MARY Jacobs dan suaminya, seorang akuntan, sudah memutuskan untuk meninggalkan Afrika Selatan. Mereka telah memilih tempat bermukim: kembali ke Inggris. Di sana, mereka akan memulai lembaran hidup baru, meninggalkan segala kemewahan yang mereka jalani selama ini. Sebuah rumah besar berkamar lima, lengkap dengan lapangan tenis di pekarangannya, serta pelayan-pelayan berkulit hitam dengan seragam putih semuanya tak mungkin lagi mereka peroleh di tempat baru. Apalagi pemerintah Afrika Selatan hanya mengizinkan mereka membawa pergi uang tunai setara US$ 20 ribu, ditambah dengan harta benda lainnya yang tak boleh melebihi US$ 16 ribu. Dengan hanya mengandalkan jumlah tersebut sebenarnya mustahil mereka dapat hidup di tempat baru mereka dengan berkecukupan. Namun, Nyonya Jacobs tidak sendirian. Perusahaan pelayaran yang mengangkut barang-barang mereka mengaku setiap harinya meladeni delapan permintaan pengapalan barang-barang rumah tangga ke berbagai tujuan. Bahkan seorang nyonya lainnya datang ke kantor perusahaan tersebut menanyakan kemungkinan mengapalkan harta bendanya ke Australia -- termasuk sebuah sedan Rolls-Royce. Menurut catatan resmi pemerintah, sepanjang Januari-April tahun ini saja sudah 2.157 jiwa yang beremigrasi. Data lainnya malah menyebut 4.670 jiwa. Kedutaan Besar Australia di Pretoria, dalam pada itu, masih dipusingkan dengan 15 ribu permohonan emigrasi ke Australia -- negara yang paling banyak diminati oleh para calon emigran kulit putih Afrika Selatan. Emigrasi besar-besaran kini memang sedang terjadi di Afrika Selatan. Padahal, tahun lalu lebih dari 5.000 pendatang kulit putih menetap di negeri ini. Yang mengkhawatirkan, eksodus kaum kulit putih Afrika Selatan ini kebanyakan para profesional dan tenaga terdidik. Kecenderungan ini tampaknya tidak akan menurun. Hasil pengumpulan pendapat di Afrika Selatan yang dilakukan harian The Sunday Times terbitan London, Ahad silam, menunjukkan, 12% responden kaum kulit putih berniat beremigrasi dalam jangka sepuluh tahun ini. Afrika Selatan rupanya sudah bukan lagi tanah harapan bagi sebagian kaum kulit putih, minoritas yang cuma berjumlah 4,5 juta di negara berpenduduk 25 juta jiwa itu. Seperti kata Nyonya Jacobs, kemewahan yang mereka nikmati terkadang harus ditebus dengan nyawa. Selama beberapa pekan terakhir ini saja sedikitnya 14 bom meledak di kota-kota besar, merenggut tiga nyawa serta melukai 120 orang putih lainnya. Karena itu, tak heran jika satu dari dua keluarga kulit putih di Afrika Selatan memiliki senjata api menurut sebuah survei lainnya. Pemilikan senjata api ini bahkan hampir merata pada keluarga kaum Afrikaner, yang berasal dari keturunan penjajah Belanda. Dalam situasi yang penuh kekerasan itu rezim pemerintahan apartheid P.W. Botha makin bersikap kaku. Penahanan terhadap mereka yang dicurigai atau mereka yang melanggar ketentuan darurat masih terus dilaksanakan. Tidak jelas berapa jumlah yang ditahan, meski ada dugaan jumlahnya ribuan. Bahkan Annica van Gylswyk, seorang pejuang hak asasi berkulit putih kelahiran Swedia, terpaksa mendekam 46 hari hingga Senin lalu sebelum bisa meninggalkan Afrika Selatan sebagai satu syarat pembebasan. Sebenarnya justru kaum kulit putih pendatang lainnyalah yang paling menikmati Afrika Selatan. Karena itu, seperti kata Nyonya Jacobs, "Setiap malam, sebelum tidur, mereka berlutut dan berdoa, 'Ya Tuhan, terima kasih. Engkau telah menganugerahkan negara yang indah makmur, dan menjadikan orang-orang hitam sebagai budak-budakku, serta orang-orang Afrikaner, sebagai pelindungku." Di sisi lain, pemerintah Afrika Selatan dilanda kekhawatiran dengan membanjirnya pendatang haram berkulit hitam dari negara-negara tetangga, terutama dari Mozambique. Diperkirakan 170 ribu pendatang haram dari Mozambique kini berada di Afrika Selatan. "Para pendatang gelap serta majikan-majikan yang mempekerjakan mereka harusditindak tegas," kata Menteri Tenaga Kerja Piete Du Plessis. Pekan lalu, satuan-satuan Angkatan Darat Afrika Selatan telah memasang pagar listrik sepanjang 24 km di Taman Nasional Kruger -- tindakan pencegahan untuk menghambat para pendatang haram Mozambique itu. Jika sanksi ekonomi kepada Afrika Selatan jadi dilaksanakan, seperti kata Du Plessis, kesempatan mencari pekerjaan akan makin sulit dan nantinya dapat menimbulkan kekacauan serta kerawanan. Namun, mengikuti pengumpulan pendapat yang disiarkan The Sunday Times itu, ternyata, lebih banyak kaum kulit hitam yang tidak setuju sanksi ekonomi itu diberlakukan -- kendati jumlah mereka cuma berselisih tipis dengan mereka yang menyetujuinya. Sayangnya, pengumpulan pendapat tersebut tidak menyajikan alasan-alasan mereka. Yang menarik, 45% kaum kulit putih yang dijadikan responden dalam poll ini ternyata menyatakan ketidaksenangannya terhadap sistem apartheid negara mereka. Bahkan hampir tiga perempat kaum kulit putih yang ditanyai menginginkan agar sistem apartheid dihapuskan dalam jangka waktu sepuluh tahun ini. Kecenderungan ini, dibandingkan dengan hasil poll serupa pada Agustus tahun lalu, memperlihatkan adanya peningkatan yang cukup berarti. Seperti halnya kaum kulit hitam, mereka pun tampaknya ingin hidup tenang. Namun, adakah kaum kulit hitam akan mengusir kaum kulit putih manakala mereka kelak berkuasa? Menurut hasil poll, mayoritas kulit hitam masih membolehkan mereka bermukim. Munculnya Nelson Mandela dan Gatsha Buthelezi, kepala suku Zulu, sebagai calon pemimpin negara kulit hitam Afrika Selatan malah dianggap sebagai pertanda buruk buat sebagian kaum kulit putih. Ada kekhawatiran persaingan di antara kedua tokoh pemimpin tersebut akan membuahkan pertikaian. Sehingga, sang nyonya yang berniat beremigrasi ke Australia sambil membawa Rolls-Roycenya bertanya, "Apakah pembasmian seperti yang dilakukan Hitler kepada orang Yahudi, yang menimpa keluarga suami saya akan terulang, bukan karena agama tetapi karena warna kulit?" Memang, ini sebuah pertanyaan yang sulit dijawab. James R. Lapian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini