Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Wejangan, cambuk dan bisnis

Hari pers nasional ke-3 diperingati di jakarta dihadiri para pemimpin redaksi dan para ketua pwi se-indonesia serta para menteri. presiden seoharto memberikan penilaian pers nasional. (nas)

14 Februari 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JARANG terjadi, sebuah acara ulang tahun dihadiri oleh begitu banyak pejabat tinggi. Bahkan anggota organisasi yang berulang tahun ini sempat pula diterima Presiden Soeharto di Istana Negara. Tetapi hal yang jarang itu tentu saja tidak mustahil bagi kalangan pers yang pekan ini memperingati Hari Pers Nasional (HPN) ke-3. Dalam acara yang berlangsung selama 3 hari ini, selain Menpen Harmoko sebagai yang punya hajat, hadir pula Pangab/Pangkopkamtib, Mendagri, dan Mensesneg. Banyak pandangan mereka yang penting untuk disimak. Bagaimana tidak ? Sebab, bukan hanya wejangan yang diterima para pemimpin redaksi, dan para ketua PWI se-lndonesia. Tetapi juga "cambuk", yang selalu mengingatkan insan pers pada batas-batas hak dan kewajibannya. Seperti yang dikemukakan Pangab/Pangkopkamtib L.B. Moerdani, Sabtu pekan lalu. Pangab mengakui, kemampuan pers dalam membentuk pendapat umum bukanlah sekadar basa-basi. Buktinya, selain bisa bertindak preventif dalam mencegah meluasnya isu-isu politik yang negatif, pers juga dapat bertindak represif untuk mengembalikan situasi yang sudah keruh. Hanya saja, ujar Pangab, kalangan pers masih sering melupakan adanya titik-titik rawan yang dapat mengganggu stabilitas keamanan nasional. "Pers adakalanya kurang bijaksana dalam memahami kerawanan seperti ini," ujar Pangab. Sehingga, sering muncul pemberitaan yang menarik selera pembaca, tetapi merugikan stabilitas politik. Misalnya saja berita-berita sensitif yang menyangkut soal agama, tradisi, dan kesukuan, yang kalau disinggung sedikit saja akan menimbulkan gejolak yang merugikan kehidupan berbangsa. Padahal, yang dinamakan Pers Pancasila haruslah berani mengerem dalam berita-berita semacam itu, ujar Pangab lagi. Tegasnya, Pangab menyarankan, dalam menyajikan informasi kepada masyarakat, haruslah disertai perhitungan yang matang, sehingga tidak sampai menimbulkan kegelisahan di masyarakat. "Toh keunggulan pers tidaklah diukur oleh kemampuannya dalam membeberkan masalah-masalah yang sensitif, tidak seperti di negara yang menganut sistem liberal," ujar Pangab. Penilaian tentang pers nasional juga diberikan oleh Presiden Soeharto. Ia menganggap, ragam dan cara pemberitaan sejumlah koran dan majalah masih ada yang memprihatinkan. Masih saja ada penampilan berita dan gambar yang memberi kesan sensasional dan mencerminkan naluri manusiawi yang dangkal. "Unsur komersial terasa mendesak unsur ideal", katanya. Menghadapi ini, pers nasional diharapnya harus mampu membersihkan dirinya sendiri. Kalau para pejabat cenderung membahas tugas dan peranan pers, orang pers sendiri berpikir lain. Mereka cenderung menyorot pers dari sudut bisnis, yang belakangan makin ramai dipersoalkan dengan makin banyaknya modal kuat yang masuk ke bisnis pers. Seperti yang dikemukakan Jakob Oetama, Pemimpin Umum Kompas. Menurut Jakob, masalah yang dihadapi dunia pers sekarang, bukan hanya sekadar modal, tetapi juga sumber daya manusia. Memang, modal yang kuat memungkinkan memperoleh tenaga yang profesional, "Tetapi masalahnya nanti akan terbentur pada loyalitas wartawan terhadap penerbitannya," ujarnya. Di sini, tampak, Jakob menganggap bisnis bukanlah merupakan faktor dominan dalam perkembangan sebuah penerbitan. Tidak seperti Sukamdani, Ketua Kadin yang juga Pemimpin Umum Harian Bisnis Indonesia. Ia beranggapan bisnis merupakan penunjang yang utama. "Idealis tanpa bisnis tidak akan kuat, karena bagaimana bisa idealis kalau tidak mampu hidup mandiri," ujarnya. Banyak hal yang menarik, memang. Tetapi satu hal yang perlu dicatat adalah, HPN juga telah menelurkan kebulatan tekad. Isinya: isinya meminta kesediaan Soeharto untuk dipilih kembali sebagai Presiden.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus