Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

<font size=2 color=#CC0000>Yisrael beitenu</font><br />Kuda Hitam dengan <font color=#6666FF>Cap Rasis</font>

Avigdor Lieberman menjadi penentu pemimpin baru Israel. Dikenal sebagai politikus rasis dan anti-Arab.

16 Februari 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada musim panas 2004 itu Avigdor Lieberman keluar dari kantornya di Tel Aviv dengan langkah lunglai. Perdana Menteri Ariel Sharon baru saja memecatnya sebagai menteri transportasi. ”Menteri Lieberman mundur dari jabatannya karena menentang rencana penarikan pasukan dari Tepi Barat,” begitu bunyi pengumuman resmi dari pemerintah Israel.

Hampir lima tahun kemudian, nama Lieberman kembali menjadi pembicaraan publik. Ia kini muncul sebagai ”The King Maker” pemimpin baru Israel setelah dua partai besar yang bertarung di pemilu pekan lalu gagal memperoleh suara mayoritas.

Partai berkuasa Kadima yang mengusung Menteri Luar Negeri Tzipi Livni meraih 28 kursi, sementara partai sayap kanan Benjamin Netanyahu, Likud, hanya berselisih satu suara di bawahnya. Masih jauh dari kuota 61 kursi untuk membentuk pemerintahan. Yisrael Beitenu, partai Lieberman, mengumpulkan 15 suara. Ke mana pun ia memilih, telunjuknya akan menentukan siapa perdana menteri baru Israel.

Avigdor Lieberman bukan politikus ingusan. Imigran Rusia berusia 51 tahun ini naik ke panggung politik dengan sikap kontroversial. Seolah tiada hari yang ia lewatkan tanpa melontarkan ucapan yang memancing reaksi dan polemik.

Sejak mendirikan Yisrael Beitenu pada 1999, Lieberman sudah dikenal sebagai politikus garis keras, ultranasional, dan acap dicap rasis dan fasis oleh lawan politiknya. Ucapan dan sikapnya yang paling terkenal dan selalu menjadi pembicaraan adalah gagasan tentang pemisahan wilayah warga keturunan Arab Israel dari seluruh wilayah Israel. Gagasan yang kemudian dikenal sebagai Lieberman Plan itu menetapkan warga keturunan Arab harus minggir dari permukiman mayoritas Israel.

Ia juga mengkritik tajam sikap kaum Yahudi ultra-ortodoks yang menyuarakan konsep Israel tanpa negara. ”Mereka harus memilih, setia atau hengkang dari tanah Israel,” katanya.

Lieberman menciptakan polemik di dalam tubuh pemerintah ketika bergabung dengan Ariel Sharon pada 2001. Ia menyebut orang Israel yang bekerja sama dengan Arab tak ubahnya pengkhianat pada masa kekuasaan Nazi. ”Jika para Nazi dipenggal kepalanya di Nuremberg, begitu pula seharusnya para pengkhianat itu,” katanya.

Suara keras Lieberman rupanya merepotkan pemerintah. Pada pertengahan 2004, ia didepak dari kabinet Sharon. Tapi ia tak surut mengkritik pemerintah. ”Apa salahnya jika berbeda dan kritis? Bukankah itu lebih baik?” katanya.

Inggris, yang juga tak terlampau suka kepadanya, tak lepas dari sindiran. Dalam satu kesempatan, Lieberman berkata bahwa Inggris tak selayaknya mengkritik Israel. ”Lihat Inggris, mereka berjalan ribuan kilometer ke Falkland hanya untuk mencari ladang bagi ternak mereka,” katanya.

Jika jadi onak dalam daging, mengapa ia begitu populer dan partainya menempati posisi ketiga dalam pemilu? Lieberman dinilai bisa meraih simpati warga yang belum memutuskan memilih pemimpin perempuan seperti Livni atau si keras kepala Netanyahu yang menyuarakan ”libas musuh kita”.

Sentimen anti-Arab di kalangan warga Israel merupakan kunci suksesnya. Ia menyebut target pemerintah mendirikan negara Israel yang berbaur dengan warga Arab adalah sebuah kemusykilan. ”Sebuah ide sempurna bagi masyarakat kita adalah dua wilayah yang terpisah: Arab dan Israel murni,” katanya. Slogan partainya ”No Loyalty, No Citizenship” rupanya mengena pada orang-orang yang sudah putus asa dan tak lagi percaya bahwa muslim dan Yahudi bisa hidup berdampingan dengan damai.

Banyak yang khawatir pada masa depan perdamaian Palestina-Israel bila orang serupa Lieberman duduk di kabinet koalisi. Namun banyak pula yang bertepuk tangan terhadap posisi partainya yang kian kuat itu. Ia dinilai sebagai perwakilan suara kaum kanan yang menghendaki Israel terus memperluas wilayah caplokan di tanah Palestina.

Angela Dewi (AFP, BBC, CNN, Guardian)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus