Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Teheran, 10 Februari 2009. Ribuan warga Iran berkumpul di Lapangan Kemerdekaan. Sebagian besar pendukung Presiden Iran Mahmud Ahmadinejad. Gambar Ayatullah Khomeini dalam ukuran raksasa berdiri tegak, tatapannya tajam.
Tiga puluh tahun Revolusi Iran, ”Margbar Amriki”, ”Matilah Amerika”, masih merupakan yel yang paling sering diteriakkan dalam demonstrasi-demonstrasi besar. Bangunan bekas Kedutaan Besar Amerika yang pernah dikuasai mahasiswa militan selama 444 hari telah menjadi milik Garda Revolusi. Pasukan elite yang legendaris itu menggunakannya sebagai museum spionase dan pusat pelatihan khusus untuk menghadapi Amerika Serikat.
Ada yang berubah setelah tiga dekade Iran melalui aneka kesusahan: perang, terorisme, isolasi, konfrontasi, dan berbagai sanksi internasional. Dalam pidatonya Selasa pekan lalu, Ahmadinejad menyebutkan sudah masanya untuk politik yang lebih diplomatis, berdasarkan perundingan yang adil dan sejajar. Tentu ia tidak membicarakan situasi dalam negeri Iran.
Ahmadinejad menyambut baik keinginan pemerintah baru Amerika Serikat di bawah Barack Obama, pemerintah yang akan lebih mengedepankan dialog. Sepekan setelah resmi menjabat presiden, Obama mengatakan, dialog dengan Iran adalah hal yang akan ia wujudkan. ”Namun ini bukan persoalan semalam dua malam karena semuanya sudah berlangsung sangat lama dan kompleks,” kata Obama.
Ahmadinejad juga menyinggung Iran yang membuka pintu lebar-lebar untuk bekerja sama dengan dunia luar, dan menjelaskan program nuklir Iran yang bertujuan damai. Ahmadinejad tengah memperlihatkan wajah Iran yang bersahabat. Sejak revolusi 1979 itu, hubungan diplomatik Iran-Amerika putus. Penyanderaan 66 orang—sebagian besar warga Amerika—di Kedutaan Besar Amerika oleh mahasiswa militan Iran pada November 1979 memperparah hubungan keduanya.
Sejak itu, berbilang pemerintah silih-berganti di Amerika, semuanya menempatkan Iran sebagai musuh. Puncaknya pada pemerintah George W. Bush, yang menyebut Iran sebagai ”poros setan” dan memasukkan negara itu ke daftar musuh perang melawan teror bersama Hamas dan Al-Qaidah setelah serangan 11 September. Apalagi belakangan program nuklir yang terus dikembangkan Iran menjadi alasan jitu bagi Amerika dan sekutunya untuk kian memojokkan Iran.
Kini Iran menghadapi banyak tantangan. Menghadapi pemilu Juni nanti, Ahmadinejad mulai berhitung kekuatan. Ia sadar dua pertiga populasi penduduk Iran, yang berjumlah 70 juta jiwa, adalah anak muda di bawah 25 tahun. Mereka yang mulai melek politik tentu saja akan berkeberatan jika Iran terus-menerus berada di bawah kendali para ulama konservatif.
Isu mulai bergeraknya kalangan moderat kembali ke panggung politik memang makin kencang berembus. Motor penggerak reformasi Islam Iran, Mohammad Khatami, bahkan sudah memastikan akan ikut bertarung dalam pemilu nanti. Khatami menang telak dalam pemilu Iran pada 1997, yang memuluskan jalannya menuju kursi presiden. Kehadirannya memunculkan harapan reformasi dan demokrasi di Iran.
Meski bersikap keras, Ahmadinejad yang konservatif berhasil membuat rakyat Iran berpihak kepadanya. Ia memikat rakyat dengan menunjukkan sikap nasionalisme yang kental, mati-matian menekan angka korupsi, serta melipatgandakan gaji pegawai negeri dan pensiunan. Meski hidup di bawah isolasi dunia internasional, Iran menikmati berkah dari kenaikan harga minyak.
Kini, 30 tahun setelah serangan massa ke markas besar tentara Shah Reza Pahlevi itu, garis keras Islam Iran tidak bisa lagi menutup mata. Revolusi Islam Iran tengah bergerak menuju era baru. Mungkin mereka tak lagi meneriakkan yel-yel ”Margbar Amriki”.
Angela Dewi (AP, BBC, CNN)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo