Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

<font size=2 color=#FF9900>BELGIA</font><br />Terancam Berpisah Jalan

Belgia terancam terpecah setelah Partai Aliansi Flemish Baru memenangi pemilihan umum. Komunitas berbahasa Belanda ingin memisahkan diri.

21 Juni 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HASIL pemilihan umum itu sudah diramalkan sejak jauh hari, tapi tetap saja terasa mengejutkan. Partai separatis sayap kanan, Aliansi Flemish Baru (NVA), berhasil menyabet kemenangan dalam pemilihan umum Belgia pekan lalu. Untuk pertama kalinya dalam 180 tahun sejarah politik Belgia, Flemish memperoleh kursi terbanyak di parlemen.

Partai pimpinan Bart de Wever itu dikenal menginginkan Flanders—wilayah berbahasa Belanda di Belgia bagian utara—berpisah. Inilah yang mengguncang politik Belgia. Mereka merebut 27 dari 150 kursi parlemen, bertambah 19 kursi dibanding pemilihan pada 2007. Partai Sosialis, yang berbahasa Prancis, tergeser ke posisi kedua. Kekalahan telak dialami Partai Kristen Demokrat dan Partai Liberal.

”NVA telah menang pemilu hari ini,” kata Bart de Wever kepada pendukungnya dengan gembira. ”Kami berdiri di hadapan Anda dengan partai yang memiliki 30 persen suara Flemish.” Ribuan pendukung NVA mengibarkan bendera kuning-hitam dan menyanyikan lagu kebangsaan Flemish selama perayaan kemenangan.

Pemilihan umum ini terlaksana setahun setelah terpecahnya koalisi Perdana Menteri Yves Leterme—antara Kristen Demokrat, Liberal, dan Sosialis—akibat perdebatan pasal distrik pemilihan. Bubarnya koalisi menempatkan NVA sebagai partai paling populer.

Hasil pemilu kali ini memaksa politikus berbahasa Prancis melakukan negosiasi lebih serius, terutama soal pemberian otonomi lebih kepada kelompok berbahasa Belanda. Bila tidak, Flanders tentu akan memilih memisahkan diri. Sejak berabad lalu, Francophone (warga Belgia pengguna bahasa Prancis) dan Flemish (pengguna bahasa Belanda) memang tidak pernah akur.

Belgia terbagi menjadi tiga wilayah federal, yaitu Flanders di bagian utara, yang berbahasa Belanda; Wallonia, di bagian selatan, yang berbahasa Prancis dan minoritas Jerman; serta Brussel, ibu kota negara, dengan kelompok campuran. Flemish berjumlah lebih banyak, sekitar 6 juta jiwa, sementara Francophone berjumlah 3,5 juta jiwa, dan wilayah campuran di Brussel berpenduduk 1 juta jiwa.

Jurang bahasa memang terlalu dalam di Belgia. Tidak ada partai yang dominan dalam politik nasional. Masing-masing partai bahkan terbelah menjadi ”Prancis” dan ”Belanda”. Karena perbedaan itu, tidak ada lembaga penyiaran atau surat kabar nasional di Belgia. Bahkan, pekan lalu, publik seperti menyaksikan tiga pemilihan umum yang berbeda: satu di Wallonia, lainnya di Flanders, dan pemilihan terpisah di Brussel.

Masalah di Belgia tidak semata urusan bahasa. Penduduk Flanders, yang menganut perdagangan bebas, jauh lebih makmur dan sejahtera. Angka pengangguran juga lebih rendah. Pendapatan per kapita di Flanders lebih tinggi 25 persen dibanding tetangga mereka di selatan Belgia. Sebaliknya, Wallonia jauh tertinggal. Tata pemerintahan Wallonia, yang mayoritas sosialis, cenderung buruk. Pemerintahannya diwarnai korupsi. Kesenjangan pun meruncing. Flanders merasa lelah karena terlalu sering memberikan subsidi kepada tetangga mereka.

Flanders dan Wallonia masing-masing memiliki otonomi dalam pembangunan perkotaan, lingkungan, pertanian, tenaga kerja, energi, budaya, olahraga, dan beberapa bidang lain. Flemish menuntut urusan hukum, kesehatan, dan jaminan sosial juga ditambahkan dalam otonomi. Tapi politikus Francophone khawatir, bila jaminan sosial dibuat otonom, itu akan mengakhiri pemerintahan Belgia.

De Wever berupaya membuat Belgia terpecah secara bertahap. Partainya menuduh Wallonia memiliki tata pemerintahan buruk sehingga angka pengangguran melonjak hingga dua kali lipat daripada Flanders. Francophone juga dituding tidak mampu membawa Belgia lepas dari krisis ekonomi.

Harian milik Francophone, Le Soir, mengatakan kini Flemish telah memiliki seorang raja baru. ”Raja” yang dimaksud adalah De Wever, 39 tahun, calon kuat Perdana Menteri Belgia. Namun pemimpin Partai Sosialis Wallonia, Elio di Rupo, mengatakan, ”Mayoritas orang Flemish ingin institusi negara direformasi. Kita harus mendengarkan itu.”

Meski menang, NVA tidak serta-merta bisa menjalankan pemerintahan. Dengan sistem yang baru, NVA membutuhkan sedikitnya empat partai untuk membentuk pemerintahan koalisi. Pembicaraan koalisi sudah dimulai pekan lalu. Proses ini dikhawatirkan akan berlangsung lama dan berlarut-larut. Saat membentuk pemerintahan pada 2007, Leterme membutuhkan setidaknya enam bulan sampai koalisi terbentuk.

Namun, saat ini, para politikus Belgia harus lebih bergegas mencapai kata sepakat. Bila tidak, pasar akan terpengaruh. Apalagi utang pemerintah Belgia terus bertambah, berada pada urutan terbesar ketiga di Eropa, setelah Yunani dan Italia. Soal lain, Belgia akan mendapat giliran menjadi Presiden Uni Eropa pada Juli mendatang.

Ninin Damayanti (The Guardian, Reuters)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus