Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEKILAS, dua lembar sertifikat deposito berlogo Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN) itu tampak sama. Namun satu tes kecil saja cukup untuk menunjukkan bahwa salah satunya bilyet palsu. Ketika dua lembar sertifikat itu diletakkan di bawah lampu ultraviolet, pada bilyet asli muncul bayangan membentuk logo BTPN di sudut kanan bawah. Sedangkan pada bilyet palsu, bayangan itu tak muncul.
Kepolisian Resor Kota Semarang menjadikan dua lembar kertas itu sebagai bukti raibnya "deposito" Rp 22,7 miliar milik Pemerintah Kota Semarang. Bilyet tanpa bayangan logo BTPN diambil polisi dari Pemerintah Kota Semarang. Sedangkan bilyet dengan bayangan logo diserahkan BTPN untuk pembanding. "Bukti itu sangat kuat," kata Kepala Polres Kota Semarang Komisaris Besar Djihartono, Jumat pekan lalu.
Pembobolan kas Pemerintah Kota Semarang mulai terendus lewat audit Badan Pemeriksa Keuangan Perwakilan Jawa Tengah pada 2013. Kala itu, BPK meminta Pemerintah Kota Semarang menempatkan giro mereka dalam rekening tunggal. Sebelumnya, giro Pemerintah Kota Semarang menyebar di 12 bank. Salah satunya di BTPN. Pemerintah Kota lantas memilih Bank Jateng sebagai tempat penyimpanan giro. Simpanan di bank lain diubah menjadi deposito.
Dalam catatan Dinas Pengelolaan Keuangan Aset Daerah, Pemerintah Kota Semarang memiliki giro senilai Rp 22,7 miliar di BTPN. "Angka itu merujuk pada rekening koran per November 2014," ujar Kepala Dinas Pengelolaan Keuangan Yudi Mardiana, dua pekan lalu.
Pada 6 November 2014, Yudi Mardiana mengirim surat kepada BTPN melalui Diyah Ayu Kusumaningrum, orang yang dikenal Yudi sebagai Personal Banker BTPN. Yudi meminta giro Rp 22 miliar diubah menjadi deposito. Sedangkan sisanya, Rp 705 juta, diminta dipindahkan ke Bank Jateng. Beberapa hari kemudian, Yudi menerima sertifikat deposito bertanggal 10 November 2014 dari Diyah Ayu. Bilyet yang belakangan diduga palsu itu mencantumkan seluruh simpanan Pemerintah Kota, Rp 22,7 miliar, sebagai simpanan deposito.
Karena angka yang tercantum pada bilyet tak sesuai dengan permohonan, pada 11 November 2014, Pemerintah Kota menyurati BTPN untuk meminta klarifikasi. Sebelum penjelasan BTPN keluar, pada 21 Januari 2015, rekening Pemerintah Kota di Bank Jateng Cabang Semarang menerima dua kali setoran tunai dari Bank Jateng Cabang Jakarta, sebesar Rp 163,2 juta dan Rp 169,9 juta. Setoran itu disertai keterangan pembayaran bunga BTPN bulan Desember 2014 dan Januari 2015.
Dua hari kemudian, Pemerintah Kota Semarang menerima penjelasan mengejutkan dari BPTN Cabang Semarang. Surat itu menjelaskan bahwa simpanan Pemerintah Kota Semarang tak mencapai Rp 22 miliar. Yang tercatat di BTPN, simpanan dalam bentuk giro hanya Rp 82,2 juta. Adapun simpanan dalam bentuk deposito, yang dipecah dalam tiga rekening, hanya Rp 514 juta.
Tak terima dengan penjelasan itu, pada 9 Maret lalu, Pemerintah Kota menggugat BTPN ke Pengadilan Negeri Semarang. Pemerintah Kota menuntut ganti rugi sebesar Rp 41,3 miliar. Berbekal sertifikat deposito "bodong" tanggal 10 November 2014, Pemerintah Kota pun melaporkan BTPN ke Polres Kota Semarang pada 18 Maret lalu.
Digugat dan dilaporkan ke polisi, pihak BTPN tak tinggal diam. Bank itu melakukan penyelidikan internal. Hasilnya, "Kami tak pernah mengeluarkan sertifikat deposito sebesar itu," ucap Corporate Communications Head BTPN Eny Yuliati, Jumat pekan lalu. Adapun Diyah Ayu, yang disebut-sebut memberikan sertifikat deposito tanggal 10 November 2014, menurut Eny, sudah keluar dari BTPN pada 2011.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yang bertugas mengawasi bank, juga menguatkan keterangan BTPN. Kepala OJK Regional 4 Jawa Tengah dan Yogyakarta, Santoso Wibowo, menjelaskan bahwa Pemerintah Kota Semarang mulai menyimpan uang di BTPN pada 7 Desember 2007. Simpanan berbentuk giro Rp 45,2 miliar. Sebagian giro, senilai Rp 18 miliar, kemudian dipecah dalam bentuk deposito. Sampai 2010, simpanan Pemerintah Kota plus bunganya menyentuh angka Rp 57 miliar. Namun simpanan itu terus ditarik secara berkala hingga 2013.
Sejak 2013, menurut pantauan OJK, rekening Pemerintah Kota Semarang di BTPN tak pernah bergerak. "Sampai Maret 2015, tak ada mutasi rekening atau transaksi yang mencapai Rp 22 miliar," ujar Santoso, Kamis pekan lalu.
Kuasa hukum Pemerintah Kota Semarang, John Richard Latuihamallo, mengklaim jumlah simpanan giro Pemerintah Kota pada 2011-2014 terus naik, dari Rp 10,08 miliar menjadi Rp 22,7 miliar. Pemerintah Kota Semarang pun rutin menerima laporan rekening koran dari BTPN. "Semua bukti yang kami miliki asli," ujar John pekan lalu. Hanya, John mengakui, pengurusan deposito dan korespondensi antara Pemerintah Kota dan BTPN dijembatani Diyah Ayu.
HUBUNGAN Diyah Ayu dengan Pemerintah Kota Semarang sudah terjalin lama. Lewat Diyah Ayu pula Pemerintah Kota Semarang pernah menyimpan dana Rp 45,1 miliar di Bank Agroniaga. Sebelum bekerja di BTPN, wanita 36 tahun itu bekerja di Agroniaga.
Diyah Ayu pindah ke BTPN Semarang pada 2007. Beberapa anggota staf Dinas Pengelolaan Keuangan Aset Daerah bercerita, ketika pindah ke BTPN, Diyah meyakinkan sejumlah pejabat Pemerintah Kota Semarang untuk memindahkan uang di Agroniaga ke BTPN. Pada Desember 2007, Wali Kota Semarang Sukawi Sutarif menerbitkan surat keputusan yang menunjuk BTPN sebagai tempat menyimpan uang kas daerah.
Corporate Communications Head BTPN Eny Yuliati membenarkan bahwa Diyah Ayu memboyong uang sekitar Rp 45 miliar ketika pindah ke BTPN Semarang. Namun, pada 2011, Diyah dipindahkan ke BTPN Jakarta. Beberapa bulan di Jakarta, ia lalu pindah ke Bank Pundi. Diyah menjadi Area Business Funding Manager Bank Pundi Cabang Kelapa Gading.
Meski sudah pindah ke bank lain, menurut penyidik Polres Kota Semarang, Diyah tetap aktif berkomunikasi dengan pejabat Pemerintah Kota Semarang. Padahal, menurut Eny, BTPN sudah menyodorkan nama pengganti Diyah. Namun pejabat Pemerintah Kota Semarang nyaris tak pernah berhubungan dengan Personal Banker BTPN baru itu.
Pada 18 Maret lalu, BTPN pun melaporkan Diyah Ayu ke Kepolisian Daerah Jawa Tengah atas tuduhan pemalsuan dokumen. Salah satu bukti pemalsuan yang dilaporkan adalah sertifikat deposito yang sempat dipegang Pemerintah Kota Semarang.
Dilaporkan ke polisi, Diyah Ayu mendatangi Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah. Kepala Kejaksaan Tinggi Hartadi mengatakan perempuan itu mengaku dikorbankan. Kepada jaksa, Diyah pun blakblakan menjelaskan modus penggelapan kas daerah tersebut. "Dia menyebut beberapa nama di Pemkot yang terlibat," ujar Hartadi kepada wartawan, Ahad pekan lalu.
Menurut Hartadi, Kejaksaan mencium kasus ini sejak Februari lalu, sebelum laporan masuk ke kepolisian. Kejaksaan pun sudah mengantongi bukti yang cukup untuk menetapkan tersangka. Namun ketika Tempo menanyakan perkembangan pengusutan, Senin pekan lalu, Hartadi mengatakan kasusnya sudah dilimpahkan ke Polres Kota Semarang. "Agar tak tumpang-tindih," ucapnya.
Seorang penyidik di Polres Kota Semarang menyebutkan keterangan Diyah Ayu kepada polisi pun sangat gamblang. Diyah menyebut uang Rp 22,7 miliar yang belakangan ini diributkan sebenarnya sudah dikuras sejak 2011 hingga 2013. Adapun "bunga bank" yang terus masuk ke rekening Pemerintah Kota Semarang hanya kamuflase untuk menutupi kecurigaan. Pada 2011-2014, Diyah mengaku mengeluarkan rekening koran palsu sebagai laporan.
Untuk memuluskan aksinya, menurut si penyidik, Diyah bekerja sama dengan dua pegawai negeri di Unit Pelaksana Teknis Kas Daerah-di bawah koordinasi Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah. Dua orang itulah yang meloloskan laporan palsu agar deposito bodong Rp 22,7 miliar masuk daftar aset Kota Semarang. Kepada penyidik, Diyah pun bercerita soal aliran uang untuk kedua orang tersebut.
Di samping memegang pengakuan lisan, polisi mengantongi rekaman percakapan telepon serta salinan pesan BlackBerry Messenger antara Diyah Ayu dan kedua pegawai itu. Ketika dimintai konfirmasi, Kepala Polres Kota Semarang Djihartono tak membenarkan atau membantah informasi si penyidik. "Kuat dugaan ada unsur korupsi," katanya.
Berdasarkan penelusuran Tempo, kedua orang yang disebutkan Diyah Ayu kepada penyidik masih bekerja di Unit Kas Daerah Kota Semarang. Seorang di antaranya berstatus tersangka dalam kasus korupsi lain. Belakangan, kedua orang itu pun jarang masuk kantor.
Pekan lalu, Tempo menelusuri jejak Diyah Ayu di Bank Pundi Kelapa Gading. Tiga kali menyambangi kantor bank itu, Tempo tak menemukan dia. Sejumlah karyawan Bank Pundi menyebutkan Diyah sedang cuti.
Meski tak mengangkat panggilan telepon, Diyah membalas pesan pendek yang dikirim Tempo. "Saya dan keluarga masih terguncang dengan kasus ini," demikian pesan Diyah, Kamis pekan lalu. Dia menambahkan, waktu dan tenaganya terkuras karena harus memberikan keterangan di kepolisian dan kejaksaan. Bila sudah punya waktu luang, Diyah berjanji memberi kesempatan wawancara.
Syailendra Persada (jakarta), Edi Faisol (semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo