Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DAVID Kaiyaki memilih lebih banyak berdiam di dalam rumah sepanjang pekan lalu. Pria yang tinggal di ibu kota Negara Bagian Plateau, Jos, ini khawatir dengan keselamatan dirinya. ”Sejak pagi kami berada di dalam rumah. Pembakaran dan penembakan terjadi di sekitar rumah kami,” katanya pekan lalu.
Berbeda dengan Kaiyaki, Ibrahim Mudi lebih bernyali. Penduduk Jos bagian utara itu dengan sisa-sisa keberaniannya menyaksikan pembakaran dan penembakan yang terjadi di kota kecil di Nigeria tengah itu. ”Sejumlah bangunan di wilayah utara kota dibakar, suara tembakan di mana-mana. Habis sudah Jos bagian utara,” ujarnya sedih.
Suasana Kota Jos minggu lalu memang mencekam. Bentrokan antarkelompok agama kembali pecah. Pemicunya disinyalir pemuda Kristen memprotes pembangunan sebuah masjid di daerah yang mayoritas dihuni oleh pemeluk Nasrani. Namun sekretaris forum sesepuh Kristen, Musa Pram, balik menuding justru pemuda muslim yang menyerang saat mereka tengah melangsungkan kebaktian di gereja.
Pernyataan Pram dibantah oleh Kabiru Mohammed. Pria yang kehilangan rumahnya dalam kekerasan pada 2008 itu mengaku didatangi oleh umat Kristen yang meminta dia menghentikan pembangunan rumah yang tengah dilakukan. ”Mereka mengatakan kawasan itu sudah menjadi milik mereka,” katanya.
Sejumlah rumah, gereja, masjid, gedung, dan kendaraan dibakar dalam bentrokan itu. Korban pun berjatuhan. Kepala Masjid Pusat di Jos, Balarabe Dawud, mengatakan hingga Selasa pekan lalu setidaknya 192 mayat dan ratusan warga yang cedera ditampung di dalam masjid. Hal tersebut dibenarkan oleh Sekretaris Asosiasi Kristen Nigeria, Pendeta Chung Dabo.
Palang Merah Nigeria bahkan menyebut lebih dari 3.000 orang mengungsi dan 300 orang tewas sejak bentrokan pekan lalu. Para pengungsi memilih tinggal di barak militer dan bangunan umum untuk menyelamatkan diri. Ratusan warga terluka dan masih belum mendapat penanganan khusus karena terbatasnya peralatan dan tenaga medis.
Jos merupakan kota dengan penduduk 500 ribu orang. Letaknya di Nigeria tengah, di antara wilayah utara yang didominasi kaum muslim dan selatan yang didominasi penganut Kristen atau agama tradisi. Bentrokan di negara kaya minyak ini ironisnya terjadi karena kemiskinan dan minimnya akses ke sumber daya alam seperti tanah.
Untuk mencegah semakin meluasnya bentrokan dan jatuh korban lebih banyak, pasukan keamanan Nigeria diterjunkan ke Jos. Jam malam ketat diberlakukan sejak Selasa pekan lalu.
Juru bicara kepolisian setempat, Mohammed Lerama, mengatakan bahwa lokasi kerusuhan telah diberi garis polisi dan situasi jalanan mulai normal, Kamis pekan lalu. Ia mengatakan perdamaian sangat mutlak dibutuhkan karena kekerasan ini telah terjadi bertahun-tahun.
Kelompok Pemantau Hak Asasi Manusia mendesak pemerintah Nigeria segera menginvestigasi penyebab bentrokan dan mengambil sikap tegas untuk menghentikan kerusuhan. Pasal nya, bentrokan antarkelompok agama ini bukan yang pertama kali.
”Ini bukan kerusuhan mematikan yang pertama di Jos. Pemerintah telah gagal melakukan tindakan tegas untuk menghentikan kerusuhan dan menghukum yang bertanggung jawab,” kata peneliti senior Afrika Barat di Pemantau Hak Asasi Manusia, Corrine Dufka.
Pertikaian antarkelompok agama sering terjadi di Nigeria. Pada November 2008 ratusan warga terbunuh dan luka-luka akibat bentrokan antara pemeluk Kristen dan Islam. Bahkan pada 2001 setidaknya 1.000 orang tewas akibat kekerasan agama.
Kamis pekan lalu, suasana Jos ber-angsur membaik. Jam malam yang sebelumnya diberlakukan sehari penuh pun dilonggarkan. ”Kini sudah lebih santai. Warga bisa mulai beraktivitas,” kata Direktur Jenderal Departemen Informasi Negara Bagian Plateau, Yehezkiel Dalyop.
Suryani Ika Sari (BBC, AFP, AP, Reuters, Aljazeera)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo