KISRUH antara PM Margaret Thatcher dan Ratu Elizabeth belum hilang gemanya ketika sidang puncak Persemakmuran (Commonwealth) dibuka Ahad lalu di London. Kisruh tingkat atas itu ternyata tidak mempengaruhi sikap PM Thatcher. Wanita besi itu tetap menolak sanksi ekonomi hingga memancing amarah Presiden Zambia Kenneth Kaunda. Pada saat hampir bersamaan, pro dan kontra sanksi ekonomi juga melanda AS. Presiden Ronald Reagan, dalam pidatonya yang membuat Uskup Desmond Tutu mengaku mau muntah, menyatakan, "sanksi-sanksi bisa menghancurkan keluwesan Amerika, melumpuhkan kelincahan diplomatik, dan mempertajam pertentangan." Sikap Reagan dikecam keras oleh Komite Luar Negeri Senat Amerika. Senator Richard Lugar dari Indiana memang tidak mendukung sanksi yang menyeluruh, tapi condong pada seperangkat tindakan yang dianggap bisa menekan masyarakat putih Afrika Selatan tapi tidak pula terlalu merugikan mayoritas hitam di sana. Pembekuan simpanan orang putih Afrika Selatan di bank-bank AS, larangan mendarat bagi pesawat mereka di Amerika dan larangan impor baja serta aluminium merupakan sanksi-sanksi yang dianggap efektif. Pihak Persemakmuran sebetulnya sudah lebih dulu membahas tindakan hukuman terhadap pemerintah Pretoria dalam pertemuan di Bahama, Oktober 1985. Waktu itu beberapa tindakan dianggap perlu, misalnya penghentian hubungan udara dengan Afrika Selatan, larangan menanam modal di sana dan juga larangan mengimpor hasil pertanian negeri itu. Tapi menjelang pertemuan puncak tiga hari di London awal pekan ini, enam negara anggota menuntut sanksi menyeluruh. Beberapa jam sebelum sidang, Presiden Kaunda sudah membuat "pemanasan". Lewat sebuah konperensi pers, pendekar Afrika hitam itu mengusulkan pembentukan komite tiga orang, khusus untuk membahas tindakan bersama. Ditekankannya Inggris tidak berhak duduk dalam komite karena PM Thatcher tetap menolak sanksi ekonomi menyeluruh. Dan PM Inggris itu -- berkat dukungan penuh kabinetnya -- tetap menolak sanksi semacam itu selama sidang berlangsung. Menurut PM Australia Robert Hawke, tidak ada tanda-tanda bahwa Thatcher akan menyerah pada tekanan enam negara lainnya (India, Kanada, Australia, Bahama, Zimbabwe, dan Zambia). Sekalipun begitu, seperti dikatakan Hawke, "Kami tidak akan menunggu sampai September. Saya kira keputusan harus dibuat sekarang juga." Mengapa September? Pada saat itu akan berlangsung konperensi para Menlu MEE (Masyarakat Ekonomi Eropa) yang juga direncanakan membahas politik apartheid Pretoria. Organisasi ini sebelumnya sudah mempertimbangkan sanksi terbatas berupa larangan impor batu bara, besi, dan baja dari Afrika Selatan. Rencana itu tentu akan dimatangkan lagi nanti, sementara bukan tidak mungkin, jika pertemuan puncak Persemakmuran di London gagal, mereka akan mengadakan sidang lengkap, secepatnya. Enam negara pro sanksi itu menilai, seperti yang dikatakan ketua sidang PM Bahama Lynden Pindling, rezim Botha sama sekali tidak menunjukkan adanya niat untuk mengakhiri apartheid. Karena itu, mereka sepakat memantapkan sanksi ekonomi yang sudah diputuskan di Bahama tahun lalu. Lagi pula, dari pendekatan yang dilancarkan Kelompok Pribadi Terkemuka pimpinan bekas PM Australia Malcolm Fraser, jelas diketahui bahwa Botha menolak mentah-mentah untuk berunding dengan para pemimpin hitam. Sekalipun begitu, sebelum sanksi ekonomi benar-benar diberlakukan, Kenneth Kaunda berpendapat alangkah baiknya jika tindakan sanksi itu dikoordinasikan bersama antara Persemakmuran, MEE, AS, dan Jepang. Ini tentu dimaksudkan agar sanksi ekonomi itu efektif, yang berarti dapat memaksakan perubahan secara damai, dan bukan sebaliknya. Isma Sawitri Laporan Reuter
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini