Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Syahdan, di era Jepang kuno, tersebutlah hubungan mesra antara manusia dan lingkungan. Seiring dengan berjalannya waktu, manusia mulai merusak alam. Roh-roh hutan balas menyerang untuk mengingatkan. Dalam perseteruan itu, terseliplah kisah antara anak gadis manusia yang diasuh roh hutan dan laki-laki yang berada di kubu keselarasan dengan alam.
Keinesasih, 23 tahun, mengaku sangat terasuki oleh kisah Princess Mononoke itu, atau Mononoke Hime yang diproduksi Studio Ghibli. "Entah sudah berapa kali saya lihat," kata mahasiswi akhir di sebuah perguruan tinggi di Yogyakarta ini.
Ines, nama panggilannya, penggemar fanatik manga, produk subkultur Jepang. Akibatnya, dia juga menyukai kelompok musik dan aneka game Jepang. Pada akun Twitter-nya, dia menyebut dirinya otaku. Keinesasih memang tak sekadar menyukai animasi produksi Studio Ghibli, tapi sudah sampai tahap kecanduan, sehingga selalu tertarik ikut serta dalam berbagai festival budaya pop Jepang itu.
Acara yang bisa menampung kegairahan otaku berkumpul untuk bertemu dengan komunitasnya memang cukup sering digelar. Misalnya festival Jak-Japan Matsuri 2011 bertajuk Terima Kasih Indonesia, 18-25 September lalu. Sebelumnya, pada Juli lalu, juga ada Jakarta Little Tokyo, yang menyulap kawasan seputar Blok M Square menjadi bernuansa Jepang. "Senang, bisa menyelami subkultur Jepang," kata Ines.
Bagi Aprilia, 24 tahun, karyawati swasta asal Bogor, ajang festival Jepang menjadi kesempatan emas untuk beraktualisasi sepenuhnya menjadi "Jepang". Setiap festival selalu diikutinya, bahkan semasa masih kuliah beberapa kali menggelar festival Jepang bersama teman-teman dalam komunitas penggemar Jepang. "Hanya di festival kami tidak dianggap aneh oleh orang-orang sekitar," katanya.
Kecanduan Aprilia terhadap subkultur Jepang sudah merasuk ke kehidupan sehari-hari. Dia dengan spontan berteriak "masaka" jika kaget. Teriakan ini meniru manga yang digemarinya. Istilah-istilah dalam manga sendiri juga sudah sering dia gunakan sehari-hari, terutama bila berkumpul dengan komunitasnya. Pokoknya, jika otaku berkumpul, orang di luar kelompok itu pasti tak mengerti sama sekali maksud pembicaraan mereka.
Aprilia, juga Ines, mengaku sejak kecil tertarik pada manga dan anime. Di awal mulai bisa membaca, mereka sudah bergaul dengan manga, yang intensitasnya semakin kuat dengan hadirnya serial anime di televisi dan game. Mereka pun mulai menirukan tokoh manga dan anime. Tapi, setelah lebih dewasa, hal itu tak dilakukan lagi, dan digantikan dengan kedemenan mengoleksi "produk turunan" manga dan anime kesukaan mereka.
Menurut ahli komik Hikmat Darmawan, orang-orang Indonesia yang terpengaruh produk subkultur Jepang umumnya mengidentifikasi dirinya sebagai tokoh idola, baik dari manga, animasi, mainan, maupun game, saat berada pada fase anak-anak dan remaja. "Usia tahap mencari role model," kata penulis yang pada 2010 mendapat beasiswa Asian Public Intellectuals untuk tinggal di Jepang selama setahun mengamati globalisasi manga itu. Nah, role model dari Jepang berdatangan seiring dengan serbuan manga ke seluruh dunia. Serangan ke Indonesia mulai era 1990.
Hikmat menjelaskan, otaku berasal dari akar kata yang berkaitan dengan rumah. Istilah ini digunakan untuk menunjuk orang yang kesulitan bergaul karena begitu larut ke alam manga atau animasi. Di Jepang, otaku sering berkonotasi negatif, terlebih jika sudah berubah menjadi hikikomori alias menarik diri dari masyarakat.
Para hikikomori berdiam di kamar, bermain game, menjelajahi Internet, menonton televisi, dan mendengarkan musik. Terkadang hikikomori keluar dari kamar pada malam hari hanya untuk membeli model kit—bagian-bagian untuk membuat robot—yang biasa diselesaikan dalam waktu sekitar satu bulan. Laku itu bisa berjalan berbulan-bulan bahkan sampai bertahun-tahun.
Dalam perkembangannya, terutama di luar Jepang, makna otaku bergeser menjadi positif—atau malah terdegradasi. Penggemar fanatik subkultur Jepang sudah bisa disebut otaku. "Orang malah bangga sebagai otaku," kata Hikmat, yang juga menyebut dirinya otaku.
Di Indonesia, terutama sejak 2000-an, muncul costume play (cosplay) atau anime figure yang diperankan para otaku. Diri sendiri didandani mirip tokoh manga atau anime pujaan si otaku. Awalnya tidak mudah mencari perlengkapan berdandan untuk meniru Sailor Moon atau Kamen Rider, misalnya.
Widy Herwindo, 22 tahun, mahasiswa tingkat akhir di Jakarta, mengaku masih susah mencari perlengkapan cosplay pada 2005. Tak sedikit yang harus berburu sampai ke Jepang. Tapi, ketika cosplay makin berkembang, dan acara-acaranya makin banyak, toko penjual kostum tokoh manga dan anime pun bermunculan.
Menurut Widy, kini para cosplayer dari Indonesia kian diakui. Timnya, Opera Pan Japan, akan mengikuti acara cosplay internasional di Singapura pada November mendatang. Juli lalu, dalam acara cosplay internasional di Jakarta, timnya masuk enam besar dari 33 tim peserta seluruh Indonesia.
Komunitas cosplay Tokusatsu memiliki anggota hingga dua ribuan orang dari berbagai daerah di Indonesia. "Rata-rata ketika kecil akrab dengan Ksatria Baja Hitam," katanya.
Otaku genre robot juga ada. Muhammad Fadhil Adinugroho, 22 tahun, mulai menggilai Gundam, salah satu serial anime robot, ketika masih SMP. Tidak hanya dalam film, robot-robot itu juga hadir dalam bentuk nyata. Mulanya temannya mengajak merakit Gundam Heavyarm dari serial Gundam Wing. Fadhil langsung ketagihan. Setiap bulan dia membeli satu model kit Gundam tipe HG, ukuran 1:144 seharga Rp 200 hingga 300 ribu, dari uang tabungannya sendiri.
Beberapa hasil karya Fadhil dipamerkan dalam forum khusus penggemar Gundam di Internet. Fadhil terus bergerilya mencari model kit Gundam terbaru dari berbagai pameran mainan. Jadwal kegiatan pameran sudah tercatat di agendanya. Tahun ini, pameran mainan besar antara lain Toys Fair pada Juni-Juli lalu. "Kemudian ada Toys Mania yang akan digelar pada 4 Desember mendatang," ujarnya.
Jika sudah naksir satu robot Gundam tertentu, Fadhil tak ragu-ragu memesan langsung dari Jepang. Sejak SMP hingga sekarang, robot Gundam yang dirakit Fadhil sudah memenuhi dua lemari di kamarnya. "Jumlahnya sekitar 40 robot," katanya.
Lain lagi kisah Handaru Trimulyono, 25 tahun. Otaku pedang Jepang ini terobsesi dengan tokoh-tokoh bersenjata pedang, sampai akhirnya mempelajari nilai-nilai dan prinsip hidup seorang samurai (Bushido), seperti integritas (gi), keberanian (yu), welas asih (jin), hormat (rei), kejujuran (makoto), martabat (meiyo), dan kesetiaan (chungi). "Yang pasti, tidak harus kejam tapi membela kehormatan," kata Daru.
Sejak di taman kanak-kanak, Daru terpikat tokoh berpedang, terutama samurai. Dia lalu membuat pedang sendiri dari bambu. "Awalnya untuk sendiri, lama-lama teman-teman minta dibuatkan juga," ujarnya. Setelah kuliah, Daru mulai membuat pedang dari kayu seperti yang digunakan atlet kendo.
Daru lupa jumlah pedang yang pernah dibuatnya. "Semua sudah rusak karena dipakai latihan," katanya. Dia mengaku memang bukan atlet kendo yang berlatih di dojo, tapi sering melakukan beberapa gaya mirip samurai dan mengadu pedangnya dengan suatu benda.
Kini Daru tak lagi menyerut kayu untuk dijadikan pedang. Selain sibuk bekerja, sejak dua tahun lalu dia sudah memiliki pedang asli, pesan langsung dari Jepang. Pedang pertama yang dibeli berbentuk seperti tongkat, seharga Rp 1 juta, ada juga katana seharga Rp 4,8 juta.
Harun Mahbub, Eka Utami
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo