Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pesawat jet milik militer Amerika Serikat melesat dari udara Kabul ke Kandahar, bekas kawasan pertahanan Taliban. Di dalamnya, jenderal berbintang empat David McKiernan duduk dengan kitab suci Quran di tangannya. Ia memperbaiki letak kacamata bacanya dan membuka halaman Quran. Sejam kemudian, di depan sekitar 250 penduduk Kandahar, ia memuji isi Quran yang ia baca dalam perjalanan itu. ”Ini semua tentang kalian,” ujarnya.
Ucapan manis McKiernan disambut keplokan para pemimpin desa di seputar Kandahar. Sejumlah pemimpin Afganistan pun tampil untuk menyampaikan harapan hubungan antara pasukan Amerika dan penduduk Afganistan akan makin mesra. Kedatangan McKiernan itu merupakan upaya membuka jalan penempatan baru 21 ribu anggota pasukan Amerika di wilayah itu.
Tapi, sebulan kemudian di Pentagon, Washington, Menteri Pertahanan Robert Gates mencopot McKiernan sebagai komandan perang di Afganistan, Senin pekan lalu. ”Hari ini kita punya kebijakan baru yang ditetapkan presiden baru kita. Kita punya strategi baru, misi baru, dan duta besar baru. Saya percaya pemimpin militer baru juga dibutuhkan,” ujar Gates.
Seorang jenderal, David Petraeus, yang pernah membantu McKiernan ketika bertugas di Irak, mengatakan pencopotan McKiernan itu karena Menteri Gates dan Presiden Barack Obama menilai pendekatan McKiernan di Afganistan terlalu konvensional untuk lingkungan perlawanan Taliban yang kompleks. Itu berbeda dengan taktik baru militer Amerika kini di Irak yang melindungi penduduk setempat.
McKiernan mengambil alih komando pasukan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) di Afganistan dari Jenderal Dan McNeill pada 3 Juni 2008. Ia meluangkan banyak waktu melakukan pendekatan untuk merebut simpati pemimpin lokal. Tapi simpati sulit diperoleh jika korban sipil terus berjatuhan akibat bom yang dimuntahkan pesawat perang Amerika.
Soal korban penduduk sipil dalam operasi militer Amerika itulah yang diprotes pemimpin Afganistan belakangan ini. Satu serangan pesawat tempur Amerika yang menghujankan bom di dua desa di Bala Baluk, Provinsi Farah, yang dikontrol Taliban, menewaskan 130 penduduk sipil dan menghancurkan 17 rumah, Rabu dua pekan lalu. ”Penduduk desa pergi ke masjid. Tak lama setelah salat asar, serangan udara pun terjadi,” ujar seorang pejabat urusan hak asasi Perserikatan Bangsa-Bangsa di Kabul.
Saat itu, katanya, kaum perempuan dan anak-anak bersembunyi di rumah, sedangkan kaum lelaki di atap rumah menembaki pesawat Amerika dengan putus asa. Tapi pejabat Amerika menuduh Taliban menggiring penduduk ke dalam rumah dan menjadikan mereka sebagai tameng hidup.
Ironisnya, serangan itu justru berlangsung saat Presiden Afganistan Hamid Karzai dan Presiden Pakistan Asif Ali Zardari bertemu dengan Presiden Obama di Gedung Putih untuk membicarakan kebijakan melawan Taliban. Karzai pun meradang. Ia meminta serangan udara segera dihentikan. ”Pasukan asing gagal melindungi penduduk sipil selama operasi militer di darat dan udara,” katanya. Ini kemarahan Karzai kesekian kalinya.
Di Ibu Kota, ratusan mahasiswa menggelar demonstrasi di Universitas Kabul. Mereka mengusung poster yang mengutuk serangan itu dan meneriakkan slogan anti-Amerika.
Jumlah korban dalam sekali serangan ini merupakan salah satu jumlah kematian tertinggi penduduk sipil akibat serangan militer Amerika sejak invasi Amerika mendepak Taliban dari Kabul pada 2001. Selama delapan tahun, operasi militer pasukan NATO yang dikomandani Amerika di Afganistan telah menewaskan 2.000 penduduk sipil.
Tapi, yang lebih membuat pemimpin Afganistan marah, korban serangan itu mengalami luka bakar tak biasa, yang diduga terkena bom fosfor. Menurut Nader Nadery, anggota komisi hak asasi independen Afganistan, korban mengalami luka bakar tak biasa yang mungkin disebabkan senyawa kimia semacam fosfor putih. ”Tim kami telah bertemu dengan pasien. Mereka menyelidiki penyebab luka dan penggunaan fosfor putih,” ujar Nader.
Fosfor putih biasa digunakan militer untuk menandai target serangan, berupa tabir asap, tapi juga dipakai sebagai senjata yang dapat ditembakkan dengan mortir atau granat tangan. Fosfor putih dapat mengakibatkan luka bakar yang menyakitkan. Penggunaan fosfor putih dibenarkan berdasarkan hukum internasional. Tapi, bagi kelompok hak asasi, penggunaannya di kawasan sipil merupakan kejahatan perang.
Dr Mohammad Aref Jalali, kepala unit luka bakar di Rumah Sakit Herat di bagian barat Afganistan yang menangani lima pasien luka bakar dalam serangan itu, mendeskripsikan luka bakar itu tak lazim. Menurut Aref, salah satu perempuan yang datang ke rumah sakit mengatakan 22 anggota keluarganya terpanggang. Bom menyebarkan bubuk putih yang menimbulkan api, lalu mengakibatkan pakaian orang menyala. ”Saya kira ini hasil penggunaan bahan kimia dalam bom,” ujar Aref.
Rumah sakit di Provinsi Farah menerima 14 korban setelah serangan udara Amerika itu, dan semuanya menderita luka bakar. ”Ada serangan lain di Farah sebelumnya. Tapi ini pertama kali kami melihat luka bakar pada tubuh,” ujar Wakil Kepala Departemen Kesehatan Provinsi Farah, Gul Ahmad Ayubi.
Penyelidik hak asasi Perserikatan Bangsa-Bangsa juga melihat luka bakar yang tak biasa itu pada korban, dan timbul pertanyaan, bagaimana luka bakar tersebut terjadi. ”PBB belum menemukan kesimpulan apakah senjata kimia telah digunakan,” ujar penyelidik yang tak mau disebut namanya itu.
Human Rights Watch mengumumkan hasil penyelidikan mereka pada pengeboman Amerika di Provinsi Kapisa. Salah seorang korban bom fosfor putih adalah anak gadis delapan tahun yang tubuhnya penuh luka bakar. ”Fosfor putih yang menyebabkan luka bakar hebat seharusnya tidak digunakan di kawasan permukiman sipil,” tulis Human Rights Watch dalam pernyataannya.
Tapi militer Amerika di Afganistan membantah telah menggunakan bom fosfor putih dalam serangan di dua desa di Bala Baluk itu. ”Tak ada asap (fosfor) yang digunakan di Farah,” ujar juru bicara militer Amerika di Afganistan, Kolonel Greg Julian. Perwira ini malah menduga Taliban yang menggunakannya. Militer Amerika mencatat 44 insiden penggunaan fosfor oleh Taliban.
Namun Taliban membantah tudingan itu. ”Kami tidak punya dan tidak menggunakan fosfor. Amerikalah yang menggunakannya dalam banyak operasi,” ujar Qari Mohammad Yousuf, juru bicara Taliban, lewat telepon.
Militer Amerika memang menggunakan fosfor putih dalam pertempuran di Fallujah, Irak, pada November 2004. Sekutu Amerika di Timur Tengah, Israel, menggunakannya di Gaza melawan Hamas pada Januari lalu.
Jenderal McKiernan pernah berharap bisa bertahan di Afganistan selama dua tahun. Tapi, baru separuh jalan, ia digantikan Letnan Jenderal Stanley McChrystal, yang dinilai lebih berpengalaman menerapkan strategi baru militer Amerika di bawah Presiden Barack Obama untuk membasmi musuh Amerika: bersihkan, kuasai, dan bangun.
Raihul Fadjri (AP, AFP, Washington Post)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo