Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sinyal Pasar

Rezeki (Malapetaka) Krisis Energi

Harga batu bara melambung. Krisis energi membawa ancaman baru bagi ekonomi.

2 Oktober 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Harga batu bara mencetak sejarah nilai tertinggi.

  • Indonesia masih mengandalkan ekspor batu bara.

  • Apa bahaya di balik kenaikan harga batu bara bagi ekonomi Indonesia?

BELUM pernah terjadi sepanjang sejarah, harga batu bara terbang melampaui US$ 220 per ton. Lonjakan luar biasa itu terjadi pada awal Oktober ini. Sumber energi paling buruk rupa itu, karena polusi debu dan karbon hasil pembakarannya membuat bumi makin panas, kembali menjadi primadona.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Batu bara, kendati dicerca dunia, masih menjadi komoditas ekspor utama Indonesia. Tahun lalu Indonesia mengekspor 405 juta ton. Tahun ini targetnya 412 juta ton. Lonjakan harga dari di bawah US$ 80 per ton pada 2020, hingga saat ini di atas US$ 220, tentu membawa tambahan pasokan dolar yang signifikan bagi ekonomi RI.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Angin rezeki batu bara itu sudah berembus segar pada neraca perdagangan Agustus 2021. Muncul surplus bulanan tertinggi sepanjang sejarah sebesar US$ 4,74 miliar. Sekadar catatan, pada Agustus itu harga acuan batu bara Indonesia masih US$ 150 per ton. Menggilanya harga batu bara di pasar tunai sebulan terakhir sudah pasti membuat harga acuan batu bara Indonesia ikut naik tinggi, memperbesar pendapatan ekspor pada bulan-bulan berikutnya.

Mencorongnya harga batu bara tak lepas dari krisis energi yang tengah mencekik negara-negara Eropa dan Cina. Di Eropa, merosotnya pasokan dan stok gas alam, serta menurunnya produksi listrik dari sumber terbarukan seperti kincir angin, memicu naiknya harga energi. Harga gas alam naik hampir tiga kali lipat dalam dua bulan terakhir, dari US$ 7 menjadi lebih dari US$ 20 per British thermal unit—rekor tertinggi pula sepanjang sejarah. Negeri-negeri Eropa, yang sudah lama menjauhi batu bara, kini terpaksa menimbang lagi pilihan pasokan energi kotor dari Asia dan Australia.

Persoalannya, di Asia ada raksasa yang juga tengah tercekik krisis energi. Pemulihan ekonomi setelah wabah mereda membuat permintaan listrik di Tiongkok melonjak luar biasa tahun ini. Krisis listrik sampai menimbulkan pemadaman listrik di berbagai wilayah dan kota-kota besar. Meski Cina juga sudah berniat mengurangi pemakaian batu bara, kenyataannya dua pertiga pasokan setrum Tiongkok masih berasal dari pembakaran batu bara. Sudah begitu, ada faktor geopolitik yang membuat pemerintah Cina masih mengembargo pasokan batu bara dari Australia. Lengkap sudah, pasokan yang terbatas tak mampu mengejar lonjakan permintaan. Hukum besi ekonomi pun bekerja, harga terbang.

Sekarang ada pula faktor musim yang mulai ikut bermain. Kebutuhan energi rumah tangga, yang amat membutuhkan pemanas saat hawa dingin mencekam, bakal melonjak drastis. Walhasil, hingga kuartal pertama tahun depan, kebutuhan energi dan batu bara akan tetap tinggi. Rezeki nomplok bagi Indonesia masih akan mengalir.

Dolar ekstra bagi Indonesia dari batu bara adalah salah satu faktor yang membuat kurs rupiah tetap tenang di kisaran 14.300 per dolar Amerika Serikat dua bulan terakhir. Padahal pasar keuangan di mana-mana sedang kelimpungan mengantisipasi perubahan kebijakan The Federal Reserve. Imbal hasil obligasi terbitan pemerintah di berbagai negara juga tengah melonjak karena mengantisipasi kenaikan bunga The Fed yang bisa datang lebih cepat, tahun depan. Ketika pasar bergejolak begini, biasanya rupiah turut tertekan. Kali ini dolar batu bara menjadi ganjal sehingga rupiah tetap stabil.

Masalahnya, kita tak bisa berharap bahwa aliran rezeki ini akan berlangsung lama. Krisis energi di dua pertiga belahan dunia ini dapat memicu efek berantai yang menakutkan: inflasi global yang tak terkendali. Konsekuensi kenaikan harga energi sungguh besar. Berbagai barang manufaktur, segala macam ongkos jasa logistik ataupun transportasi, hingga bahan kebutuhan konsumsi rumah tangga akan menjadi lebih mahal.

Pada gilirannya, pemulihan ekonomi global tersendat. Bank-bank sentral harus merespons kenaikan inflasi dengan memperketat likuiditas dan menaikkan bunga. Akhirnya, tak ada lagi negara yang memperoleh benefit dari krisis energi.

Indonesia pun bakal ikut menderita. Rezeki nomplok dari kenaikan harga batu bara tak akan mampu menetralkan dampak buruknya di kemudian hari. Krisis energi, jika berkelanjutan, hanya akan menimbulkan malapetaka bagi semua negara.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Yopie Hidayat

Yopie Hidayat

Kontributor Tempo

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus