BATU-batu karang yang berjejer di sepanjang pantai masih tampak hitam pekat berkilat. Burung-burung menjauh dari perairan pantai. Ikan-ikan menyingkir, dan anjing laut pun enggan mendekat. Tumpahan 1,25 juta barel minyak mentah di pantai Prince William Sound, Alaska, yang meruyak sejak akhir Maret silam, hingga kini masih menyisakan suasana hitam dan murung. Minyak mentah itu menggenangi kawasan seluas 1.800 km2, atau tiga kali luas DKI Jakarta. Bencana itu timbul gara-gara kapal tanker Exxon Valdez menabrak karang pantai dan robek lambungnya. Minyak pun mengucur deras dari perutnya. Sejak dua bulan lalu, ahli-ahli pencemaran minyak dari EPA (Environmental Protection Agency), Badan Perlindungan Lingkungan Hidup Amerika, melakukan serangkaian riset di daerah tercemar. Riset itu ditekankan pada pencarian jenis bakteri alamiah yang sanggup "menyantap" minyak bumi yang menggenang itu. Hasilnya, telah ditemukan sejumlah bakteri alamiah asli perairan Alaska yang sanggup melakukan pekerjaan berat itu. Maka, EPA menyatakan tak hendak mengerahkan bakteri buatan hasil rekayasa manusia -- untuk memerangi cemaran minyak itu. Pasalnya, ada kekhawatiran jika bakteri hasil manipulasi genetik itu dilepas ke lingkungan bebas perkembangan populasinya akan sulit dikontrol. Padahal, mikroba buatan -- yang teruji bisa melapukkan senyawa-senyawa racun, termasuk minyak -- telah banyak dijual secara komersial. Dalam melakukan riset lapangan itu, yang diperhatikan betul adalah aktivitas populasi mikroorganisme dalam perairan tercemar itu. Dari berbagai sampel yang diambil di pantai dan diperiksa di laboratorium, para ahli mendapatkan bukti bahwa proses pembusukan minyak oleh bakteri, betapapun lamban telah berlangsung. Namun, jika semuanya dibiarkan berlangsung secara alamiah, pemulihan kondisi habitat pantai Prince William Sound itu akan makan waktu puluhan tahun. Maka, "Pemulihan kawasan pantai itu memerlukan campur tangan manusia," ujar John H. Skinner, asisten administratur EPA yang menangani masalah penelitian dan pengembangan. Bentuk campur tangan itulah yang kini tengah dijajaki oleh EPA. Lewat pengamatan di laboratorium, didapatkan bukti pula bahwa bakteri pembusuk itu bisa bekerja lebih glat jika ke dalam air tercemar itu dimasukkan sejumlah bahan nutrisi tambahan. "Nutrisi yang terpenting berupa fosfat dan nitrat," tutur Skinner. Para ahli EPA kemudian membuat formula bubuk fosfat-nitrat dengan bahan aditif yang bisa menempel pada minyak. Sebagai uji coba pertama, bubuk nutrisi itu akan disebarkan di pantai Pulau Gundul, tak jauh dari pantai Prince William Sound, yang paling tercemar. Dalam eksperimen laboratorium, ahli-ahli EPA memperoleh bukti pula bahwa bakteri pembusuk itu bisa "menyantap" minyak lebih rakus pada lingkungan suhu yang lebih hangat. Sayangnya, pada kondisi alamiah, suhu rata-rata di kawasan perairan Prince William Sound tak pernah beranjak hangat. Pada musim paling panas pun paling hanya 15-17 C. Thomas G. Zitrides, Pimpinan Bioscience Management Company, dari Bethlehem, Pennsylvania, mengusulkan kepada EPA agar lembaran-lembaran plastik hitam dipasang di kawasan tercemar. Pada hemat Zitrides, plastik hitam itu akan memanaskan daerah pantai, yang memacu laju pembusukan minyak. Namun, usul itu ditolak oleh John H. Skinner. Pejabat EPA ini menilai bahwa tanpa plastik hitam pun, tumpahan minyak itu telah menghitamkan batu-batu dan permukaan air pantai. Jadi, "Tak perlu kita bantu," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini