Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Bapak Bangsa Berpulang, Tantangan Terbilang

Setelah Lee Kuan Yew wafat, desakan publik membuat Singapura kian condong menjadi welfare state. Pemerintah menghadapi tantangan baru mengubah gaya agar lebih sesuai dengan era generasi Twitter.

30 Maret 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wafatnya Lee Kuan Yew seolah-olah antiklimaks pada pengujung hayatnya. Warga Singapura tadinya amat berharap sang bapak bangsa sempat mengikuti peringatan emas kemerdekaan Singapura, Agustus nanti. Upacara megah sudah lama dipersiapkan sebagai kado istimewa untuknya. Sayang, Lee lebih dulu wafat pada Senin pekan lalu pada usia 91 tahun.

Takdir tak menghendaki Lee menyaksikan penghormatan besar atas pencapaiannya. Singapura hanya kurang-lebih seluas DKI Jakarta, tanpa sumber alam, tapi mampu meningkatkan kesejahteraan warganya 110 kali lipat dalam tempo 50 tahun. Penduduk Singapura kini menikmati produk domestik bruto per kapita sekitar US$ 55 ribu per tahun. Bandingkan dengan US$ 511 pada 1965. Kualitas infrastruktur dan birokrasi di sana sekarang juga sudah tergolong kelas dunia.

Lee sendiri mulanya tak yakin. Dalam pandangannya, negeri Singapura yang merdeka adalah gagasan tak masuk akal. Sejak menjadi perdana menteri pada 1959, ketika Inggris memberikan otonomi, ia hanya mematok sasaran rendah. Singapura masuk Federasi Malaya sebagai negara bagian. Itu terwujud pada 1963, kendati ada tentangan, termasuk dari sesama anggota People Action Party (PAP) yang ia pimpin.

Tak lama Singapura masuk federasi, Lee malah harus melaksanakan gagasan yang ia anggap mustahil itu. Singapura ditendang keluar dari federasi pada 9 Agustus 1965 karena tak sepakat soal pembagian kekuasaan. Dengan berurai air mata, Lee mengajak rakyatnya mendirikan negeri merdeka yang penduduknya adalah turunan imigran campur aduk berbagai puak: Tionghoa, India, Melayu, hingga keturunan Eropa. Belum lagi tetangga di sekeliling yang semuanya serba mengancam.

Indonesia, misalnya, saat itu tengah mengobarkan politik konfrontasi. Lee bahkan mengeksekusi mati Usman dan Harun, tentara Korps Komando (KKO) Angkatan Laut Indonesia yang mengebom kantor Hong Kong Shanghai Bank Corporation di Dhoby Ghaut, 10 Maret 1965. Belum lagi ancaman komunisme yang menggelegak di Asia Tenggara. Lee, yang lahir pada 1923 di tengah keluarga Cina peranakan yang relatif mapan, sejak muda jelas antikomunis.

Cukup meneteskan air mata di titik awal, Lee mewujudkan gagasan mustahil ini dengan cara keras dan tegas. Ia tak memberi ampun penentang politiknya. Sebagai ahli hukum brilian (Lee lulusan Universitas Cambridge di Inggris), ia kerap memakai gugatan hukum untuk memailitkan politikus oposisi yang mencoba merebut kekuasaan PAP.

Lee juga memakai hukum untuk mengatasi media. Media lokal harus hidup dalam rezim perizinan yang mustahil menumbuhkan kritik. Media asing pasti sibuk menghadapi gugatan pencemaran nama jika terlalu keras mengkritik. Ia pernah berkata, "Siapa pun yang memerintah Singapura harus sekeras besi. Sepanjang saya masih ada, tak seorang pun boleh meruntuhkannya."

Gaya keras tak cuma berlaku pada urusan politik. Lee memaksa rakyatnya bekerja keras. Dari awal ia tak berkehendak mendirikan welfare state, negara yang menjanjikan kesejahteraan. Semua orang harus bekerja sekuat tenaga jika ingin makmur.

Salah satu implementasinya, Lee memaksa seluruh warga menabung melalui Central Provident Fund (CPF). Jumlah tabungan wajib ini naik-turun sejalan dengan kondisi ekonomi. Puncaknya, pada 1985, semua pekerja di Singapura harus menyisihkan hingga 50 persen gajinya masuk ke CPF-25 persen tanggungan pekerja, 25 persen kewajiban pemberi kerja. Bertanya secara rinci tentang pengelolaan dana hasil wajib menabung ini adalah tabu. Rakyat cukup mengetahui bahwa hasil cucuran keringat mereka inilah yang akan menjamin hari tua, termasuk untuk jaminan kesehatan atau membeli rumah. Bukan negara yang menyediakan, semua orang bertanggung jawab atas dirinya masing-masing.

Kendati tak mau mendirikan welfare state, Lee juga bukan kapitalis tulen yang ingin melihat pebisnis swasta tumbuh meraksasa. Ia justru memilih perusahaan negara atau government linked companies (GLCs) sebagai lokomotif ekonomi. Di bawah payung Temasek Holdings, GLCs menguasai banyak lini bisnis penting, dari galangan kapal, maskapai penerbangan, keuangan, hingga properti.

"Saya tak menyesal sedikit pun. Kita tak akan sampai di sini, kita tak akan membuat ekonomi tumbuh jika pemerintah tidak mengintervensi kehidupan rakyat hingga hal yang sangat pribadi: siapa tetanggamu, bagaimana dan di mana kalian meludah, atau bahasa apa yang kalian pakai. Kami yang menentukan mana yang benar," inilah ringkasan gaya kepemimpinan Lee yang ia sampaikan dalam sebuah wawancara pada 1987.

Maka, sepanjang Lee menjadi perdana menteri sejak 1959 hingga 1990, meritokrasi, pragmatisme, ego yang kuat, dan selera pribadinya benar-benar mendominasi Singapura. Bahkan untuk perkara remeh, seperti melarang orang berjualan permen karet.

Yang serius, Lee melarang etnis Tionghoa menggunakan dialek ibunya dalam acara publik. Bahasa ibu, bagi etnik Tionghoa, apa pun sukunya adalah bahasa Mandarin. Dialek Kanton, Hakka, atau Hokian terdengar semakin sayup-sayup di seantero negeri. Media pun didorong tak menggunakan dialek itu. Lee sendiri adalah keturunan Hakka, bukan Han yang menggunakan bahasa Mandarin.

Apa pun kata orang, resep Lee terbukti berhasil. Singapura kini adalah negara modern yang kaya-raya, tertib, dan stabil. Tapi, di era Twitter dan Facebook, orang semakin keras mengkritik bahwa gaya Orwellian ala Lee tak akan awet. Generasi baru Singapura semakin sulit menerima bahwa pendekatan tangan besi adalah keharusan agar negeri itu tidak tercerai-berai karena konflik sosial dan rasial, seperti yang terjadi pada 1964.

Bagaimana kelak desakan zaman ini akan mengubah rupa Singapura setelah Lee mangkat? Pelan tapi pasti, perubahan sudah terasa. Anggaran 2015 yang diumumkan bulan lalu, misalnya, memberi porsi besar untuk berbagai paket pendongkrak pendapatan masyarakat, dari potongan pajak, kenaikan bunga dana CPF, hingga hibah untuk pengusaha kecil-menengah.

Memang belum ada penegasan Singapura akan condong ke arah welfare state, tapi setidaknya segala sesuatu kini lebih longgar. Porsi tabungan wajib ke CPF pun sekarang jauh lebih rendah, 35,5 persen gaji. Rakyat Singapura kian tak sabar ingin mencicipi porsi lebih besar dari hasil kerja keras mereka-sesuatu yang mustahil terjadi jika bapak bangsa yang spartan dan keras hati itu masih berkuasa.

Transisi itu sebetulnya sudah berjalan bertahap, seirama dengan surutnya peran langsung Lee di kabinet. Ketika wafat, ia memang masih tercatat sebagai anggota parlemen dari Tanjung Pagar, tak pernah berubah sejak 1959. Namun Lee sudah menyerahkan kursi perdana menteri kepada Goh Chok Tong pada 1990 dan turun pangkat menjadi menteri senior. Pada 2004, ia memilih berdiri lebih ke pinggir sebagai minister mentor saat Lee Hsien Loong naik pangkat sebagai perdana menteri. Dan, pada 2011, ia resmi pensiun dari kabinet.

Kendati Lee sudah pensiun tiga tahun lalu, wafatnya sang bapak bangsa tetap menjadi tonggak sejarah yang menentukan. Seperti pernyataan resmi Worker's Party (WP), kompetitor terbesar PAP, "Wafatnya Lee Kuan Yew adalah akhir sebuah era."

WP tentu ingin melihat berakhir pula era PAP, yang berkuasa penuh sejak 1959. Dalam pemilihan umum terakhir, 2011, PAP hanya mengumpulkan 60,14 persen-terendah sejak kemerdekaan. Hanya kecanggihan pengaturan konstituen atau gerrymandering yang membuat PAP masih menguasai 81 kursi dari total 87 kursi parlemen.

Penurunan popularitas PAP adalah sebuah hal yang tak terelakkan mengingat partai itu sudah sedemikian lama berkuasa. Tapi, bagi Lee, lain ceritanya. "Apakah saya sedang terbaring di ranjang rumah sakit atau sedang diturunkan ke liang lahad, jika ada sesuatu yang keliru, saya akan bangkit," tuturnya suatu ketika di tengah kampanye pada 1980.

Kini Lee Kuan Yew tentu saja tidak akan kembali bangkit. Ia sudah mengakhiri perjalanannya. Jasadnya dikremasi pada Ahad kemarin, kendati sebetulnya ia berhak terbaring di Kranji State Cemetery, pemakaman khusus untuk para pemimpin Singapura. Orang dekat Lee berbisik, ia berpesan tak ingin mendapat perlakuan berbeda dengan warga biasa yang harus dikremasi karena terbatasnya lahan. Lee memang otoriter bertangan besi. Tapi, di akhir perjalanannya, ia ingin kembali menjadi warga biasa, menjadi Harry Lee-panggilan sayang dari kakeknya semasa ia muda dulu.

Yopie Hidayat, Lulusan Lee Kuan Yew School Of Public Policy Angkatan Pertama

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus