Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Naw Saw Mu girang bukan main ketika menginjak Kamp Umpium. Terletak dekat Mae Sot, kamp yang dituju perempuan 50 tahun itu masuk wilayah Thailand. Berminggu-minggu dia luntang-lantung di hutan belukar, makan seadanya, menghindari ranjau darat, sebelum akhirnya mencapai Umpium beberapa waktu lalu.
Ia kini lega karena terbebas dari teror kerja paksa oleh tentara junta di kampungnya di Burma. Juga, dari ancaman pembakaran desa oleh tentara seperti yang dia saksikan di desa tetangga. ”Sungguh menyenangkan bisa selamat,” ujarnya.
Saw Mu tak mungkin menunggu proses diplomatik yang kini sedang diperjuangkan habis-habisan oleh Ibrahim Gambari. Utusan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa itu sudah dua kali datang ke Burma. Saat ini, ia sudah sepekan berada di sana. Misi utamanya memprakarsai rekonsiliasi.
Namun, bolak-balik dari rezim penguasa, lalu pergi menemui tokoh oposisi Aung San Suu Kyi, balik lagi berbincang dengan para jenderal, misi Gambari tampaknya sekadar menghitung langkah kaki. Mirip enam utusan PBB sebelumnya yang telah puluhan kali dikirim ke Burma sejak 1990. ”Belum terlihat indikasi konkret untuk bergerak maju menuju proses demokratisasi,” ucap Letjen. (Purn.) Agus Widjojo, yang sempat bertemu dengan Perdana Menteri Burma Thein Sein dan Menteri Tenaga Kerja yang ditunjuk menjadi penghubung antara junta dan oposisi bulan lalu.
Maka, tak perlu menaruh harap berlebih pada upaya diplomatik, Saw Mu pun buru-buru hengkang. Acungan moncong senapan rezim junta lebih dekat ke arahnya. Tak ada pilihan, Kamp Umpium jauh lebih menjanjikan ketimbang menanti proses rekonsiliasi yang belum lagi jelas.
Thailand hanyalah satu dari sejumlah negara tujuan pengungsi Burma. Jutaan warga negeri itu membanjiri Bangladesh, India, Cina, Kanada, Amerika, Malaysia. Mereka ingin lepas dari siksaan junta dan mencari hidup yang lebih aman di negara-negara baru. ”Pemerintah mencuri tanah kami untuk membangun kamp militer. Kaum lelaki dipaksa kerja rodi,” tutur Dudu Miah, seorang pengungsi Burma di Tal, Bangladesh.
Kekejian rezim militer pimpinan Jenderal Senior Than Shwe membuat jutaan rakyat Burma lari sejak bertahun-tahun lalu.
Di Bangladesh terdapat sekitar 200 ribu orang Burma. Yang bernasib baik bisa memperoleh suaka dan pekerjaan di negeri baru. Ada ratusan yang telah mendapat suaka di Amerika Serikat, Kanada, serta beberapa negara Eropa. ”Di Thailand ada sekitar dua juta orang Burma,” kata Sann Aung, kepala kantor National Coalition Government of the Union of Burma. Sebagian besar berstatus ilegal.
Sekitar 70 persen penduduk Mae Sot adalah orang Burma¯separuhnya penduduk gelap. Mereka lari tanpa sepotong pun identitas. Alasan mereka, dikejar pasukan junta, kabur dari kerja paksa, relokasi, pelanggaran hak asasi manusia, juga kemiskinan.
Hidup di negara lain ternyata tak seperti yang diharapkan. Alih-alih aman dan terurus, mereka terkungkung tak bisa meninggalkan kamp, dan tak ada pekerjaan. Mereka hanya menunggu untuk bisa diterima oleh negara ketiga. Bahkan ada yang sudah berada di kamp selama 18 tahun. ”Saya merasa seperti dalam tahanan rumah,” ujar The The, seorang pengungsi di Umpium.
Mereka juga bisa tinggal di luar kamp pengungsi seperti yang banyak terjadi di Mae Sot, tetapi kebanyakan menjadi korban karena statusnya yang ilegal. ”Mereka sering dipaksa kerja lembur hingga pukul 2 atau 3 pagi, dan hanya libur sehari dalam sebulan,” ujar Moe Swe, aktivis Burma Labor Solidarity Organization. Upah kerja amat rendah serta bisa ditangkap dan dideportasi setiap waktu. Kerap kali tentara menggerebek pabrik dan mengumpulkan pengungsi tanpa dokumen lalu dikirim ke Burma dengan truk.
Intel-intel Thai dan Burma berkeliaran di Mae Sot, seperti yang dialami Tempo saat mengunjungi kota kecil ini beberapa tahun lalu. Untuk bepergian pun sangat sulit karena tentara bersenjata mengecek identitas semua penumpang kendaraan yang masuk maupun keluar Mae Sot. Mirip penjara raksasa.
Nasib pengungsi di negara lain pun tak jauh berbeda. Di Bangladesh, misalnya, mereka harus berdesak-desakan di bangunan mungil. Pemerintah setempat tak bisa banyak membantu. ”Ketika matahari bersinar kami terbakar, ketika hujan kami basah,” Toyaba, seorang pengungsi, melukiskan kondisi mereka.
Penderitaan panjang membuatnya hanya merindukan satu hal: konflik segera berhenti dan mereka bisa hidup dalam damai.
PD Prabandari (BBC/Burma Labor Solidarity Organization)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo