KEMENANGAN Corazon "Cory" Aquino sebenarnya sebuah kemenangan besar. Konstitusi '86 yang diajukannya ke forum plebisit mendapat persetujuan yang tak bisa diragukan. Jumat pekan lalu Ramon H. Felipe, ketua Commission on Elections (Comelec) mengumumkan hasil tabulasi: 16.605.425 menyatakan "yes", 4.949.901 menyatakan "no", dan 209.461 abstain. Maka, kemenangan Cory adalah 76,29% lawan 22,7%. Rabu pekan ini angka-angka itu resmi dilaporkan kepada Presiden. Namun, seperti sudah diduga, plebisit di barak-barak militer berat menelurkan "yes". Dari sekitar 260.000 prajurit, perbedaan setuju dan tidak pada Konstitusi '86 tipis saja, 60% menyatakan ya, dan 40% bilang "no". Di Markas Besar AU, Villamour Base, tercatat 8.045 suara tidak dan 6.123 suara setuju. Di Pusat Satuan Komando Kepolisian Camp Crane, 2.512 bilang "no" mengalahkan 1216 suara "yes". Suara militer itu tak mengganggu kemenangan, tapi membangun kecemasan. Banyak kalangan - bahkan juga Jenderal Fidel Ramos - menggantungkan masa depan Filipina pada kerja sama pemerintahan sipil Cory dan militer. "Berbagai kericuhan masih harus diatasi dengan kekuatan yang terkontrol dan efektif," ujar Menteri Pertahanan Rafael Ileto. Tapi para pemimpin militer menyatakan, 40% suara tak setuju tidak menggambarkan niat apa pun pada kubu militer. Ileto dan Kepala Staf Angkatan Bersenjata AFP Jenderal Fidel Ramos mengemukakan ketegasan pekan lalu: AFP tunduk dan setia pada pemerintah dan konstitusi. Jangankan militer, bahkan mereka yang bertentangan rontal dengan Cory mengakui kehendak rakyat. Wakil presiden di masa Marcos, Arturo Tolentino, yang senantiasa merasa berhak menduduki jabatan presiden dan mencoba menggulingkan Cory Juli lalu, mengakui ratifikasi Konstitusi'86. Ia mengaku bahwa sekarang ia bukan lagi wakil presiden. "Kami menerima keputusan rakyat," ujar Juan Ponce Enrile, bekas menteri pertahanan, lawan politik Cory yang bicaranya paling pedas. "Sekarang kita harus bekerja sama untuk memecahkan masalah serius yang dihadapi negara," katanya lagi sambil memegang rosario dan Uzi, senjata pendek buatan Israel. Tapi Enrile ternyata menolak tawaran kerja sama Cory yang pertama. Politikus kawakan itu tak mau duduk di panitia peringatan Revolusi 25 Februari, satu tonggak sejarah, manakala ia bersama Ramos dan Cory berhasil menggulingkan Marcos. Ketika Enrile membangkang dan menarik Marcos dari kursi kekuasaan, ia juga menyandang Uzi dan menggantungkan rosario di lehernya. Tapi kini ia harus berpisah dengan senjata itu, satu hal yang sulit dibayangkan sebelumnya. Kini Konstitusi '86 mewajibkan Enrile berpisah dari Uzinya. Bekas menhan itu sebenarnya tak rela. "Saya sangat berharap senjata ini boleh mendampingi saya sampai ke liang kubur," tuturnya. Enrile memang membutuhkan Uzi itu karena Filipina jauh dari aman. Hari Minggu pekan lalu, dua hari setelah hasil akhir plebisit diumumkan, gencatan senjata 60 hari antara pemerintah dan kelompok komunis berakhir. Tanpa menunggu lama kontak senjata pun terjadi. Pagi-pagi buta, Senin awal pekan ini gerilyawan komunis bersenjata (NPA) membuka serangan di selatan Provinsi Davao del Sur. Lima penduduk tewas. Serangan lain sehari sebelumnya terjadi di Provinsi Kalinga Apayao. Lima prajurit angkatan darat tewas dan lima lainnya luka berat. Kelompok komunis yang terdiri dari Partai Komunis (CCP), gerilya bersenjata NPA dan Front Demokratik Nasional (NDF), sempalan yang melakukan perundingan dengan pemerintah, tampaknya akan meninggalkan rujuk yang ditawarkan Cory. Mereka menolak tak lain karena gencatan senjata terbentur jalan buntu. Penembakan membabi buta yang dilakukan pasukan marinir terhadap kelompok petani militan di Jembatan Mendiola - hingga 18 orang tewas - ditampilkan sebagai alasan kuat untuk menutup pintu perundingan. "Di samping itu, percobaan kudeta yang baru lalu juga menunjukkan adanya rencana militer memusnahkan kelompok kami," bunyi sebuah surat pernyataan. Namun, pemerintahan Cory masih saja bersabar. Ketua tim perunding pemerintah Teofisto Guingona mengutarakan, pintu perundingan masih terbuka bagi kaum komunis. Lebih dari itu, Uskup Antonio Fortich, Ketua Komite Gencatan Senjata, masih mengimbau agar komunis mau memperpanjang masa gencatan senjata. Fortich menegaskan kedamaian harus diusahakan dengan jalan apa pun. "Pihak militer dan komunis hendaknya bisa menahan diri," katanya, "cukup satu tembakan untuk sebuah salam." Militer belum akan membuka rentetan tembakan, tapi sikap tegas sudah tercermin. Menteri Pertahanan Rafael Ileto menjawab imbauan Fortich dengan pernyataan menolak, "membeli perdamaian dengan harga apa pun". Bersama Fidel Ramos, menhan itu berkeras tak mau memperpanjang gencatan senjata. "Bila tidak bisa dijamin adanya kemajuan dalam perundingan, tak akan ada gencatan senjata," ujar Ileto tegas. Dan Fidel Ramos mengirim kesatuan-kesatuan infanterinya ke berbagai daerah komunis yang tidak terikat gencatan senjata. Gelagat ini menunjukkan pertempuran, yang tertunda karena gencatan senjata itu, segera akan dilanjutkan dalam waktu dekat. Inilah perbedaan tajam persepsi pmerintahan sipil Cory dengan militer. Cory dan pembantu dekatnya, Joker Arroyo, yang sangat berperan dalam menentukan kendali pemerintahan, adalah prototip politikus liberal demokrat model Amerika. Mereka mempunyai simpati besar pada komunisme karena gerakan itu membela rakyat kecil. Mereka juga percaya, perbedaan pendapat dengan komunis adalah salah satu manifestasi demokrasi. Sejauh ini sulit menebak sikap Cory dan Arroyo, pengacara pembela hak-hak asasi semasa Marcos berkuasa. Keduanya tampak bersimpati pada pemberontak komunis, akrab dengan penderitaan mereka, bahkan tidak melihat NPA itu berbahaya. Di sisi lain, AFP, dengan sikap militer yang umum, tak bisa menerima komunis. Bukan cuma karena sejarah perang 18 tahun lamanya, tapi juga karena gerilya komunis bersenjata. Bagaimanapun moderatnya sikap militer, keadaan semacam ini dalam kamus militer berarti, stabilitas nasional terancam. Fidel Ramos, seorang prajurit profesional, berulang kali mencoba menasihati Cory, tentang bagaimana komunis berusaha mencuri waktu untuk memperluas basisnya di daerah-daerah. Dan ini memang kewajiban seorang kastaf, sesuai dengan konstitusi. Namun, Cory tidak sepenuhnya meminjamkan telinga untuk mendengar bisikan "prajuritnya". Ramos mengeluh, "Saya ingin Cory tidak melihat kami, militer ini, dengan rasa curiga dan syak wasangka." Cory kelihatannya memang tak pernah bisa terbebas dari kecurigaan, atau mungkm juga dendam, terhadap militer. Almarhum suaminya, Benigno Aquino Jr., tewas di tangan pasukan dari AU - Avsecom - 21 Agustus 1983. Pekan lalu, setelah mengetahui 40% prajurit menentang ratifikasi Konstitusi '86, dalam sikap agak berlebihan ia menuntut agar seluruh anggota AFP mengangkat sumpah setia pada pemerintahannya. Ini pernah terjadi Juli tahun lalu, tak lama sesudah percobaan kudeta Hotel Manila dipatahkan. Di tengah ketegangan situasi ia juga tidak mencegah rencana pengadilan 26 perwira yang dianggap bertanggung jawab membunuh Benigno, suaminya. Padahal, sejumlah pengacara independen pesimistis pengadilan ulang akan mampu mengungkapkan siapa dalang sebenarnya di balik penembakan itu. Beberapa pengamat berpendapat Cory seharusnya tidak terlalu banyak mengusik militer. "Kami sedang melakukan konsolidasi," ujar seorang perwira yang tak mau disebutkan namanya, "sebaiknya Cory membiarkan kami dengan tenang." Sementara Cory masih saja enggan sungguh-sungguh merangkul militer, jaringan komunis, seperti dikatakan Ramos, meluas ke hampir seluruh Filipina. Basis komunis sudah tersebar di 65 provinsi dari 74 provinsi di negeri itu. Dari 41.615 desa 6% sudah dikuasai penuh dan sudah menggunakan kata-kata sandi komunis, 11% terinfiltrasi, dan 3% terpengaruh ideologi komunis. Total, kelompok komunis punya tempat berpijak di 20% desa Filipina. Dilihat dari sudut strategis, AFP cemas melihat perkembangan ini. Dalam arti bila perkembangan komunis sudah sedemikian besar, operasi pembersihan harus meningkat ke perang semesta. Masih ada perang lain yang harus dihadapi Ileto dan Ramos. Beberapa perwira loyalis Marcos dengan 400 prajuritnya masih buron ke hutan-hutan Ilocos Norte, kampung halaman Marcos. Di antaranya Kolonel Cabautan yang ahli dalam strategi dan perang urat saraf. Walaupun pasukannya tidak besar, AFP tidak akan mudah menangkapnya. Usaha menundukkan pemberontak militer ini sudah berlangsung sejak plebisit, tapi hina kini belum juga berhasil. Tembak-menembak masih berlangsung terus. Untuk Cory masalah lain yang tak kalah ruwetnya adalah perundingan dengan bangsa Moro yang menuntut pemerintahan otonomi. Setelah plebisit, perundingan kembali dimulai Senin, awal pekan ini. Beberapa kelompok yang bertentangan datang ke meja perundingan di Universitas Pasig, Metro Manila. Namun, hanya perwakilan kelompok MNLF (Moro National Liberation Front) di bawah pimpinan Nur Misuari yang dianggap resmi. Kelompok MILF (Moro Islamic Liberation Front) sempalan MNLF yang dipimpin Hashim Salamat datang sebagai peninjau. Juga kelompok Reformis MNLF. "Kami memberikan kesempatan sepenuhnya pada Nur Misuari untuk membawa kelompok-kelompok yang ada ke meja perundingan," ujar Agapito "Butz" Aquino, anggota tim perunding pemerintah kepada Ahmed Soeriawidjaja dari TEMPO. Namun, perundingan post-plebisit ini berlangsung seret. Berbagai tuntutan, yang dijelaskan wakil-wakil bangsa Moro kepada TEMPO, mustahil bisa dipenuhi pemerintah. Pasal wilayah, misalnya. MNLF menuntut 13 wilayah Mindanao berdasarkan Perjanjian Tripoli 1976, sedangkan Konstitusi '86 hanya menyebutkan 5 wilayah. Di samping itu, ada ketegangan lain. Nur Misuari, pemimpin MNLF, mogok datang ke perundingan karena ia tak setuju pasal otonomi dimasukkan ke Konstitusi '86, sedangkan kesepakatan belum tercapai. Alhasil, perundingan dihentikan selama 10 hari dan baru akan dilanjutkan 19 Februari mendatang. Maka, hari-hari keras Cory masih akan berlangsung lama. Ia masih harus memainkan kartu-kartunya dengan bantingan yang tepat. Sulit meramal kartu-kartu Cory yang di tangan atau yang di meja, karena nasib baik tampaknya masih setia mendampingi Nyonya Presiden ini. Rakyat melihat bahwa ia pemimpin yang teguh tapi pasrah pada Yang Kuasa. Bahala Na Corazon. Kembalikan semuanya pada takdir, ya, Cory. Jim Supangkat, Laporan Bambang Harymurti & Ahmed Soeriawidjaja (Manila)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini