Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

<font face=arial size=1 color=#FF9900>Filipina</font><br />Seks Yes, Perang No

Lelah terlibat konflik, para perempuan di sebuah desa di Filipina Selatan mengancam mogok seks. Konflik dengan tetangga pun berhenti.

3 Oktober 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Entah dari mana datangnya gagasan itu. Para perempuan di Desa Dado, Mindanao, Filipina Selatan, kompak tak mau melayani suami di ranjang bila para suami masih suka menggunakan senjata untuk menyelesaikan masalah. Di daerah itu memang lazim terjadi konflik akibat perebutan tanah atau alasan lain dengan klan lain atau tetangga dekat.

"Para perempuan itu sangat pintar," kata Kitty McKinsey, juru bicara Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa Urusan Pengungsi (UNHCR) Kawasan Asia, yang mewawancarai para perempuan Desa Dado untuk video UNHCR, saat dihubungi Tempo dua pekan lalu.

McKinsey menjelaskan, masyarakat kawasan ini begitu lekat dengan kekerasan sejak 1970-an. Maklum, daerah ini masuk ajang perjuangan kemerdekaan suku Moro. Banyak warga terpaksa meninggalkan kampungnya. McKinsey menambahkan, sekitar 600 ribu warga Mindanao harus mengungsi akibat konflik. Hingga saat ini, masih sekitar 100 ribu orang belum kembali ke rumah masing-masing.

Warga Dado meninggalkan kampungnya pada 2008, ketika konflik kelompok muslim dengan pasukan pemerintah memanas. Hampir setahun kemudian, menurut McKinsey, warga mulai pulang. Mereka mulai menata hidup kembali. Saat mereka pulang, McKinsey mengungkapkan, rumput di halaman rumah sudah setinggi kepala.

Baru sekitar enam bulan, mereka berhasil menata diri. UNHCR membantu mereka, antara lain, dengan memberi mesin jahit atau jaring ikan agar warga dapat menghidupi keluarganya.

Beberapa bulan lalu, konflik kecil antarklan beda kampung kembali merebak. Jalan penghubung antardesa ditutup. Ekonomi warga terganggu karena mereka tak bisa menjual hasil pertanian dan perikanan. Maka muncul ide bersama para perempuan agar para suami tak lagi gampang naik darah. Mereka menggunakan senjata yang tak mematikan, tapi menggusarkan: mogok seks.

Kepada UNHCR, pemimpin kelompok menjahit, Hasna Kandatu, mengisahkan bahwa ide mogok seks bersama muncul di ruang menjahit. Di kelompok menjahit yang difasilitasi UNHCR ini, para perempuan kerap bertukar pikiran dan bercanda, hingga muncul obrolan soal mogok seks.

"Jika para lelaki nekat pergi ke daerah lain (berperang), kami akan mengatakan, 'Oke, jika kamu nekat, terserah. Tapi kami tak akan menerimamu di rumah'," ujarnya. Perempuan 45 tahun ini mengaku mendapat ilmu mengekang para suami dari kegiatan angkat senjata tersebut dari ibunya.

Suami Hasna Kandatu, Lengs Kupong, yang juga menjadi mediator konflik di antara dua kampung, mengingat kembali ancaman istrinya. "Kalau kamu melakukan hal buruk, kamu akan dipotong, di sini," katanya sambil memberi isyarat di bawah pinggangnya.

Seorang tokoh perempuan lain, Ainon Kamana, membenarkan omongan Hasna Kandatu. Banyak perempuan di desanya mengancam tak bersedia melakukan hubungan suami-istri bila suami tak memenuhi keinginan mereka. "Mereka mengatakan, 'Kalau kamu tak setuju denganku, kamu tak boleh tidur di sampingku'," ujar janda 56 tahun ini kepada UNHCR.

Dalam beberapa pekan saja, aksi tersebut membuahkan hasil. Blokade jalanan dibuka dan warga bisa kembali melakukan aktivitas ekonomi. McKinsey menegaskan, konflik memang belum sepenuhnya menghilang dari Dado dan sekitarnya. Tapi setidaknya tindakan para perempuan tersebut mencegah konflik membesar. "Dan yang paling penting, mereka bisa kembali ke pasar," kata McKinsey.

Aksi mogok seks untuk perdamaian ini bukan hal baru. Pada 2006, para istri dan pacar anggota geng di Kota Pereira, Kolombia, melancarkan kampanye mogok seks setelah sekitar 480 orang menjadi korban pembunuhan. Hasilnya, angka pembunuhan menurun 26,5 persen.

Dua tahun lalu, kelompok aktivis perempuan Kenya menggelar pula aksi mogok seks sebagai protes atas konflik di dalam pemerintahan. Februari lalu, senator Belgia, Marleen Temmerman, juga mengusulkan mogok seks untuk menyelesaikan kebuntuan dalam pembentukan kabinet. "Saya menyeru semua pasangan negosiator agar tak melakukan hubungan seks sampai tercapai kesepakatan," ujarnya kepada Guardian.

Purwani Diyah Prabandari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus