Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KERINGAT sebesar butiran jagung meleleh di wajah perempuan setengah baya itu. Bahang matahari menyengat kulit. Perempuan itu sedang menunggu giliran mendapatkan seliter air dari divisi ke-82 Angkatan Udara Amerika Serikat. Fasilitas air bersih di Haiti, yang baru diguncang gempa dengan kekuatan 7 skala Richter, dibangun dekat kamp tentara Amerika. Tentara Abang Sam adalah pasukan perintis yang pertama kali masuk ke negeri itu.
Di belakangnya, antrean mengular sampai ratusan meter. Air bersih menjadi barang langka di Haiti saat ini. ”Kami tak punya apa-apa lagi, bahkan air,” ujar Victor Jean Rossiny, mahasiswa hukum yang kini hidup di sebuah tenda. Jalanan Haiti penuh dengan tenda seadanya dari berbagai bahan: kain, tripleks, bahkan kardus.
Korban luka berat dan patah tulang belum mendapat pertolongan memadai setelah berhari-hari. Padahal di Port-au-Prince, ibu kota Haiti, bandar udara tempat pesawat lalu-lalang masih berfungsi dengan baik, meskipun cuma ada satu landasan yang masih beroperasi.
Kondisi kacau-balau masih berlangsung sepekan setelah bencana. Sebuah organisasi kemanusiaan Prancis, Medicines Sans Frontieres alias Kelompok Dokter Pelintas Batas, menuduh Amerika salah menangani lalu lintas bantuan di Haiti. Akibatnya, para dokter dan bantuan medis yang vital terlambat tiba di tempat para korban.
Francoise Saulnier, kepala departemen legal organisasi itu, menyatakan waktu mereka terbuang karena bandara utama di Port-au-Prince sekarang dikontrol komando Amerika. ”Mereka memonopoli dengan lalu lintas pesawat militer mereka.”
Organisasi yang didirikan sekelompok wartawan dan dokter pada 1971 itu, termasuk Menteri Luar Negeri Bernard Kouchner, memprotes lantaran lima pesawat mereka ditolak mendarat selama tiga hari berturut-turut sejak Ahad malam. Padahal pesawat tersebut berisi 85 ton obat-obatan dan perangkat operasi yang amat diperlukan.
Akibatnya, bantuan terlambat tiga hari. ”Tiga hari adalah waktu kritis munculnya infeksi, gangrene, dan amputasi yang mesti segera kami lakukan,” kata Saulnier seperti dikutip Reuters. ”Kami bisa lebih cepat andai mereka tak menguasai bandara.”
Menteri Muda Kerja Sama Luar Negeri Prancis Alain Joyandet juga memprotes Amerika yang seenaknya menolak pendaratan pesawat bantuan dari Prancis.
Pejabat dari Kementerian Pertahanan Amerika mengakui macetnya aliran bantuan. ”Banyak tentara bingung, pesawat yang akan terbang ke Port-au-Prince mesti membawa bantuan apa dan mesti disalurkan ke wilayah mana,” ujar pejabat yang tak mau disebut namanya itu. Menurut sang pejabat, sejak Rabu pekan lalu, tentara Amerika sudah mampu mengatasi kebingungannya. Mereka mempercepat laju aliran bantuan.
Sebuah sistem komputerisasi mengatur kapan dan ke mana bantuan tersebut mesti disalurkan. ”Tantangannya landasan pacu buat pesawat cuma satu,” kata pejabat itu lagi. Padahal ada 180 penerbangan yang lalu-lalang menggunakan bandara itu per hari.
Lambatnya pengiriman bantuan juga disebabkan prosedur Misi Stabilisasi Haiti Perserikatan Bangsa-Bangsa yang hanya memperkenankan tenaga bantuan tak terkawal pada siang hari. Pengawalan perlu, lantaran keamanan pengiriman bantuan berisiko tinggi. ”Saya melihat ada indikasi kekacauan, tapi sampai saat ini masih bisa diatasi,” kata Jenderal Floriano Peixoto, Kepala Penjaga Perdamaian PBB dari Brasil.
Toh, dampak keterlambatan bantuan sudah terjadi. Tujuh puluh dua ribu warga meninggal. Para pakar memprediksi akan banyak korban lagi pada beberapa pekan mendatang lantaran kurangnya bantuan medis. Ada ribuan korban luka belum tertangani. ”Banyak sekali yang patah tulang dan luka berat yang belum tertangani,” ujar Eduardo de Marchena, dokter dari bagian kardiologi Universitas Miami, seperti dikutip New York Times. ”Mereka yang luka parah itu lebih baik diangkut helikopter keluar dari sini.”
Air dan listrik yang tak tersedia di Rumah Sakit Umum Haiti, di Port-au-Prince, makin menyulitkan bantuan medis. Apalagi bahan bakar untuk generator juga menipis. Berkurangnya obat-obatan membuat para dokter memakai vodka sebagai cairan pensteril luka, dan menggunakan gergaji besi yang mereka beli di pasar di Port-au-Prince untuk mengamputasi.
Ibu Kota Port-au-Prince kini seperti wilayah yang diinvasi pihak asing. Pemerintah tak bisa melancarkan bantuan bagi warganya. Fasilitas kantor pemerintah juga tak bisa lagi diakses. ”Kami memindahkan kantor kepresidenan dan pemerintah ke barak polisi agar dekat dengan mitra kami,” ujar Presiden Rene Preval. Di kantor itu, Rene tak menikmati penyejuk udara, tapi dia masih diamankan dua penjaga.
Yophiandi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo