ADA kejutan baru yang dikirimkan Mikhail Gorbachev dari Vladivostok Senin pekan lalu. Dalam pidato politik luar negeri, Sekjen PKUS (Partai Komunis Uni Soviet) itu bicara tentang rencana penarikan mundur 6.000-8.000 tentara Rusia dari Afghanistan, kesediaannya untuk pertemuan puncak yang kedua dengan Ronald Reagan serta kesediaan Moskow untuk berunding dengan RRC, khususnya mengenai penciutan secara proporsional satuan darat kedua negara di sepanjang perbatasan. Tidak kurang menarik ialah imbauan Gorbachev untuk "membangun hubungan baru dan segar di kawasan Asia dan Pasifik," seraya menyokong peningkatan kegiatan ekonomi antara Moskow dan Tokyo. Sepintas, pidato itu mencakup hampir semua soal internasioan tetapi toh ada yang terlupakan oleh Gorbachev. Masalah Kamboja, misalnya. Bisa dimengerti bila sambutan terhadap pidato Gorbachev itu dingin-dingin saja. Menyangkut penarikan enam resimen dari Afghanistan, misalnya, Pakistan menilainya sebagai "langkah kecil ke arah pengunduran total," sementara Washington bersikap skeptis. Juru bicara Deplu AS, Bernard Kalb, berkomentar, tindakan itu tidak lebih dari pergantian tentara secara rutin, tanpa mengurangi jumlah tentara secara keseluruhan. Kalb, seperti halnya juru bicara Gedung Putih Larry Speakes, menandaskan bahwa yang penting bukan pengunduran, tapi jadwal pengunduran. "Jadwal itulah satu-satunya jalan keluar yang bisa diterima," ucap Speakes. Memang "mundur dari Afghanistan" sudah merupakan isu lama, bahkan pengulas politik di AS sudah mempertimbangkan bagaimana membantu Soviet mundur, tanpa kehilangan muka. Tapi bagi Gorbachev masalahnya bukan semata-mata takut kehilangan muka. Lebih mendasar dari itu ialah bagaimana menanggalkan citra lama politik luar negeri Soviet yang angker, kaku, dan beringas, lalu mencoba citra baru: luwes lebih terbuka, dan bersahabat. Pada hari-hari pertama, Beijing menyambut dingin uluran persahabatan itu. Kemudian ada selentingan bahwa RRC akan mempelajari dulu prakarsa Gorbachev. Tapi Rabu pekan lalu, tiba-tiba Beijing menyerukan "penarikan mundur seluruh tentara Soviet dengan segera". Alasannya kehadiran pasukan Rusia di Afghanistan merupakan satu dari tiga hal yang bisa menghambat usaha ke arah hubungan baik di Asia Pasifik. RRC juga tidak terkesan dengan penarikan 6.000 tentara, yang cuma 6% dari 120.000 prajurit Soviet di sana. Hal lain yang kurang berkenan bagi Beijing ialah didiamkannya masalah pendudukan Kamboja oleh tentara Vietnam, invasi yang secara politis maupun militer didukung Soviet. Khusus mengenai niat membatasi jumlah tentara Soviet dan RRC di sepanjang perbatasan, Beijing pun tampaknya kurang tergugah. Soalnya, Gorbachev bicara tentang penarikan tentara Soviet dari Mongolia -- pada tahap awal -- tapi tidak menyebutkan dengan jelas kapan hal itu akan dilaksanakan. Singkatnya, tidak ada bukti kongkret yang ditawarkan Moskow kepada Beijing, kecuali pidato Gorbachev itu saja. Dan sebuah pidato, walaupun padat dengan kebijaksanaan baru, belum berarti realisasi kebijaksanaan itu sendiri. Washington bukan tidak melihat bahwa pemimpin Soviet itu meningkatkan pendekatan secara lebih gencar darl biasa. Pendeknya, mendengar ini, Washington dan Beijing tampaknya justru semakin berhati-hati. Banting stir Gorbachev tetap dilihat sebagai satu paket pengamanan reformasi ekonomi Soviet yang memerlukan biaya besar. Agar reformasi sukses, aksi-aksi militer yang secara ekonomis kurang bisa dipertanggungjawabkan terpaksa dibatasi, kalau tidak mau dihentikan sama sekali. Penarikan, atau setidaknya pengurangan, dari 600 ribu pasukan Soviet yang ditempatkan di perbatasannya dengan RRC yang merupakan sepertiga dari kekuatan Angkatan Bersenjata Soviet -- jelas akan sangat bisa mengurangi dana yang selama ini tercurah ke sana. Namun, semua ini masih berupa rencana. Dunia internasional menunggu realisasinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini