Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Cengkeh Tak Lagi Berbunga

KEJAKSAAN Agung bersiap menghentikan kasus dugaan korupsi Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh. Status tersangka Tommy Soeharto dan pencekalannya bakal dicabut. Alasan kejaksaan, BPPC telah melunasi utangnya kepada bank yang dulu mengucurkan kredit kepada mereka. Indonesia Corruption Watch bersiap mempraperadilankan putusan ini. Dari Sulawesi Utara, para petani mengancam akan mengajukan gugatan class action.

13 Oktober 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SELEMBAR kertas disposisi dari Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejaksaan Agung Marwan Effendy melayang ke meja Direktur Penyidikan Muhamad Farela, pertengahan September lalu. Isinya, meminta Farela segera "menindaklanjuti surat perintah penyidikan dengan surat perintah penghentian penyidikan". Perintah Marwan ini ditujukan untuk kasus dugaan korupsi Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC), yang sebelumnya sudah menetapkan Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto) sebagai tersangka.

Ini memang perkembangan terbaru dari kasus yang sebelumnya diduga bisa menggiring putra bungsu mantan presiden Soeharto itu ke meja hijau. Kendati Farela belum "menindaklanjuti" surat Marwan, bisa dipastikan kasus ini bakal berakhir bahagia bagi Pangeran Cendana itu.

Dihubungi Tempo pada Kamis pekan lalu, Marwan menyatakan perintah penghentian tersebut telah ia konsultasikan dengan Jaksa Agung Hendarman Supandji. "Prinsipnya, beliau bisa menerima," ujar Marwan. Keputusan ini, kata Marwan, diambil setelah kejaksaan tidak menemukan kerugian negara dari praktek monopoli cengkeh yang sempat menghebohkan pabrik rokok dan petani cengkeh pada 1990-an itu.

Pengacara Tommy, Otto Cornelis Kaligis, menyambut girang rencana kejaksaan mencabut kasus cengkeh ini. "Sejak awal ini mengada-ada banget," kata Kaligis.

l l l

KASUS monopoli cengkeh ini bermula dari keluarnya Keputusan Presiden Nomor 20 Tahun 1992 dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1992. Dua aturan itu menetapkan BPPC sebagai pemegang monopoli tata niaga bahan yang, antara lain, membuat nikmat rokok tersebut. Tugasnya di atas kertas mulia, yakni membuat petani sejahtera: membeli, menjual, dan mempertahankan persediaan cengkeh. Tommy Soeharto duduk sebagai pucuk tertinggi di badan cengkeh ini.

BPPC sendiri terdiri atas tiga unsur, yakni koperasi (diwakili Induk Koperasi Unit Desa), badan usaha milik negara (diwakili PT Kerta Niaga), dan dari pihak swasta, PT Kembang Cengkih Nasional. Di perusahaan terakhir ini Tommy duduk jadi komisaris utama.

Demi lancarnya tujuan badan tersebut, pemerintah kemudian menggelontorkan dana Rp 759 miliar. Duit itu berasal dari Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI), yang dikucurkan melalui Bank Bumi Daya Rp 569 miliar dan kredit komersial Rp 190 miliar.

Dalam prakteknya, ternyata badan ini bukannya membuat para petani tersenyum. Sebaliknya, mereka malah mengurut dada lantaran dibebani sejumlah pungutan. Antara lain, mereka diwajibkan menyetorkan sumbangan wajib khusus petani dan dana penyertaan modal. Untuk mengambil "sumbangan" ini BPPC menempuh cara yang tak bisa dilawan petani, yakni langsung menyunat harga penjualan cengkeh yang mestinya diterima petani. Pabrik rokok juga diperintahkan membeli harga cengkeh yang ditetapkan BBPC. Dengan praktek seperti ini, diduga hingga 1998 BPPC menangguk untung sekitar Rp 1,3 triliun.

Kasus penyelewengan ala BPPC ini pernah dilaporkan Indonesia Corruption Watch (ICW) ke Kejaksaan Agung pada 2000. Menurut sumber Tempo, antara lain berdasarkan laporan tersebut Jaksa Agung Marzuki saat itu membentuk tim gabungan pemberantasan korupsi yang dipimpin Andi Andoyo Sucipto. Dari pengusutan itu tim tersebut mendapat hasil, Tommy "positif" bisa menjadi tersangka. Tapi, sampai tim ini bubar pada 2002, ternyata status Tommy tetap sekadar "calon tersangka".

Lima tahun kemudian, kasus BPPC dibuka kembali. Kejaksaan mulai menyidik kasus ini lagi. Sedikitnya 17 saksi dipanggil. Di antaranya, sejumlah pemilik pabrik rokok, dua orang mantan Direktur Utama Bank Bumi Daya, Kodradi dan Surasa, dan mantan Ketua Induk Koperasi Unit Desa Nurdin Halid, yang sedang menjalani hukuman dua tahun penjara di Salemba karena tersandung korupsi distribusi minyak goreng.

Kejaksaan juga menerjunkan delapan penyidik ke daerah "pusat bisnis BPPC" dulu, yakni Sumatera Utara, Lampung, Maluku, Sulawesi Utara, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat. Dari situlah, tim penyidik menemukan indikasi penyelewengan kredit Rp 759 miliar tadi, yang mestinya digunakan membeli cengkeh milik petani.

Dengan bukti di tangan inilah, pada 18 Juli 2007, Tommy ditetapkan sebagai tersangka. Ia dijerat dengan Undang-Undang Antikorupsi. "Dia menerima KLBI yang seharusnya disalurkan ke petani cengkeh, tapi sebagian ternyata tidak diserahkan, malah digunakan tersangka," kata Jaksa Agung Hendarman Supandji, saat itu. Menurut Hendarman, dana yang "tak diserahkan" itulah yang sedang diselidiki anak buahnya. "Ini yang akan kami cari kejelasan ke mana larinya uang itu."

Dua bulan kemudian, Tommy diperiksa kejaksaan. Selama tujuh jam, para jaksa membombardir putra kesayangan Soeharto itu dengan 39 pertanyaan seputar Kredit Likuiditas Bank Indonesia, pelunasan utang, dan tata niaga cengkeh.

Kepada jaksa, Tommy berkukuh seluruh kewajiban BPPC telah selesai. BPPC, ujarnya, tidak menyalahgunakan kredit atau melakukan kesalahan penyaluran kredit ke petani. Saat itu Tommy menyodorkan Surat Keterangan Lunas dari Bank Indonesia Nomor 26/236/UKU/PMK tanggal 27 Oktober 1993. Surat yang diteken pejabat Bank Indonesia Djakaria dan Askadi itu ditujukan kepada direksi Bank Bumi Daya sebagai penyalur kredit ke BPPC. Begitu juga dengan kredit komersial, yang telah diselesaikan pada 15 Juli 1995.

Adanya surat lunas itu ternyata tidak membuat kejaksaan gentar. Saat itu, Direktur Penyidikan Muhammad Salim menegaskan, yang dipermasalahkan kejaksaan bukan soal lunas atau tidaknya kredit macet dalam pengucuran dana KLBI, tapi dugaan penyelewengan yang dilakukan BPPC terhadap KLBI. "Ini yang dipersoalkan penyidik," kata Salim.

Ternyata pendapat semacam ini belakangan dianulir. Dengan dasar "semua kewajiban BPPC sudah dikembalikan", kejaksaan kini bersiap menghentikan kasus itu. Alasan ini yang ditekankan Marwan. "Kita tidak boleh menggantung nasib orang," ujar Marwan. Setelah surat perintah penghentian penyidikan terbit, semua hak Tommy akan dipulihkan. Termasuk dicabutnya status cegah tangkalnya (cekal), yang berlaku hingga 8 Desember mendatang.

Menurut sumber Tempo, kejaksaan mengambil sikap ini lantaran yakin dalam kasus cengkeh, negara tidak menderita kerugian. Menurut Undang-Undang Korupsi 1971, yang dipakai kejaksaan menjerat Tommy, jika kerugian itu sudah dibayar, otomatis tidak ada tuntutan pidana. Undang-undang ini memang berbeda dengan Undang-Undang Korupsi 2001, yang tidak serta-merta membebaskan seseorang dari tuntutan pidana, kendati ia sudah melunasi kerugian negara. Nah, jikapun dalam hal ini BPPC melakukan penyelewengan penyaluran duit, ujar Marwan, yang harus menggugat adalah para petani.

Sikap kejaksaan yang akan menutup kasus BPPC ini membuat Indonesia Corruption Watch berang. ICW kini bersiap mengajukan gugatan praperadilan ke kejaksaan lantaran lembaga itu mengeluarkan putusan yang dinilai merugikan negara dan petani. Di mata Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW, Adnan Topan Husodo, kejaksaan tidak memiliki kewenangan menentukan ada-tidaknya kerugian negara. "Itu domainnya auditor," katanya. Kejaksaan, menurut Adnan, telah memilah kerugian itu dari kacamata mereka sendiri, yakni kerugian karena Kredit Likuiditas dan kerugian petani. "Kerugian petani tidak pernah dihitung," kata Adnan.

Kabar bakal dihentikannya kasus BPPC ini juga membuat masygul para petani cengkeh di Sulawesi Utara. Ketua Koperasi Unit Desa Maayaam, Minahasa Tenggara, Hanny Kindangen, misalnya, akan segera mengajukan gugatan class action begitu surat penghentian penyidikan resmi dikeluarkan. "Kami sangat kecewa," ujarnya.

Saat taring BPPC masih mencengkeram kuat petani, ujar Hanny, harga cengkeh petani yang satu kilogramnya seharusnya Rp 6.000 hanya dibayar Rp 4.000. Sisanya, menurut Hanny, dipakai sebagai modal BPPC. Menurut ketua koperasi ini, mestinya selisih dana milik petani yang terkumpul itu dikembalikan ke petani setelah BPPC bubar pada 1998. Di Sulawesi Utara sendiri, kata Hanny, tercatat Rp 90 miliar dana penyertaan modal yang belum dikembalikan BPPC ke petani.

LRB, Rini Kustiani, Verrianto Madjowa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus