harganya. Tak sedikit kopi murahan seperti itu yang sebetulnya lebih banyak jagung daripada kopinya. Karena itu, diperlukan perbaikan mutu kopi yang dipasarkan di dalam negeri untuk membantu menaikkan konsumsi kopi. Mencampurkan biji-bijian lain selain kopi memang bukan monopoli masyarakat kelas bawah. Di Eropa pun para pedagang mencampurkan biji chicory dengan tujuan untuk merendahkan harga kopi agar terjangkau masyarakat luas. Penambahan biji chicory itu bahkan membuat warna kopi lebih hitam, rasanya lebih pahit, dan cairannya lebih kental. Kendala lain bagi pertumbuhan pasar kopi di dalam negeri adalah karena masih adanya kepercayaan masyarakat bahwa kopi yang mengandung kafein itu mempunyai dampak negatif terhadap kesehatan. Padahal, dalam kadarnya yang pantas, kafein malah mempunyai dampak positif bagi manusia. Beberapa jenis minuman ringan justru membubuhkan kafein untuk menyegarkan peminumnya. Bila pun kafein tak diinginkan, pada masa kini sebetulnya proses untuk menghilangkan kafein dari kopi (decaffeinated) sangatlah mudah dilakukan. Tiap biji kopi hanya mengandung paling banyak 1 % kafein. Misteri kafein ini juga merupakan kendala karena masyarakat percaya bahwa kopi bukan untuk anak-anak. Untuk menumbuhkan kebiasaan minum kopi bagi orang dewasa yang pada masa kecilnya ditabukan minum kopi tentulah bukan hal yang mudah. Tak sedikit upaya yang dilakukan untuk memasyarakatkan kopi di Indonesia. Bahkan pernah diadakan lomba penganekaragaman kegunaan kopi yang menghasilkan dawet dengan cendol rasa kopi dan berbagai jajanan yang dibuat dari kopi. Tetapi, apalah yang dapat dihasilkan dari kegiatan itu. Kopi itu ya terutama memang untuk diminum. Jadi, cara minum kopilah yang harus ditingkatkan. Sementara es kopi belum merupakan hal yang memasyarakat sebagai alternatif minuman dingin, kedai-kedai kopi yang nyaman pun belum cukup tampak di kota-kota besar Indonesia. Faktor harga kopi memang masih dirasakan merupakan kendala utama untuk memasyarakatkan kopi. Berbagai langkah usaha perlu dikaji untuk menjadikan minuman kopi cukup murah. Kopi bubuk dengan harga antara Rp 5 .000,00 hingga Rp 15 .000,00 memang masih terlalu mahal untuk dijangkau sebagian besar masyarakat kita. Jika kuota ekspor kopi, pada akhirnya, akan diberlakukan lagi, akan makin mendesaklah pentingnya meningkatkan konsumsi kopi di negeri sendiri. Upaya-upaya penyajian kopi semurah mungkin untuk mayoritas masyarakat menengah ke bawah, seperti di warung-warung pojok, akan sangat berarti bagi produksi kopi Indonesia yang menghidupi cukup banyak anggota masyarakat kita. AEKI, mulai akhir Mei ini akan menyediakan pojok-pojok khusus di tiga bandar udara utama Indonesia yang menyediakan kopi secara gratis bagi orang-orang yang hendak bepergian. Itu dimaksudkan tidak hanya untuk memperkenalkan kopi bagi mereka yang kurang menyukainya, tetapi juga untuk meningkatkan jumlah kopi yang diminum para peminum kopi Indonesia. Tambah lagi kopinya, Saudara? Mumpung masih hangat? DARI ARABIKA KE ROBUSTA KE ARABIKA LAGI Negara-negara penghasil minyak bumi terpaksa harus gigit jari ketika tiba-tiba muncul negara-negara baru yang juga bisa memasok minyak bumi ke pasar dunia. Harga pun berguncang. Dan beberapa negara harus menyesuaikan anggaran belanjanya . Pasar kopi dunia pun menghadapi masalah serupa. Tiba-tiba saja Brazil, yang secara tradisional memang pemasok kopi utama, mulai pula memasuki pasar kopi robusta dunia. Australia pun kabarnya sedang berusaha menanam kopi untuk juga dipasok ke pasar dunia. Apalagi bila nanti bioteknologi telah ikut berperan. Kopi masa depan, hasil biakan bioteknologi itu, bukannya tak mungkin dikebunkan di daerah Colorado yang dingin. Atau, kopi selezat Java Coffee tak perlu lagi harus dibudidayakan di Pulau Jawa. Sebelum itu terjadi pun, situasinya sudah cukup menegangkan bagi negaranegara yang secara tradisional memasok kopi. Dalam hal jenis, misalnya. Permintaan terbanyak di pasar kopi dunia sebenarnya adalah untuk jenis arabika. Dunia pun sebenarnya banyak mengharapkan pasokan kopi arabika dari Indonesia. Kopi Mandailing, misalnya, masih merupakan nama besar yang diperhitungkan. Tetapi, apa daya? Dari seluruh produksi kopi kita, hanya 5% kopi arabika. Sisanya, 95%, kopi robusta. Padahal dulunya, sejak Belanda mulai menanam kopi di Jawa pada 1699, semua tanaman kopi di Indonesia dari jenis arabika. Jenis arabika yang banyak ditanam di dataran tinggi dan sedang di Pulau Jawa itu mulai menyebar pula ke pulau-pulau lain. Setelah hama yang memunahkan seluruh tanaman kopi di Jawa pada akhir abad lalu, pada 1978 kopi arabika Indonesia pun terserang musibah. Karat daun, penyakit jamur pada daun kopi yang kabarnya datang dari Srilangka, menyebabkan merosotnya produksi kopi arabika Indonesia. Para petani pun kemudian beralih ke tanaman kopi robusta yang lebih robust itu. Terutama di dataran yang lebih rendah, hampir semua kebun kopi telah berubah wajah menjadi kebun kopi robusta yang lebih tahan terhadap hama karat daun. Kebun kopi arabika yang masih bertahan hanyalah yang terdapat di dataran tinggi, seperti: Aceh Tengah, Dairi (Sumatra Utara), Tana Toraja (Sulawesi Selatan), Ijen (Jawa Timur), dan Kintamani (Bali), daerah-daerah yang memang cocok untuk menanam kopi arabika. Kopi robusta sendiri bukannya tak diperlukan di pasar dunia. Sebagai campuran pengental, ia tetap mempunyai pasarnya sendiri. Cuma, tentu saja, harganya lebih rendah. Kopi robusta juga diperlukan dalam proses pembuatan kopi serbuk, terutama untuk meningkatkan rendemen. Negara-negara yang masyarakatnya peminum kopi bubuk biasanya memerlukan lebih banyak kopi arabika daripada robusta. Italia, misalnya, yang penduduknya menyukai kopi espresso, sulit untuk dimasuki kopi robusta. Espresso yang dihidangkan dalam cangkir kecil, dibuat dari sejumlah besar kopi arabika murni yang tak bisa "dicuri" rasanya oleh jenis kopi lain. Arabika memang merupakan kenikmatan tiada tara bagi pecandu kopi. Tetapi, negara-negara yang masyarakatnya dulunya lebih menggemari teh, masih merupakan peluang besar bagi robusta. Di negaranegara itu masyarakatnya lebih menyukai kopi instant yang pembuatannya banyak memerlukan jenis kopi robusta. Tentu saja mereka memerlukan kopi jenis robusta yang terbaik untuk memastikan mutu serbuk kopinya. Industri kopi serbuk dunia diperkirakan menyerap 1,9-3,2 juta karung (a 60 kilogram) kopi robusta setiap tahun. Penghasil robusta bagi pasar kopi dunia adalah: Pantai Gading, Indonesia, Angola, Uganda, Zaire, dan Madagaskar. Indonesia dengan produksi robusta sekitar 350.000 ton setahun merupakan produsen utama kopi robusta. Tetapi, Brazil pun kini menghasilkan sekitar 300.000 ton kopi robusta setahun. Jumlah itu sudah menyejajarkannya dengan ekspor kopi total Indonesia setahun. Agar mampu menyediakan jenis-jenis kopi yang diperlukan konsumen-konsumen luar negeri dan dalam negeri, mutlak perlu diperbesar produksi kopi arabika. Ini cocok untuk konversi kebun-kebun kopi robusta yang terletak di atas ketinggian 800 meter. PARIWARA dipersiapkan oleh PT Mitra Pustaka Tama. Ditulis oleh Bondan Winarno dan Harso Widodo. Nara sumioer: P.S. Siswoputranto Foto sampul: Darwis Triadi/image

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus