Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Cara Rakyat Melawan Junta

Gerakan pembangkangan sipil terus berjalan di Myanmar. Masyarakat menolak membayar pajak dan tagihan listrik. Pendapatan negara anjlok dan harga dolar melambung.

2 Oktober 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Rakyat Myanmar menolak membayar pajak dan memboikot produk yang berhubungan dengan junta militer.

  • Pendapatan negara turun dan nilai dolar Amerika melonjak.

  • PBB memperingatkan kemungkinan negeri itu kolaps.

GERAKAN pembangkangan sipil terus bergulir di Myanmar. Sejak terjadinya kudeta militer pimpinan Jenderal Senior Min Aung Hlaing pada 1 Februari lalu, ribuan pegawai negeri sipil, guru, dosen, dan buruh mogok kerja sebagai protes terhadap junta militer. Hingga akhir Agustus lalu, Pemerintah Persatuan Nasional (NUG), pemerintah bayangan Myanmar, mengklaim lebih dari 400 ribu pegawai negeri masih mogok dan jumlahnya terus bertambah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada awal Mei lalu, 5.000 dosen dipecat karena ikut serta dalam gerakan pembangkangan. Ketika junta militer berencana membuka lagi sekolah dan universitas, yang tutup sejak kudeta, banyak profesor menolak mengajar. Hampir 20 ribu dari total 35 ribu anggota staf pengajar dinonaktifkan dari pekerjaannya. Di tingkat pendidikan dasar, lebih dari seperempat guru dan tenaga pendidikan bergabung dalam gerakan pembangkangan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dewan Administrasi Negara, nama resmi junta militer, tak tinggal diam. Mereka memecat para pegawai yang terlibat dalam gerakan pembangkangan sipil. Awal September lalu, misalnya, Kementerian Listrik dan Energi memecat lebih dari 4.000 pegawai ketika sekitar 80 persen pelanggan listrik menolak membayar tagihan listrik bulanan. Perhimpunan Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP) menyatakan junta telah membunuh sedikitnya 1.146 orang dan menahan 6.921 lainnya.

Gerakan ini membuat pendapatan negara anjlok dan perekonomian mandek. Nilai tukar dolar Amerika Serikat resmi naik menjadi 1.980 kyat (setara dengan Rp 15 ribu) per dolar pada Kamis, 30 September lalu, turun dari 1.330 kyat (Rp 10 ribu) pada saat kudeta. Tapi, di pasar gelap, harga dolar naik hampir dua kali lipat menjadi 2.500 kyat (Rp 20 ribu). Ini nilai tukar tertinggi sejak berdirinya pemerintah Myanmar di bawah Presiden Thein Sein yang didukung militer menerapkan nilai tukar mengambang pada 2011.

Kelompok gerakan pembangkang sipil mencoba menahan laju penurunan mata uang kyat dengan menggelontorkan lebih dari US$ 120 juta uang tunai ke pasar. Soe Tun, pengusaha Yangon yang memiliki gerai penukaran uang, menyatakan jumlah itu terlalu kecil untuk memenuhi kebutuhan pasar. “Untuk saat ini, belum ada tanda-tanda penurunan nilai tukar dolar. Malah nilainya naik karena permintaan untuk mata uang ini terus bertambah,” katanya kepada media independen Myanmar, Myanmar Now.

Jenderal Senior Min Aung Hlaing mengakui terjadinya penurunan volume perdagangan. Dalam pertemuan dengan Dewan Administrasi Negara pada Senin, 27 September lalu, pemimpin junta itu menyampaikan volume perdagangan negeri itu turun 22,38 persen dibanding tahun lalu. Dalam 10 bulan terakhir, ekspor Myanmar mencapai sekitar 11,8 miliar kyat dan impor 12,26 miliar kyat. Hlaing meminta Dewan mendorong ekspor minyak sawit, salah satu komoditas andalan negeri itu, dan mengurangi konsumsi bahan bakar minyak serta membatasi impor mobil.

Jenderal Hlaing menekankan pendapatan negara berasal dari pajak dan rakyat perlu sadar membayar pajak. Pada kenyataannya, gerakan pembangkangan sipil ini termasuk menolak membayar pajak. “Hanya bila menerima pajak, pemerintah dapat menjalankan pembangunan bangsa dan pembangunan sosial-ekonomi masyarakat,” katanya, sebagaimana dilansir koran pemerintah Global New Light of Myanmar.

Gerakan pembangkangan sipil ini terus bergulir. Unjuk rasa masih bermunculan di berbagai kota. Persatuan Biksu Mandalay, misalnya, berdemonstrasi menentang junta di Kota Mandalay pada Kamis lalu. Berbagai kelompok sipil bergabung dengan kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender yang berunjuk rasa di kota yang sama.

Ye Yint Oo, penduduk Kota Yangon, turut serta dalam gerakan pembangkangan sipil sejak kudeta pecah. Dia adalah anggota serikat mahasiswa dan melakukan protes bersama Pasukan Pertahanan Rakyat, gabungan milisi bersenjata berbagai etnis yang mendukung gerakan ini. “Saat ini, aku bersama kelompokku tinggal tak menentu. Tidak pulang ke rumah demi keamanan keluarga, walaupun aku juga tidak yakin apakah mereka aman di rumah,” tuturnya kepada Hafsah Chairunnisa dari Tempo pada Rabu, 29 September lalu.

“Kami melakukan banyak perlawanan, demonstrasi di jalan, melindungi penduduk saat militer datang, dan mengobati korban para diktator sialan ini,” ucap Ye Yint Oo. “Kami juga menyebarkan cerita di media sosial untuk menarik perhatian komunitas internasional agar mereka turun tangan dan secepatnya membantu menekan militer.”

Thae July, warga Kota Naypyidaw, juga bergabung dengan gerakan ini. “Kami melakukan tindakan-tindakan besar, seperti tidak menyetujui hal-hal yang mereka (junta militer) terapkan atau peraturan baru atau apa saja,” ujarnya kepada Hafsah Chairunnisa dari Tempo pada Rabu, 29 September lalu. “Kami tidak takut karena mereka hanya memaksa. Itulah diktator. Mereka merasa benar dan memaksakan kekuasaan.”

Gerakan pembangkangan sipil di Myanmar ini telah dinominasikan untuk menerima Hadiah Nobel Perdamaian. “Gerakan ini sangat penting bagi perkembangan politik Myanmar, tapi pencalonan dan potensi pemberian Hadiah Perdamaian juga merupakan pengakuan atas gerakan rakyat pada saat demokrasi di sejumlah negara berada di bawah ancaman kekuatan otoriter,” kata profesor Kristian Stokke kepada media Norwegia, Bistandsaktuelt. Stokke adalah juru bicara enam profesor di Oslo University, Norwegia, yang mencalonkan gerakan ini sebagai penerima Hadiah Nobel.

Gerakan tanpa kekerasan ini dinilai mirip dengan gerakan yang diprakarsai oleh Dalai Lama dan Martin Luther King Jr. “Demokrasi di Myanmar rapuh, dan lebih seperti semi-diktator. Meski demikian, ada dinamika politik antara pemerintah terpilih dan parlemen, militer dan minoritas. Dinamika ini berakhir dengan brutal ketika militer merebut kekuasaan pada 1 Februari,” ujar Stokke.

Pemerintah Persatuan Nasional (NUG), pemerintah bayangan Myanmar, memimpin gerakan ini. NUG dipimpin oleh anggota legislatif terpilih dan Liga Nasional untuk Demokrasi, partai pimpinan Aung San Suu Kyi. Mereka mengeluarkan daftar berbagai bisnis yang berafiliasi dengan junta dengan maksud agar masyarakat memboikot produk atau jasanya.

NUG, misalnya, menerbitkan daftar perusahaan yang dimiliki atau berhubungan dengan Jenderal Senior Min Aung Hlaing, pemimpin junta. Mereka menyebut beberapa perusahaan di bidang perdagangan, seperti Bhone Myat Pyae Sone Trading Company Limited, Nyein Chan Pyae Sone Manufacturing and Trading Company Limited, Sky One Construction Company Limited, dan Pinnacle Asia Company Limited.

NUG juga menyebut beberapa perusahaan yang berhubungan dengan Jenderal Maung Maung Kyaw, Letnan Jenderal Aung Lin Dwe, dan Admiral Tin Aung San. Mereka semua adalah anggota Dewan Administrasi Negara. NUG juga memasukkan beberapa bank, merek makanan dan minuman, hotel, serta bisnis lain yang dikuasai militer sebagai sasaran pemboikotan.

Junta militer menyebut NUG sebagai kelompok teroris dan orang-orangnya masuk daftar pencarian orang. “NUG dan organisasi terkait tidak sepenuhnya mendukung tugas-tugas pembangunan negara dan hal-hal baik di bawah demokrasi tapi meminta semua orang melakukan tindakan teror seperti membunuh dan mengebom untuk menghancurkan negeri ini,” tutur Min Aung Hlaing. “Pemerintah tidak akan keluar dari jalur demokrasi dan akan melindunginya.”

Namun, di tengah pembangkangan sipil ini, perlawanan bersenjata dilakukan oleh Pasukan Pertahanan Rakyat (PDF). Hampir setiap hari muncul laporan bentrokan antara Tatmadaw, angkatan bersenjata Myanmar, dan PDF di berbagai daerah.

Komisioner Tinggi Peserikatan Bangsa-Bangsa untuk Hak Asasi Manusia, Michelle Bachelet, mengingatkan akan bahaya eskalasi perang sipil di negeri itu. “Dampak nasionalnya sangat mengerikan dan tragis—dampak kewilayahan juga akan mendalam. Komunitas internasional harus menggandakan usahanya untuk memulihkan demokrasi dan mencegah konflik yang lebih luas sebelum terlambat,” katanya saat meluncurkan laporan situasi terakhir Myanmar pada akhir September lalu.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Iwan Kurniawan

Iwan Kurniawan

Kini meliput isu internasional. Sebelumnya menulis berbagai topik, termasuk politik, sains, dan seni. Pengasuh rubrik Pendapat dan kurator sastra di Koran Tempo serta co-founder Yayasan Mutimedia Sastra. Menulis buku Semiologi Roland Bhartes (2001), Isu-isu Internasional Dewasa Ini: Dari Perang, Hak Asasi Manusia, hingga Pemanasan Global (2008), dan Empat Menyemai Gambut: Praktik-praktik Revitalisasi Ekonomi di Desa Peduli Gambut (Kemitraan Partnership, 2020). Lulusan Filsafat Universitas Gadjah Mada.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus