Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Di Ujung Politik Rasial

Setelah debat Barack Obama-John McCain di Tennessee pekan lalu, banyak media di Amerika menuding kubu Republik mulai main kasar. Mereka mengeksploitasi isu ras dan menuding Obama terlibat kelompok teroris. Tapi popularitas Obama terus naik. Apakah era perjuangan hak sipil di negeri itu telah terlampaui? Wartawan Tempo, Philipus Parera, melaporkan langsung dari Amerika.

13 Oktober 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Awalnya sebuah sapaan biasa: ”that one”. Calon presiden dari Partai Republik, John McCain, memanggil Obama ”orang itu” ketika berbicara soal rancangan undang-udang tentang energi dalam debat mereka yang kedua di Belmont University, Nashville, Tennessee, Ahad dua pekan lalu.

”Dulu di Senat beredar rancangan undang-undang tentang energi yang cuma menguntungkan perusahaan minyak. Sponsornya George W. Bush dan Dick Cheney. Anda tahu siapa yang mendukungnya? Orang itu,” kata McCain sambil mengarahkan telunjuknya ke Obama.

Obama tak tampak tersinggung. Debat berlangsung aman hingga akhir. Warga Amerika Serikat dalam berbagai survei memenangkan Obama dalam debat Town Hall itu. Pada jajak pendapat CNN/Opinion Research Corp., misalnya, 65 persen responden mengatakan Obama memukau, sementara yang menyukai McCain cuma 28 persen. Di tiga negara bagian yang diramalkan akan menjadi penentu kemenangan bagi kedua calon—Pennsylvania, Ohio, dan Florida—Obama malah mulai meninggalkan lawannya.

Tak dinyana, episode ”that one” berbuntut panjang. McCain kini dituduh mulai memainkan isu rasial. ”Tak peduli Senator McCain sengaja atau tidak, jika kulit Anda berwarna dan seseorang memanggil Anda that one, Anda pasti akan menganggapnya rasis. Itu yang terjadi pada saya,” kata Don Hammonds, jurnalis The Pittsburgh Post-Gazette, Ohio, kepada kantor berita The Canadian Press.

Bagi pers Amerika, bau kampanye negatif makin menyengat manakala calon wakil presiden Republik, Gubernur Atlanta Sarah Palin, menghubungkan Obama dengan Bill Ayers, aktivis Weather Underground—kelompok kiri di Amerika yang meledakkan serangkaian bom pada 1969 sampai 1970-an sebagai protes atas Perang Vietnam. Padahal, ketika kelompok itu berdiri, Obama baru sembilan tahun.

”Orang ini (Obama) tidak memahami Amerika seperti Anda dan saya melihat Amerika,” kata Palin di Colorado pekan lalu. Di Pennsylvania, Ketua Partai Republik Cabang Lehigh County menyinggung nama tengah Obama, seolah hendak mengatakan: jangan pilih dia karena dia Islam dan bukan Kristen. ”Pikirkan perasaan Anda pada 5 November nanti saat mendapatkan berita bahwa Barack Hussein Obama adalah Presiden Amerika Serikat,” katanya.

l l l

Entah benar entah tidak McCain sengaja memanfaatkan isu rasial untuk menyudutkan lawan politiknya, di Amerika orang memang mulai kembali membicarakan politik kaum kulit berwarna. Ini sudah berlangsung sejak Obama menyisihkan Hillary Clinton dalam primary untuk mewakili Partai Demokrat di pemilihan Presiden Amerika pada 4 November mendatang.

”Dengan majunya Obama, kami kini sampai pada sebuah titik baru, suka atau tidak,” kata Samuel ”Billy” Kyles, 75 tahun, pendeta Gereja Monumental Baptist, Memphis, Tennessee. Kyles adalah teman dekat Martin Luther King, Jr. (almarhum), yang terlibat dalam gerakan perjuangan hak sipil kaum Afrika-Amerika sejak 1950-an.

Di lantai tiga Museum National Civil Rights di Memphis, September lalu, Kyles menerima para wartawan asing, termasuk Tempo, yang datang meliput debat pertama Obama dan McCain di University of Mississippi, sekitar satu setengah jam bermobil dari tempat itu. Museum ini didirikan di bekas Motel Lorraine, tempat Martin Luther ditembak mati pada 4 April 1968.

”Bagi yang putih, mengungkit kembali sejarah kaum hitam merupakan hal yang memalukan. Sebaliknya, bagi orang hitam, itu menyakitkan. Tapi, bagi bangsa yang ingin terus maju, ini harus kami lewati,” kata Kyles.

Sejarah politik kaum Afrika-Amerika sendiri adalah sebuah perjalanan panjang yang merentang sejak era perbudakan di awal abad ke-17. Mereka datang dari Afrika karena dijanjikan pekerjaan di perkebunan para tuan tanah di koloni Inggris itu. Nyatanya, di tanah harapan itu, mereka malah dipaksa menjadi budak.

Perbudakan baru berakhir pada 1865, di tengah perang sipil, setelah Kongres meloloskan Amendemen Ke-13. Isinya singkat saja: semua jenis perbudakan di Amerika mesti segera diakhiri, kecuali sebagai hukuman terhadap para penjahat.

Sebenarnya, sebelum itu, banyak daerah sudah lebih dulu memerdekakan para budak mengikuti perintah Presiden Abraham Lincoln, yang dikenal dengan nama Proklamasi Emansipasi. Ada dua dekrit. Dekrit pertama, 22 September 1962, mendeklarasikan kemerdekaan para budak. Dekrit kedua, awal Januari 1863, menetapkan negara-negara bagian yang harus segera bebas dari perbudakan.

Booker T. Washington, dalam bukunya, Up from Slavery (1901)—berupa kumpulan artikel otobiografi di majalah Outlook—melukiskan saat-saat gembira itu. ”Semakin dekat hari besar itu, nyanyian kian sering terdengar dari barak para budak, lebih dari biasanya. Lebih lantang, lebih ribut, dan berlangsung hingga tengah malam,” tulisnya.

Washington, yang belakangan menjadi orang ternama di Amerika—antara lain penasihat dalam urusan rasial yang sangat dipercayai oleh Presiden Theodore Roosevelt—ketika itu baru sembilan tahun. Ibunya seorang budak di Franklin County, Virginia.

Di tempat Washington, kabar sukacita itu datang pada suatu pagi. Para budak tiba-tiba dipanggil berkumpul di rumah induk. Tuan besar bersama keluarganya sudah hadir. Dalam rumah itu sudah hadir beberapa tentara. Seorang di antaranya berpidato pendek, lalu membacakan pengumuman dari gulungan kertas yang ternyata Proklamasi Emansipasi. ”Setelah itu, kami diberi tahu bahwa kami bebas, bisa pergi ke mana pun, kapan pun kami mau…. Dengan air mata bahagia membanjiri pipi, ibuku mencium anak-anaknya.”

Tapi penderitaan justru baru dimulai. Bebas dari perbudakan, kaum Afrika-Amerika berhadapan dengan masalah baru. Mereka tertinggal dalam pendidikan, tak punya apa-apa, pekerjaan terbatas, dan hak politik dibatasi. Di tengah masyarakat, muncul garis tegas yang memisahkan mereka dari warga berkulit putih dalam pergaulan sosial. Orang hitam tak boleh ke kolam renang, tak boleh ke toilet umum, dan naik bus harus duduk di bagian paling belakang. Bahkan, di pemerintahan federal, pada zaman Presiden Woodrow Wilson, pegawai kulit hitam tak boleh bekerja di ruangan yang sama dengan rekan kulit putihnya.

Keengganan para tuan tanah di daerah Selatan—dari Delaware hingga Texas—melepaskan para budaknya memperburuk hidup kaum Afrika-Amerika. Di daerah inilah, hanya setahun setelah Amendemen Ke-13, lahir Ku Klux Klan. Kelompok ini menteror para budak, juga warga kulit putih yang tak peduli dengan perbedaan ras.

”Ketika saya tiba di sini pada 1959, Memphis tak berbeda dengan kota lain di Selatan,” kata Kyles. Menurut dia, ada segregasi atau pemisahan untuk akses kaum putih dan hitam atas fasilitas umum, dengan para keturunan Afrika-Amerika selalu mendapat porsi terburuk. ”Kala itu, jika ada orang hitam berpakaian rapi atau berjas, seperti saya, di pusat kota, orang akan bertanya-tanya di mana dia bekerja, apa yang dia kerjakan. Tak ada pekerjaan di kota untuk orang hitam.”

Maka perlawanan yang belakangan dikenal dengan istilah civil rights movement pun tumbuh. Pada 1909, lahir National Association for the Advancement of Coloured People (NAAC). Juga individu pemberontak bermunculan, dari William Monroe Trotter, W.E.B. Du Bois, Marcus Garvey, pendiri Universal Negro Improvement Association, yang memiliki lebih dari 1.000 cabang di 40-an negara, hingga Martin Luther King, Jr.

Namun baru pada 1955 gerakan melawan segregasi berlangsung secara besar-besaran. Pemicunya salah satu anggota NAAC di Montgomery, Alabama, Rosa Parks. Pada masa itu, di Selatan, tempat duduk bus dibagi dua: penumpang kulit putih di depan, kulit hitam di belakang. Kalau ada penumpang kulit putih yang tak kebagian tempat duduk, penumpang hitam harus memberikan tempatnya. Suatu hari, sepulang kerja, Parks menolak memberikan tempat duduknya di bus kepada penumpang kulit putih yang berdiri. Dia ditangkap dan dipenjarakan. Ini memicu aksi besar yang dipimpin Martin Luther King. Montgomery Bus Boycott, begitu aksi ini dikenang, akhirnya berhasil menghapuskan kebijakan pemisahan tempat duduk di bus kota.

Selanjutnya, di bawah pimpinan King, gerakan memprotes segregasi terus melebar. King, yang mengidolakan Mahatma Gandhi, menekankan perlawanan tanpa kekerasan. Pada 1960, orang muda yang tergabung dalam NAAC melancarkan aksi sit-ins, menduduki restoran khusus kulit putih di supermarket Woolworths, Greensboro, North Carolina.

Supermarket itu sebenarnya terbuka bagi siapa saja, tak peduli hitam atau putih. Tapi sebuah restoran di situ menolak melayani para mahasiswa hitam itu. Mereka tetap duduk di sana hingga restoran itu tutup 30 menit lebih awal. Keesokan harinya, lebih banyak orang muda datang melakukan aksi serupa, yang terus berlanjut hingga kota-kota di Selatan akhirnya membuat aturan yang meniadakan segregasi di rumah-rumah makan. Berhasil di sini, aksi sitins meluas untuk memprotes pemisahan di kolam renang, perpustakaan, gereja, tempat parkir, dan museum.

Puncaknya, pada 1964, Presiden Lyndon B. Johnson menandatangani Civil Rights Act yang memberikan kuasa kepada pemerintah federal untuk mengakhiri segregasi di semua ruang publik di Selatan. Setahun kemudian, keluarlah Voting Right Act yang menjamin hak memilih semua warga Amerika.

l l l

”Jika 50 tahun lalu ada yang bilang kita akan memilih orang hitam menjadi calon presiden, saya bilang dia gila,” kata Kyles. Kini dia berada pada barisan yang percaya persoalan rasial mulai berlalu dari sejarah Amerika. Hidupnya sendiri menjadi saksi. Dia aktivis hak sipil pada 1960-an, pernah dipenjarakan karena menduduki kursi ”putih” di bus kota Memphis, dan menjadi saksi tertembaknya Martin Luther—tak jauh dari tempat dia berdiri hari itu.

Kyles kini ada di ”kursi” yang tak terbayangkan bisa dia duduki di masa perjuangan: anggota Tennessee Judicial Selection Committee, anggota Memphis Council for International Visitors, dan masih banyak lagi. Saat menjadi presiden, Bill Clinton memilihnya menjadi anggota Advisory Committee on Religious Freedom Abroad.

Dan di pemerintahan saat ini, kaum Afrika-Amerika ada di mana-mana. Sebut saja Menteri Luar Negeri Condoleezza Rice, yang berasal dari Alabama. Lalu ada Deval Patrick, yang dua tahun lalu mengejutkan Amerika karena mengalahkan calon Republik dalam pemilihan gubernur di Massachusetts. Juga Kepala Kejaksaan Distrik San Francisco Kamala Harris, yang merupakan orang kulit hitam sekaligus wanita pertama di posisi itu di sana. Bahkan di Memphis, salah satu county-nya, Shelby, dipimpin politikus hitam Partai Demokrat, A.C. Wharton, Jr.

Barangkali itu sebabnya, bagi banyak pengamat di Amerika, pemilihan presiden kali ini merupakan fenomena postracial. Terpilih atau tidak, kehadiran Obama di puncak perpolitikan Amerika Serikat menegaskan satu hal: mulai sekarang, tak ada lagi tempat yang tak terjangkau warga Afrika-Amerika—keturunan budak yang pada masanya disingkirkan dari segala macam hal. Obama hanya sebuah awal.

Philipus Parera (Memphis)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus