Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Bom Bunuh Diri di Masjid Afganistan

Tiga serangan bom bunuh diri terjadi di tengah salat Jumat di Masjid Imam Bargah, masjid Syiah terbesar di Kandahar, Afganistan. Sebanyak 32 orang tewas dan lebih dari 68 orang cedera.

16 Oktober 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Seorang pria merekam suasana di dalam masjid setelah ledakan, di Kunduz, Afghanistan 8 Oktober 2021. REUTERS/Stringer

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Serangan bom bunuh diri terjadi di masjid Syiah di Kandahar, Afganistan.

  • Junta militer Myanmar dinilai berkhianat terhadap negara karena memaksa presiden mundur.

  • Lima korban program repatriasi menggugat pemimpin Korea Utara Kim Jong-un.

Afganistan

Serangan Bom di Masjid Syiah

TIGA serangan bom bunuh diri terjadi di tengah salat Jumat di Masjid Imam Bargah, masjid Syiah terbesar di Kandahar, Afganistan, Jumat, 15 Oktober lalu. Serangan itu mengakibatkan 32 orang tewas dan lebih dari 68 orang cedera.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kantor berita pemerintah Bakhtar News Agency menyatakan Emirat Islam Afganistan, pemerintah di bawah Taliban, mengutuk insiden ini. Syiah adalah kelompok muslim minoritas di negeri itu. Ini adalah serangan kedua terhadap masjid Syiah. Pekan lalu, sedikitnya 20 orang tewas dan 90 lainnya cedera dalam ledakan pengebom bunuh diri di sebuah masjid Syiah di Kota Kunduz. Negara Islam Irak dan Suriah-Provinsi Khorasan (ISIS-K) mengaku bertanggung jawab terhadap serangan di Kunduz.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Perserikatan Bangsa-Bangsa mengutuk kekejaman terbaru yang menyasar lembaga agama dan jemaah. Mereka yang bertanggung jawab harus dimintai pertanggungjawaban," ucap pihak Misi Bantuan PBB di Afganistan (UNAMA) tentang serangan di Kandahar melalui akun Twitter. Belum ada kelompok yang mengaku bertanggung jawab atas serangan itu.


Myanmar

Junta Militer Dinilai Berkhianat

TENTARA Rakyat, kelompok tentara yang membelot ke Gerakan Pembangkangan Sipil, menyerukan agar pemimpin junta Jenderal Senior Min Aung Hlaing dan para jenderal pendukungnya dicopot dari jabatannya. "Atas nama semua tentara dan perwira militer Myanmar, kami umumkan pencopotan Min Aung Hlaing dan para perwira militer senior dari jabatan mereka karena telah berkhianat," ujar mereka dalam pernyataan yang dikutip The Irrawaddy, Rabu, 13 Oktober lalu.

Sekitar 2.500 tentara dan polisi telah membelot ke Gerakan Pembangkangan Sipil, gerakan nasional oleh aparatur sipil negara yang menolak bekerja untuk junta. Tentara Rakyat menyebut para jenderal itu telah melanggar hukum militer dengan memaksa Presiden U Win Myint mundur. Di depan pengadilan pada Selasa, 12 Oktober lalu, U Win menyatakan dua jenderal mencoba memaksa dia mundur pada hari kudeta 1 Februari lalu dengan alasan "sakit", tapi dia menolak, meskipun dia diancam akan "celaka" bila tidak meletakkan jabatannya.

Anggota Parlemen ASEAN untuk Hak Asasi Manusia, Jaringan ASEAN Alternatif untuk Burma, dan lebih dari 50 kelompok hak asasi manusia di Myanmar menyerukan agar para pemimpin negara anggota ASEAN tidak mengundang pemimpin junta ke ASEAN Summit. Ini karena junta telah gagal menghormati dan menjalankan lima konsensus ASEAN soal Myanmar.

Rencana kunjungan Erywan Yusof, utusan khusus ASEAN untuk Myanmar, ke negeri itu gagal karena junta menolak permintaan untuk bertemu dengan semua pemangku kepentingan, termasuk Aung San Suu Kyi. Menteri Luar Negeri Malaysia Saifuddin Abdullah menyatakan Jenderal Min Aung dapat dikecualikan dari pertemuan pemimpin ASEAN karena menolak bekerja sama dengan organisasi negara-negara Asia Tenggara tersebut.


Jepang

Korban Repatriasi Gugat Kim Jong-un

Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un di Pyongyang, Korea Utara, 12 Oktober 2021. KCNA via REUTERS

LIMA korban janji muluk Korea Utara dalam program repatriasi 1959-1984 menggugat pemimpin Korea Kim Jong-un di pengadilan Tokyo, Jepang, Kamis, 14 Oktober lalu. Lebih dari 90 ribu orang pulang ke negerinya melalui program itu. Para penggugat, yang belakangan kembali ke Jepang, masing-masing menuntut ganti rugi sebesar 100 juta yen atau sekitar Rp 12,3 miliar.

Ribuan orang Korea Utara pindah ke Negeri Matahari Terbit selama Jepang menjajah Semenanjung Korea pada 1910-1945. Setelah merdeka, Korea Utara berusaha membangun negerinya yang rusak oleh perang dengan memanggil pulang warganya. Pyongyang menjanjikan kehidupan yang indah dengan layanan kesehatan gratis, pendidikan, dan pekerjaan. Banyak yang tertarik pulang tapi kenyataannya mereka dipaksa bekerja di pertanian, pertambangan, dan pabrik.

"Kami tidak mengharapkan Korea Utara untuk menerima keputusan pengadilan atau membayar ganti rugi," kata pengacara penggugat, Kenji Fukuda, kepada BBC. Tapi, jika mereka menang, "Kami berharap pemerintah Jepang dapat bernegosiasi dengan Korea Utara".

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus