Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagai bekas guru sekolah dasar, Martti Ahtisaari tahu benar apa artinya bersabar. Dengan kesabaran luar biasa yang ia miliki, mantan Presiden Finlandia berusia 71 tahun ini tampil sebagai penengah pada sejumlah konflik di banyak wilayah di dunia, termasuk di Aceh. Jumat pekan lalu, kesabarannya berbuah Nobel Perdamaian.
Kantor berita AFP, mengutip penjelasan Komite Nobel di Oslo, Norwegia, menyebut Ahtisaari terpilih sebagai penerima hadiah berupa medali emas, piagam, dan uang senilai 10 juta krona Swedia (kira-kira Rp 14 miliar) itu karena berhasil menjadi fasilitator di sejumlah perundingan damai di beberapa wilayah di dunia, di antaranya Aceh, Kosovo, Irak, dan Namibia. Ia juga menunjukkan peran aktif dalam perundingan damai di Irlandia Utara dan Asia Tengah.
”Perannya sebagai juru damai di banyak konflik selama lebih dari tiga dekade membuatnya pantas meraih Nobel Perdamaian,” kata Ole Danbolt Mjoes, ketua komite. Ahtisaari menyisihkan hampir 200 nama yang masuk dalam daftar, termasuk politikus Zimbabwe, Morgan Tsvangirai; politikus Kolombia, Ingrid Betancourt; serta aktivis hak asasi manusia dari Cina, Hu Jia dan Gao Zhisheng.
Ahtisaari tentu saja bersukacita atas penghargaan itu. Pada stasiun televisi Norwegia, RPK, mantan diplomat di sejumlah negara ini menyebut dirinya ”bahagia dan terharu”. Hadiah yang lumayan banyak itu, kata dia, akan digunakan untuk membiayai lembaga internasional yang ia pimpin, Crisis Management Initiative, yang ia dirikan pada 2000, setelah ia tak lagi menjabat presiden. ”Bagaimanapun, lembaga seperti ini butuh dana tak sedikit untuk bisa terus bergerak,” katanya.
Ahtisaari, yang menjabat Presiden Finlandia pada periode 1994-2000, menyebut upaya terbesarnya adalah saat ia berhasil merintis perdamaian dan kemerdekaan bagi Namibia dari Afrika Selatan. Ia pula yang mengupayakan berlangsungnya pemilihan umum yang bebas. Upaya yang sudah ia jalankan sejak 1970-an itu membuatnya meraih gelar warga kehormatan di Namibia.
Lahir di tengah keluarga pegawai kantoran, jalan panjang Ahtisaari justru tak dimulai dari kursi diplomat. Ia memulai karier sebagai guru sekolah dasar sebelum banting setir ke dunia politik pada 1965. Ketika itu ia memutuskan bergabung dengan Kementerian Luar Negeri Finlandia, tempat ayahnya pernah bekerja.
Bekerja di departemen luar negeri membuatnya kerap bepergian. Sepanjang 20 tahun setelah itu, kariernya sebagai diplomat berjalan lempeng. Ia awalnya bertugas di Tanzania, hingga akhirnya ditempatkan di markas besar Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York. Di situlah ia kemudian mengepalai tim pengawas Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk proses kemerdekaan Namibia pada 1990. Tiga tahun kemudian, ia bergabung dengan sejumlah juru runding Eropa untuk menengahi konflik etnik di bekas wilayah Yugoslavia. Setahun kemudian, ia terpilih sebagai Presiden Finlandia dari kubu sosial demokrat.
Meski menjabat presiden, Ahtisaari tak surut usaha dalam mengupayakan perdamaian di belahan dunia lainnya. Di akhir masa jabatannya pada 1999, ia berhasil mempertemukan dua pihak bertikai di bekas wilayah Yugoslavia, Viktor Chernomyrdin dan Slobodan Milosevic, untuk mengakhiri pertikaian di Kosovo.
Selepas pensiun dari jabatan presiden, aktivitas Ahtisaari di dunia diplomasi kian bertambah. Pada 2001, ia menjadi pemeriksa senjata pada konflik Irlandia Utara. Setahun kemudian ia menjadi utusan khusus pada krisis kemanusiaan di Afrika. Pada 2005, Ahtisaari menorehkan sejarah perdamaian di Aceh sebagai fasilitator bagi pihak pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka. Tak mengherankan jika Ahtisaari mendapat penghargaan Bintang Republik Indonesia Utama dari pemerintah Indonesia.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan ucapan selamat kepada Ahtisaari, Jumat pekan lalu. Juru bicara Presiden, Dino Patti Djalal, mengatakan Presiden menilai sosok Ahtisaari berkompeten dalam penyelesaian konflik. Menurut Dino, sebagai sahabat, Presiden terus mengikuti kiprah Ahtisaari dalam penyelesaian konflik di berbagai negara. ”Beliau tokoh yang berorientasi solusi,” ujar Dino. Karena kepiawaian Ahtisaari sebagai fasilitator itu pula, Wakil Presiden Jusuf Kalla berkata ia hendak belajar ilmu menengahi konflik kepada Ahtisaari.
Angela Dewi (AFP, AP, BBC)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo