Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baru sebulan usia pemerintah Perdana Menteri Somchai Wongsawat, tapi ia telah mengalami perlakuan paling tidak menyenangkan. Selasa pekan lalu, Somchai, 61 tahun, dan anaknya, Chinnicha, yang menjadi anggota parlemen, terpaksa memanjat pagar agar bisa keluar dari kompleks gedung parlemen. Pagar itu memisahkan parlemen dengan gedung Vimanmek milik kerajaan.
Saat itu semua pintu keluar parlemen sudah dikepung rapat oleh sekitar 4.000 aktivis Aliansi Rakyat untuk Demokrasi (PAD). ”Kami minta pendukung Aliansi berkumpul di parlemen untuk pertempuran pamungkas kami,” ujar Sondhi Limthongkul, salah seorang pemimpin Aliansi. Menurut Sondhi, kabinet Somchai telah kehilangan legitimasi untuk memerintah Thailand.
Hari itu adik ipar bekas perdana menteri Thaksin Shinawatra ini dijadwalkan menyampaikan pidato rencana kebijakan kabinetnya di depan parlemen. Tapi, untuk masuk ke gedung itu pun, Somchai dan sekitar 300 anggota parlemen lainnya butuh bantuan polisi, karena demonstran sudah menutup semua akses ke kompleks parlemen.
Polisi akhirnya membubarkan massa dengan menggunakan gas air mata. Bentrok pun tak terhindar. Tembakan gas air mata dilawan dengan pukulan batang besi, tiang bendera, lemparan botol, mercon, bahkan senjata api. Satu ledakan bom terjadi di dalam jip Cherokee yang diparkir dekat lokasi bentrokan. Korban berjatuhan. Sekitar 400 orang terluka, 66 orang dirawat di rumah sakit, 2 pengunjuk rasa diamputasi, dan 2 meninggal. Di pihak polisi, sekitar 20 orang terluka.
Di dalam gedung parlemen, sekitar 300 anggota parlemen dan senat, yang sebagian besar pendukung pemerintah, takzim mendengarkan pidato sang Perdana Menteri selama dua jam. Somchai, yang dikenal bertabiat santun, tak terusik oleh pertumpahan darah di luar gedung. ”PAD tak dalam posisi menghalangi wakil rakyat,” katanya.
Media setempat kaget atas bentrokan berdarah itu, karena ini merupakan insiden terburuk di Thailand sejak 1992. Koran Bangkok Post mengatakan negara berada di ambang anarki. Adapun surat kabar The Nation mencantumkan judul besar ”Oktober Hitam”.
Reaksi kemarahan muncul dari kalangan tak terduga. Dokter dan perawat di Rumah Sakit Universitas Chulalongkorn, misalnya, menolak merawat polisi yang cedera karena membubarkan massa dengan cara kekerasan. Mereka juga marah karena Perdana Menteri Somchai tetap melanjutkan pidato saat ratusan orang bersimbah darah.
Polisi pun menangkap dua pemimpin Aliansi, Chaiwat Sinsuwong dan Chamlong Srimuang. Chaiwat dan Chamlong ditangkap atas perintah pengadilan kriminal dengan seabrek tuduhan, termasuk pengkhianatan karena menggerakkan massa menduduki kantor perdana menteri di Gedung Pemerintah sejak 26 Agustus lalu. Chamlong dibebaskan Jumat lalu. ”Penangkapan Chamlong telah meningkatkan suhu politik,” ujar bekas perdana menteri Anand Panyarachun.
Situasi bertambah sulit ketika Jenderal Chavalit Yongchaiyudh, wakil perdana menteri, memutuskan mundur. Ia tersinggung karena upayanya mencapai kesepakatan dengan Aliansi ditelikung oleh penangkapan Chaiwat.
Analis politik melihat tekad pemimpin Aliansi mengobarkan perang terhadap pemerintah tak bakal surut. Mereka berkeras mencabut pengaruh bekas perdana menteri Thaksin hingga ke akar-akarnya. ”Tak ada tanda permainan akan berakhir,” ujar Ji Ungpakorn, analis politik Universitas Chulalongkorn.
Daya tahan perlawanan Aliansi terhitung kuat sejak kelompok politik ekstraparlementer ini menggelar demonstrasi panjang dan berhasil memaksa militer menggelar kudeta mendepak Perdana Menteri Thaksin pada 2006. Setelah Thaksin tumbang dan kabur ke London, Aliansi kembali menggusur Perdana Menteri Samak Sundaravej dengan menduduki kantornya, Gedung Pemerintah, sejak 26 Agustus lalu.
Kini Perdana Menteri Somchai menjadi sasaran mereka. Ia memang lebih santun daripada Samak, tapi punya dosa tak terampunkan: selain menikahi Yaowapa, adik bungsu Thaksin, dia tak mau memutuskan pengaruh Thaksin. Hingga kini Somchai tak mencabut paspor diplomatik Thaksin sebagaimana dituntut Aliansi. Somchai juga masih bertahan dengan kebijakan Samak untuk mengamendemen konstitusi.
Dengan masih berlanjutnya ”pertempuran” pemerintah dengan Aliansi, krisis politik di Thailand dikhawatirkan kian suram. ”Satu kerusuhan baru akan meledak dalam bentuk serangan terhadap instalasi pemerintah,” ujar Komandan Angkatan Darat Jenderal Anupong Paochinda, Kamis pekan lalu.
Toh, Anupong menolak spekulasi militer akan mengambil alih kekuasaan. ”Terserah pemerintah memutuskan apa yang dilakukan jika tak dapat menanggulangi situasi,” ujar Anupong.
Raihul Fadjri (The Nation, AP, Bangkok Post, BBC)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo