MILITER kembali siap siaga karena komunis tiba-tiba angkat senjata. Sabtu pekan lalu, mereka dikabarkan menyikat satuan tentara di Provinsi Kalinga-Apayo, sebelah utara Manila. Lima serdadu terpaksa melepas nyawa, lima lainnya cedera. Menurut laporan Brigjen Manuel Avila, komandan Constabular di sana, pasukannya diserang 70 anggota NPA (Tentara Rakyat Baru) - sayap militer Partai Komunis Filipina (CPP). Mereka bahkan memasang ranjau di sepanjang jalan menuju lokasi penyerangan. Para pengacau baru bisa dihalau ke hutan setelah bala bantuan lengkap dengan helikopter tempur didatangkan. Sementara itu, awal pekan ini satuan-satuan pencabut nyawa NPA - yang lebih populer dengan nama sparrow unit -- menggelar lagi korban mereka di Provinsi Davao del Sur, Mindanao. Kali ini korbannya lima penduduk sipil. Maka, daftar korban "perang saudara" di Filipina makin bertambah panjang. Gencatan senjata 60 hari memang sudah berakhir Ahad siang baru lalu, dan komunis rupanya tidak mau buang waktu. Kedua serangan itu dengan gamblang menunjukkan bahwa mereka memilih perang. Tidak sedikit upaya Presiden Aquino untuk menghindarkan konfrontasi. Tiga hari sebelum masa gencatan senjata berakhir Cory membujuk kelompok komunis. Ia menawarkan perpanjangan gencatan senjata, bahkan tanpa perundingan sekalipun. "Kami tetap berupaya untuk melanjutkan gencatan senjata," katanya melalui siaran televisi. Tawaran tadi, di sisi lain, dalam kadar yang berbeda-beda, memang cukup menggusarkan pihak militer. Seperti dikatakan Menteri Pertahanan Ileto sebelumnya, mereka hanya mau berbicara tentang gencatan senjata jika pihak komunis memperlihatkan tekad dan itikadnya untuk berunding (lihat West Point, Mamamayan, Katatagan). Dalam pada itu, sidang kabinet pekan lalu telah menyetujui Proyek Rekonsiliasi Pemberontak Nasional. Inilah salah satu konses baru Cory kepada pihak komunis dari kelompok separatis Moro. Menurut juru bicara kepresidenan Teodore Benigno, Presiden Aquino malah bermaksud meresmikan sendiri pelaksanaan rencana tadi, 25 Februari depan. Pada saat itu ia akan mengumandangkan amnesti umum kepada anggota NPA dan separatis Moro. Hanya kepada mereka yang meletakkan senjata amnesti diberikan. Tidak cuma itu. Mereka nantinya akan mendapat sebidang tanah, pinjaman uang, dan jaminan pekerjaan. Karena itu, pemerintah telah menganggarkan lebih dari US$ 1,5 juta untuk "proyek sinterklas" ini. Namun, masalahnya tidak sekadar kemiskinan belaka. Sejak akhir bulan lalu, pihak komunis enggan duduk semeja dengan pihak pemerintah. Terutama setelah adanya peristiwa berdarah Jembatan Mendiola, 22 Januari silam. Ketika itu, pasukan Marinir menembaki para petani yang hendak menyampaikan tuntutan landreform ke Istana. Sedikitnya delapan belas korban tewas terkapar. Hasil sementara komisi penyelidik memperlihatkan adanya dua orang bersenjata yang menyelip di antara kerumunan massa petani militan tersebut. Sekalipun begitu, komunis justru memakai peristiwa berdarah ini sebagai alasan menarik diri dari meja perundingan. "Perundingan damai telah gagal. Dan hal itu sepenuhnya tanggung jawab pemerintah," demikian isi pernyataan pihak komunis yang dimuat harian Malaya terbitan Manila, Sabtu lalu, sehari sebelum gencatan senjata resmi berakhir. Ditandatangani oleh ketiga juru runding NDE- (Satur Ocampo, Antonio Zumel, dan Rodolfo Salas), melalui pernyataan itu pihak komunis mengajukan lagi empat persyaratan baru. Menurut mereka, pemerintah harus melaksanakan semua program yang diharap bisa menyelesaikan permasalahan masyarakat, juga menuntut Aquino menegaskan lagi supremasi sipil terhadap militer, seraya menjalankan perombakan di tubuh AFP (angkatan bersenjata Filipina). Selain itu, mereka menuntut agar NDF diakui sebagai organisasi politik yang sah. Dan, terakhir, meminta agar pemerintah menyelesaikan konflik politik dan bersenjata. Kepada TEMPO, Kepala Tim Pemerintah dalam perundingan dengan komunis, Teofisto Guingona, menyatakan kemasgulannya ketika ditanya soal rembuk dengan NDF. "Sangat sulit meramalkannya. Kendati demikian, kami tetap membuka pintu," ujarnya. Tetapi juru runding pemerintah lainnya, Jaime Guirrero, lebih optimistis. Menurut perhitungannya, 10 dari 12 cabang NPA cenderung untuk berunding. Dalam penilaian Profesor Fransisco Nemenzo, ahli masalah komunis dari Universitas Filipina, mundurnya kelompok komunis dari gencatan senjata adalah, "Kesalahan ketiga yang mereka perbuat dalam era pemerintahan Cory.' Kesalahan pertama adalah ketika mereka memboikot Snap Election, tahun lalu, karena menyangka Cory akan kalah. Adapun kesalahan kedua adalah ketika komunis berkampanye untuk "No" pada plebisit kemarin. Sikap tidak taktis seperti itu kuat dugaan berasal dari kelompok "Maoist-Dogmatis", yang umumnya beranggapan, perjuangan bersenjata adalah satu-satunya jalan mencapai tujuan. Kelompok ini kebanyakan berasal dari golongan Katolik yang murtad dan berubah menjadi kiri. Kendati gencatan senjata sudah berakhir dan tawaran berunding diboikot, menurut Nemenzo, pihak komunis tidak akan meninggalkan perjuangan legal. "Tentu saja tidak dengan nama komunis," katanya kepada TEMPO. Harapan terakhir digantungkan pada Partido ng Bayan (Partai Rakyat), yang otaknya Jose Maria Sison, bekas pendiri dan ketua CPP, seorang dari ratusan tahanan politik yang dibebaskan Cory, Maret tahun lalu. Melalui Partido ng Bayan inilah dari belakang layar CCP akan memainkan kartu mereka pada pemilihan umum Mei dan Agustus mendatang. Namun, jalan ke sana tidak semudah yang mereka duga. Panitia pemilu, Comelec, enggan menyorotkan lampu hijau sebelum partai itu mencantumkan pernyataan "taat kepada konstitusi" dan "antikekerasan" dalam anggaran dasarnya. Untuk itu, mereka terpaksa mengambil jalan pintas. "Mengubah anggaran dasar tanpa melalui sidang kongres, cukup lewat pertemuan dewan pelaksana nasionalnya," kata Jackie P. Sibal, juru bicara PnB. Dalam pada itu, pemerintahan Cory tampaknya ingin merangkul kaum komunis itu dengan melaksanakan program landreform. Seperti dilaporkan dari Manila, Jumat pekan lalu, adalah Presiden Aquino sendiri yang menghadapi pimpinan KMP Jamie Tedeo untuk merundingkan pelaksanaan landreform tadi. Sehari sebelumnya, Menteri Keuangan Jaime Ongpin sudah mengisyaratkan perlunya "suntikan US$ 1,75 milyar" untuk menjalankan program pemilikan 9,7 juta ha tanah di seluruh negeri. "Sebenarnya sekitar 80 persen dari pemberontak kiri bukan berpaham komunis tapi ikut memberontak karena masalah sosial ekonomi," kata Mayjen Eduardo R. Ermita, Wakil Kastaf AFP, kepada Bambang Harymurti dari TMPO. Karena itulah ia menganggap, amnesti dan pelaksanaan program landreform yang ditawarkan pemerintah akan membuat sebagian besar gerilya kiri kembali ke pangkuan pertiwi. Semudah itukah? Ketika Marcos dilantik sebagai presiden keenam, Desember 1965, tercatat 28 persen rakyat Filipina hidup di bawah garis kemiskinan. Namun, saat Cory mengambil alih kekuasaannya tahun lalu, lebih dari 60 persen rakyat Filipina hidup di bawah standar. Jadi, masalahnya tidak mungkin teratasi dengan sekadar membagi-bagikan tanah. Seperti kata Profesor Nemeno, "Pemerintah hanya menipu diri sendiri jika beranggapan bahwa landreform akan menyelesaikan pemberontakan kiri." Disadari atau tidak, sikap Cory yang seolah "memberi angin" kepada kaum komunis menggemaskan banyak pihak. "Kepada si anak hilang yang komunis kita harus menunjukkan rasa kasihan kita. Tetapi jika lewat batas waktu tertentu ia tidak kembali, kita mesti menghukumnya. Karena begitulah seharusnya," kata Kardinal Sin kepada TEMPO. Ucapan pemuka Gereja Katolik ini bisa ditafsirkan sebagai isyarat agar jangan terlalu lama "memanjakan" si anak hilang, yang bukan saja bersenjata tapi senantiasa mengintai peluang untuk berkuasa. James R. Lapian, Laporan Bambang Harymurti & Ahmed Soeriawidjaja (Manila)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini