Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NAZIK Tawfiq menjatuhkan diri ke tanah, lalu berlutut seraya berdoa—tatkala mendengar putusan hakim. Hari itu, Minggu, 17 Januari lalu, Pengadilan Tinggi Irak menjatuhkan vonis mati kepada Ali Hassan al-Majid. Populer dengan sebutan Ali Kimia, pria 68 tahun ini adalah sepupu bekas Presiden Irak Saddam Hussein, dan arsitek pembantaian 182 ribu orang Kurdi di Desa Halabaja, Irak Utara, pada Maret 1988.
Pembantaian suku Kurdi di bawah arahan Ali Majid itu dikenal dengan istilah Operasi Al-Anfal. Jet-jet tempur Irak menjatuhkan bom berisi bahan kimia mematikan ke Desa Halabaja atas perintah Ali. Di antara korban, terdapat enam anggota keluarga Nazik Tawfiq. Perempuan Kurdi itu berkata dengan penuh emosi, ”Saya bahagia sekali. Kini arwah keluarga saya bisa tenang di alam baka.”
Bukan hanya Nazik yang gembira mendengar keputusan hakim. Hampir seluruh keluarga korban serangan hadir di ruang pengadilan. Setelah menunggu cukup lama, Pengadilan Tinggi Irak menjatuhkan vonis mati keempat bagi Ali Hassan al-Majid atas serangan gas mematikan yang menewaskan lima ribu lebih warga Kota Halabaja. Ali akan digantung dalam waktu dekat.
Ali Kimia adalah salah satu sosok paling ditakuti di Irak di masa rezim Saddam Hussein. Dengan vonis 17 Januari lalu, empat kali sudah Ali mendapat vonis hukuman mati. Dua putusan pertama berkaitan dengan kasus Halabaja. Dua vonis mati lain datang dari kasus represi terhadap kaum Syiah pada 1991. Dan pembunuhan pemimpin Syiah, Ayatollah Mohammad al-Sadr, pada 1999.
Sangat ditakuti ketika berkuasa, Ali meraih kekuasaan dari dua jalur. Di jalur keluarga, dia sepupu pertama Saddam Hussein dari garis ibu. Di jalur politik, mula-mula dia lebih banyak menempati posisi di belakang layar, dan menjadi salah satu tokoh penting Partai Baath, yang mendukung Saddam. Sang Presiden kemudian menunjuk Ali menjadi Gubernur Irak Utara pada Maret 1987, dan membawahkan wilayah Kurdi.
Setelah Irak menginvasi Kuwait pada 1990, Ali ditunjuk menjadi Gubernur Kuwait, yang disebut sebagai ”provinsi ke-19” Irak. Saat memimpin Irak Utara, dia menerbitkan dekrit yang mengerikan: ”Angkatan Bersenjata harus membunuh semua orang (Kurdi) dan binatang mereka yang terlihat di dalam wilayah (Irak Utara).”
Selain itu, ada beberapa pengikut setia Saddam yang menerima vonis: bekas Menteri Pertahanan Sultan Hashem Ahmed dan mantan Kepala Intelijen Militer yang juga bekas Gubernur Bagdad, Sabir Abdul-Aziz al-Douri. Keduanya diganjar 15 tahun penjara karena terlibat dalam Operasi Al-Anfal. Terdakwa lain, Farhan Mutlaq al-Jubouri, mantan Kepala Intelijen Regional, dihukum 10 tahun.
Nah, khusus hukuman mati, Ali ternyata tak sendirian. Ada Sultan Hashim Ahmed al-Tai, penanggung jawab Operasi Al-Anfal, dan mantan Deputi Direktur Operasional Militer Hussein Rashid Mohammed. Ahmed dan Rashid mendapat vonis mati karena keterlibatan mereka dalam pembantaian warga Kurdi.
Rekaman rapat sebelum pemusnahan massal di Halabaja ditemukan di Kirkuk pada 1991. Dalam salah satu rekaman rapat pada 1988, Ali mengatakan, ”Aku akan membunuh mereka (Kurdi) dengan senjata kimia. Siapa yang akan menghalangi? Persetan dengan dunia internasional,” katanya.
Pada 12 Maret 1988, empat hari sebelum pembantaian, Saddam Hussein berkunjung ke Kota Sulemani, menemui Hashim Ahmed, Kepala Operasi Anfal. Pada 16 Maret 1988, pasukan Irak menembakkan senjata kimia ke Kota Halabaja. Akibatnya mengerikan. Human Rights Watch mencatat: mayat manusia dan bangkai binatang bertumpuk-tumpuk di jalanan kota.
Mereka yang sempat bertahan berteriak histeris sebelum akhirnya tewas terkapar. Penyiksaan, pembunuhan, dan deportasi lazim digunakan rezim Saddam untuk menghabisi kaum Kurdi. Namun Ali punya cara keji. Pasukannya akan menggiring pria Kurdi di bawah todongan senjata ke sebuah tempat. Di sana mereka dieksekusi. Sementara itu, anggota keluarga Kurdi yang tersisa dihabisi dengan senjata kimia.
Tiga hari pascapembantaian, pada 19 Maret 1988, pasukan Irak berhasil menguasai pusat Partai Uni Kurdistan di Sargalo, selatan Kurdistan. Fase pertama operasi ini pun terlaksana. Dalam surat kepada Saddam Hussein, Hashem Ahmed melaporkan perkembangan Operasi Al-Anfal. Ia menandatangani surat tersebut dan dikirimkan pada hari itu juga.
Sebuah video lain pun menjadi bukti kebrutalan Ali. Pasca-Perang Teluk pada 1992, rezim Saddam melancarkan serangan terhadap kaum Syiah di Irak Selatan. Video tersebut memperlihatkan Ali sedang mengintimidasi seorang pilot helikopter untuk membunuh sebanyak mungkin kaum Syiah. ”Jangan kembali sebelum kamu membakar jembatan,” Ali memerintahkan.
Selain itu, serangan terhadap kaum Syiah dipimpin oleh seorang petinggi Partai Baath, Mohammed Hamza al-Zubaedi. Zubaedi, yang kemudian menjadi Perdana Menteri Irak, dikenal memiliki reputasi buruk. Dia sering menendang dan memukuli tahanan yang tergeletak di tanah.
Dalam sebuah rekaman video lain, Zubaedi menyuruh pemimpin militer Irak menghancurkan sebuah suku di bagian selatan Irak. Ali kerap menginterogasi dan menyiksa tahanan sembari menikmati rokok. Para tahanan pun sering dipanggil dengan sebutan pelacur atau anak haram.
Sebagai Komandan Pusat Daerah Eufrat pada 1998-2000, Zubaedi bertanggung jawab atas tekanan terhadap kaum Syiah. Pembunuhan terhadap Ayatollah Mohammad al-Sadr dan kedua anaknya di pusat kegiatan kelompok Syiah di Al-Najaf pada akhir Februari 1999 melibatkan peran Zubaedi. Namun, sebelum mempertanggungjawabkan semua kekejiannya di pengadilan, Zubaedi meninggal karena sakit di rumah sakit militer Amerika Serikat di Irak pada 2005.
Setelah hampir tujuh tahun, Pengadilan Khusus Irak berhasil menyeret Saddam Hussein dan loyalisnya ke meja hijau atas kejahatan perang dan kemanusiaan yang mereka lakukan sejak 1968. Yang pertama kali diadili adalah para mantan pejabat tinggi rezim Saddam, termasuk Ali. Setidaknya 29 orang bekas petinggi dari masa kekuasaan Saddam kini mendekam di kamp Taji, basis militer Irak di utara Bagdad.
Selama tiga dekade lebih, Human Rights Watch mencatat sedikitnya 290 ribu warga Irak tewas akibat kebengisan rezim Saddam. Salah satu bukti: puluhan ribu jasad ditemukan dalam kuburan massal di berbagai tempat. Di Kota Al-Mahawil, misalnya, ada sekitar 15 ribu jasad yang dipendam di kuburan massal.
Pascaputusan pengadilan, sebagian warga Halabaja mengunjungi kubur keluarga mereka di pemakaman umum. Mereka berdoa bagi ketenangan arwah keluarga yang menjadi korban kebiadaban Ali dan kawan-kawan.
Tak sedikit dari mereka berteriak histeris di pemakaman. ”Aku ingin mengabarkan kepada keluargaku bahwa Ali segera digantung.” Teriakan lantang ini datang dari Arslan Abid, yang kehilangan 16 anggota keluarganya akibat Operasi Anfal. Suasana meriah menyambut vonis mati Ali Kimia. Lagu kemenangan membahana, diputar keras-keras lewat toa di monumen serangan Halabaja. Kota kecil di Irak Utara itu tiba-tiba larut dalam sukacita.
Sita Planasari A. (The Independent, New York Times, The Guardian, AP)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo