Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dibangun dengan semangat menghimpun warga Yahudi dalam satu wilayah berdaulat dengan mencaplok satu demi satu wilayah bertuan di tanah Palestina, pemerintah Israel tumbuh dalam suasana penuh konflik kepentingan. Sejak 1948, tak kurang dari 18 rezim telah memerintah Israel. Koalisi demi koalisi terbentuk, dan setiap unsur dalam koalisi itu berlawanan.
Ada yang memimpin dengan mengobarkan kebencian di kalangan musuh mereka di Jazirah Arab, ada pula yang lunak dan bersedia berdamai demi memuluskan jalan dua negara: Palestina dan Israel. Masing-masing pemerintah biasanya meruntuhkan apa yang sudah dibangun rezim sebelumnya. Jika rezim terdahulu menandatangani butir kesepakatan damai, rezim sesudahnya mengingkari. Begitulah selalu yang terjadi.
Pemilu Israel yang berlangsung pekan lalu juga memunculkan wajah yang sama. Tak ada pemenang mutlak. Koalisi sekali lagi harus dibangun. Untuk mengetahui pemerintah seperti apa yang kelak akan memimpin Israel dan pengaruhnya terhadap proses perdamaian di Palestina, Angela Dewi dari Tempo mewawancarai Avi Shlaim, profesor ilmu politik dan hubungan internasional Universitas Oxford, lewat surat elektronik, pekan lalu.
Shlaim, warga Israel keturunan Irak, menulis sejumlah buku tentang hubungan Israel dan Palestina serta Libanon dan Suriah. Shlaim selama ini dikenal sebagai pendukung pemerintah Israel yang bersikap keras terhadap Palestina. Belakangan, ketika Gaza digempur, Shlaim beralih mengkritik pemerintah. Berikut ini petikan wawancara itu.
Pemilu Israel kembali melahirkan koalisi. Bagaimana Anda memandangnya?
Dalam sejarahnya, memang tak ada unsur dominan dalam tubuh pemerintah Israel. Inilah keanehan yang sudah berlangsung puluhan tahun. Masing-masing unsur mendesakkan kepentingannya, yang acap justru berlawanan. Akibatnya, pemerintah dipenuhi intrik. Ini yang membuat mereka tak kuat. Yang terjadi dalam pemilu sekarang juga tak ada bedanya. Kadima, yang terdiri atas orang-orang beraliran moderat, tak bisa berjalan sendirian karena hanya menang tipis. Mereka terpaksa berkoalisi dengan orang-orang kanan Benjamin Netanyahu, yang bersikap keras terhadap Palestina. Ini tentu akan merepotkan pemerintah saat mereka menentukan kebijakan. Bukan tak mungkin ini akan jadi bumerang bagi mereka.
Bagaimana Anda melihat munculnya tokoh garis keras ultranasionalis Avigdor Lieberman dalam pemilu kali ini?
Lieberman adalah contoh bagaimana pemerintah yang sekarang sudah tak bisa menampung keinginan rakyat. Kadima, partai yang sekarang berkuasa, tak bisa meyakinkan rakyat dengan agenda-agendanya. Bukti menunjukkan mereka tak lagi didukung rakyat dan terpaksa menempuh jalan ekstrem dengan menjadikan Jalur Gaza dan Hamas sebagai proyek uji coba untuk menilai loyalitas pendukungnya. Sebaliknya, Netanyahu juga tak otomatis menjadi one-way ticket untuk menjamin keamanan di wilayah Israel. Saya pikir orang sudah bosan dan khawatir dengan kehidupan penuh ketegangan dan konflik. Mereka ingin melihat Israel seperti apa yang akan terwujud jika benar terbentuk dua negara. Ini kan mengerikan bagi mereka yang anti-Arab. Lieberman masuk di celah ini. Ia ingin menunjukkan, jika ingin mewujudkan Israel yang aman, harus ada pemisahan mutlak.
Lieberman disebut-sebut rasis dan fasis.
Lieberman memang punya banyak musuh, apalagi bagi Amerika, yang mengusung agenda perdamaian di Timur Tengah. Target dua negara di satu wilayah juga bisa-bisa terganjal.
Menurut Anda, bagaimana Amerika menyikapi koalisi baru ini? Apalagi ada Netanyahu di dalamnya.
Presiden Barack Obama saya lihat adalah orang yang sangat berhati-hati dan sangat mengakomodasi banyak suara. Ini baik untuk mengajak banyak orang duduk bersama dan mencari berbagai formula perdamaian. Tapi saya kira Netanyahu tak akan sabar karena Partai Likud punya agenda memperluas kekuasaan sebanyak mungkin. Beberapa poin soal tepi Barat mungkin akan kembali memunculkan persoalan.
Apa pengaruh pemerintah koalisi ini nanti bagi perjalanan perdamaian Palestina?
Saya melihat akan ada konsensus di antara unsur pemerintah koalisi. Akan ada banyak kesepakatan. Saya juga melihat ini tantangan baru bagi pemerintah Palestina. Mereka harus bisa menampilkan wajah cantik negosiasi untuk kepentingan rakyat Palestina. Sisi positifnya, tak ada pihak yang akan paling berkuasa nantinya. Saya harap setiap pihak bisa memanfaatkan hal ini untuk memuluskan jalan perdamaian di Timur Tengah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo