Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ledakan di pelabuhan Beirut mengantar Libanon ke jurang krisis ekonomi dan politik.
Prancis bergerak membantu pemulihan ekonomi di Libanon.
Presiden Emmanuel Macron disebut menggelar pertemuan dengan petinggi Hizbullah.
LEDAKAN besar kembali terjadi di Beirut. Kolom api merah berkobar di antara puing-puing bangunan pelabuhan di ibu kota Libanon itu pada Kamis, 10 September lalu. Orang-orang berlarian dan kendaraan berputar menjauhi kebakaran. Ini insiden kedua setelah ledakan dahsyat menghancurkan pelabuhan dan membunuh 190 jiwa pada 4 Agustus lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sumber ledakan kali ini berasal dari gudang penyimpanan minyak dan ban. Direktur Pelabuhan Beirut Bassem Kaissi mengatakan gudang itu disewa perusahaan ekspedisi BCC Logistics. Tak ada peringatan dini karena sistem alarm dan pemadam api turut hancur akibat ledakan sebelumnya. Kaissi enggan menyebutkan penyebab ledakan dan menyerahkannya kepada tim investigasi. “Kami tidak bertanggung jawab atas kawasan itu,” katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ledakan ini menambah beban kota itu yang hancur selepas ledakan pertama, yang menimbulkan kerugian US$ 15 miliar atau sekitar Rp 225 triliun. Sebanyak 300 ribu penduduk kehilangan tempat tinggal, sementara 50 ribu rumah, 9 rumah sakit, dan 178 sekolah rusak. Hal ini memperburuk perekonomian Libanon, yang telah jatuh ke krisis sejak Oktober 2019. Keadaan makin runyam karena negeri itu juga tengah bergulat melawan pandemi Covid-19. Lebih dari 22 ribu orang tertular virus corona, sebanyak 219 di antaranya meninggal. Bila krisis ini berlanjut, sejumlah pengamat menilai, gelombang migrasi besar-besaran akan melanda Timur Tengah dan Eropa.
Berbagai negara mengirimkan bantuan untuk membantu membangun kembali kota itu. Presiden Prancis Emmanuel Macron menjadi kepala negara pertama yang datang ke sana. Dia tiba dua hari seusai ledakan. Prancis memang memiliki ikatan khusus dengan Libanon karena pernah memegang mandat mengelola negara itu selama 25 tahun sejak Perang Dunia I selesai pada 1920. Relasi ini terus berjalan bahkan setelah Libanon merdeka pada 1943. Jejaknya terasa hingga saat ini: bahasa Prancis masih diajarkan di sekolah Libanon dan sebagian warga elite memiliki rumah di Prancis.
Sebagian masyarakat berharap banyak kepada Prancis. Sehari setelah pelabuhan Beirut meledak, lebih dari 55 ribu warga negeri itu menandatangani petisi daring (online) yang meminta Prancis kembali mengelola Libanon untuk sepuluh tahun mendatang. Petisi yang dimuat di situs Avaaz itu menyebutkan sistem pemerintah yang rusak, korupsi, terorisme, dan milisi bersenjata membuat Libanon hancur.
Dalam kunjungannya ke Beirut, Macron menjanjikan bantuan langsung untuk warga Libanon dan mengelola bantuan internasional. “Prancis tidak akan meninggalkan Libanon, hati warga Prancis selalu bersama masyarakat Beirut,” ujarnya.
Kedatangan Macron menuai kontroversi. Menurut The Economic Times, kubu oposisi menilai aksi Macron seperti penjajah Eropa yang ingin memulihkan koloninya di Timur Tengah yang bermasalah. Meme sarkastis yang beredar di Internet menggambarkan Macron sebagai Napoleon Bonaparte abad ke-21. Tapi pihak lain menganggap kedatangannya akan membuka jalan bagi pemulihan Libanon. Banyak penduduk Libanon yang masih merasa trauma akibat perang saudara selama 25 tahun yang menewaskan lebih dari 120 ribu orang.
Presiden Prancis Emmanuel Macron memeriksa kesiapan tentara Prancis yang bertugas membantu perbaikan Pelabuhan di Beirut, Libanon, 1 September 2020. Reuters/POOL
Macron datang dengan syarat perubahan politik di negeri itu. “Saya di sini sekarang untuk menawarkan sebuah pakta politik baru kepada mereka,” tuturnya di tengah kerumunan orang di Beirut, merujuk pada kelompok-kelompok politik di Libanon. “Jika reformasi tak dijalankan, Libanon akan makin tenggelam.”
Batu sandungan terbesar dalam politik Libanon adalah peran dominan Hizbullah. Organisasi yang dibentuk pada 1982 dan mendapat sokongan Garda Revolusi Iran itu awalnya hanya sekelompok gerilyawan, tapi kemudian tumbuh menjadi gerakan politik.
Rekam jejak Hizbullah diwarnai kontroversi dan konflik berdarah. Hizbullah dituding menjadi dalang pengeboman gedung pasukan gabungan Perserikatan Bangsa-Bangsa di Beirut pada 1983. Lebih dari 50 tentara Prancis dan Amerika Serikat serta warga sipil tewas dalam serangan itu. Mereka juga disebut-sebut menjadi kepanjangan tangan Iran dalam menghadapi rivalnya di Timur Tengah, Israel. Para milisi Hizbullah juga dinilai berada di balik pembunuhan Perdana Menteri Libanon Rafik al-Hariri pada 2005.
Hizbullah merupakan satu-satunya kekuatan politik di Libanon yang memiliki milisi dengan persenjataan berat. Kelompok itu mempertahankan status pasukannya dengan alasan melindungi Libanon dari serangan Israel. Pada 2006, Israel dan Hizbullah terlibat dalam perang selama sebulan dan menewaskan lebih dari seribu orang, yang sebagian besar warga Libanon.
Kekuatan Hizbullah sudah mengakar di Libanon. Mereka memiliki pengaruh besar dalam pembentukan dan arah pemerintahan negeri itu. Penunjukan Perdana Menteri Mustapha Adib, pengganti Hassan Diab yang mundur sepekan setelah bencana ledakan 4 Agustus, terjadi karena dorongan Hizbullah dan sekutunya yang menguasai parlemen.
Macron disebut telah bertemu dengan petinggi Hizbullah ketika melawat ke Beirut. Surat kabar Prancis, Le Figaro, melaporkan Macron menggelar pertemuan tertutup dengan salah satu perwakilan Hizbullah di parlemen, Mohammed Raad, di sela kunjungannya pada 6 Agustus. Koran itu menyebutkan Macron bakal memberikan sanksi kepada pemimpin Libanon yang menolak rencana reformasi yang diajukan Prancis. Macron juga menyinggung posisi Hizbullah yang kerap dituding sebagai pendukung agenda Iran. “Kami tahu sejarah dan identitas kalian. Tapi apakah kalian memang orang Libanon dan mau membantu warga Libanon?” ucap Macron.
Pemerintah Prancis tidak mengakui adanya pertemuan tersebut. Seperti dilaporkan The New Arab, Hizbullah menyatakan pembicaraan salah satu petingginya dengan Macron telah membuat nama organisasi itu naik di panggung dunia.
Laporan Le Figaro membuat Macron meradang. Dia menghardik Georges Malbrunot, penulis laporan itu, seusai konferensi pers pada 2 September lalu. Macron menyebut Malbrunot tidak profesional dan tak bertanggung jawab dalam menulis laporan karena tak melakukan klarifikasi. Malbrunot mengaku terkejut mengetahui respons Macron, tapi dia telah menghubungi Kantor Presiden Prancis dan menganggap insiden itu sudah selesai.
Amerika Serikat memasukkan Hizbullah ke daftar organisasi teroris. Washington telah menjatuhkan sanksi kepada dua bekas menteri Libanon, Yusuf Finyanus dan Ali Khalil, yang bersekutu dengan Hizbullah. Finyanus dan Khalil dituding terlibat korupsi serta memberikan dukungan politik dan ekonomi, termasuk kontrak senilai jutaan dolar ke perusahaan milik Hizbullah.
Namun Prancis tak sekeras Amerika dalam menghadapi Hizbullah. David Schenker, pembantu Kementerian Luar Negeri Amerika untuk urusan Timur Jauh, menyatakan Washington dan Paris sama-sama sepakat mengenai perlunya reformasi politik dan ekonomi di Beirut. Tapi, “Kami punya perbedaan kecil mengenai Hizbullah dan bagaimana kami memandang organisasi itu,” ujar Schenker dalam diskusi online dengan Brookings Institution.
Hassan Nasrallah, pemimpin Hizbullah, menyatakan organisasinya terbuka terhadap proposal Prancis. "Kami terbuka terhadap diskusi yang membangun mengenai hal ini," katanya pada Ahad, 6 September lalu. "Tapi kami punya satu syarat: diskusi ini harus dijalankan dengan kemauan dan persetujuan faksi-faksi Libanon."
The Arab Weekly mengabarkan Mustapha Adib akan membentuk pemerintahan baru yang bebas dari faksi politik mana pun, termasuk Hizbullah. Ini sesuai dengan desakan Macron, yang menginginkan pemerintahan yang efektif dan bersih yang mampu melakukan perubahan di Libanon dan mendapat dukungan komunitas internasional.
Sejauh ini, Adib didukung para mantan perdana menteri, termasuk Saad Hariri, pemimpin partai Sunni terbesar, serta Walid Jumblatt, pemimpin kelompok etnoreligius Druze dan presiden Partai Sosialis Progresif. Dia masih membutuhkan dukungan Hizbullah dan Presiden Michel Aoun, tokoh Kristen pendiri partai Gerakan Patriotik Merdeka, bila ingin pemerintahannya terwujud dan reformasi berjalan.
GABRIEL WAHYU TITIYOGA (REUTERS, AL JAZEERA, CNN, BBC, HAARETZ, THE NEW ARAB, THE ARAB WEEKLY)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo