Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Seorang warga negara Indonesia (WNI) bernama Ilham Fajrian, termasuk salah satu korban tindak pidana perdagangan orang atau TPPO di Myanmar. Ia mengaku tak menyangka akhirnya bisa dibebaskan dan berhasil pulang ke Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dilansir dari Antara, lelaki asal Jakarta ini menceritakan awalnya menjadi korban TPPO. Ilham mengaku pertama kali mendapat informasi lowongan bekerja di luar negeri dari media sosial Facebook. Lowongan itu menawarkan pekerjaan sebagai pelayan administrasi di sebuah restoran di Maesot, Thailand.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Ilham, ia kesulitan mencari pekerjaan di dalam negeri. Ia pun tergiur dengan tawaran yang menjanjikan gaji besar, fasilitas memadai, dan tempat kerja nyaman di Thailand. Setelah mendaftarkan dan menjalin kontak dengan staf administrasi untuk lowongan itu, Ilham diminta untuk menghubungi hingga empat staf administrasi lainnya via Telegram.
"Setelah saya berhubungan dengan empat admin itu, saya diberikan seperti tawaran gaji besar, fasilitas memadai, tempat kerja enak, lingkungan kerja yang sehat. Pokoknya semua hal yang dijelaskan itu positif semua sehingga saya tergiur datang ke Thailand untuk bekerja secara ilegal," ujarnya.
Ke Perbatasan Thailand Melalui Jalan Darat
Ilham berangkat ke Thailand bersama 11 orang lainnya dari berbagai daerah. Salah satu di antaranya adalah sepupunya. Mereka berangkat dari Bandara Soekarno Hatta, Cengkareng pada 11 Agustus 2024 menuju Bangkok.
Dari Bangkok, mereka menggunakan mobil melakukan perjalanan darat selama 6-7 jam ke Maesot. Saat sampai di Maesot, Ilham mulai mengaku bingung karena di daerah tersebut tidak terdapat gedung-gedung tinggi. Daerah itu seperti di pelosok, tidak ramai, dan sebagian besar adalah wilayah hutan.
"Di situ kami masih mencoba berpikir positif, mungkin karena ini kotanya belum terlalu berkembang, belum terlalu maju, makanya mereka butuh pekerja migran dari luar negeri," kata Ilham.
Dari Maesot, mereka kembali berganti mobil menuju wilayah perumahan. Mereka sempat disembunyikan di sebuah kandang sapi. "Jadi, mobil itu masuk kandang sapi, mereka tutup gerbang. Setelah itu, supir dan temannya itu yang duduk di depan. Mereka menelpon orang selama 2 atau 3 menit. Setelah itu mereka masuk kembali masuk ke mobil lagi," kata Ilham.
Setelah itu, Ilham bersama teman-temannya dibawa ke kebun jeruk yang terdapat sungai-sungai kecil di sekitarnya. Sampai di kebun itu, mereka menggunakan sampan kecil untuk menyeberangi sungai hingga akhirnya mereka melihat banyak tentara.
"Tapi, kami belum tahu kalau itu tentara pemberontak atau tentara apa. Ada banyak tentara membawa senjata laras panjang. Ada 10 atau 15 tentara seperti mengawal dan memperhatikan kami menyeberangi sungai itu. Setelah kami nyeberang, kami dibawa masuk lagi ke dalam mobil," kata Ilham.
Setelah memasuki beberapa mobil baru yang berbeda, mereka melanjutkan perjalanan dengan diikuti oleh satu mobil yang membawa tentara, melalui daerah lembah dan pegunungan hingga tiba di perusahaan tempat mereka akan diperkerjakan.
Terlibat Love Scam, Ditarget Rp 3,3 M Per Tahun
Sesampai di perusahaan, Ilham dan teman-temannya diperiksa dan alat komunikasi mereka disita. "Tapi, ada beberapa teman yang berhasil menyembunyikan ponselnya. Sedangkan saya, ponselnya dirampas dan tidak dikembalikan sampai sekarang," kata Ilham.
Setelah melalui pemeriksaan, Ilham dan teman-temannya dipaksa menandatangani kontrak untuk bekerja selama 14 jam per hari dalam kurun waktu 1 tahun 6 bulan dengan target pendapatan bagi hasil dengan perusahaan hingga US$ 200.000 atau sekitar sekitar Rp 3,3 miliar.
"Jika tidak mencapai US$ 200.000 AS per 1 tahun 6 bulan, maka kontraknya akan diulang sampai kami bisa menyentuh angka US$ 200.000," kata Ilham.
Ilham mengaku sempat menolak perjanjian kontrak tersebut. Tapi, pimpinan perusahaan itu lantas mengancam akan memperlakukan mereka dengan tidak baik jika tidak menandatangani kontrak. Ilham dan teman-temannya terpaksa meneken kontrak.
Setelah bekerja, Ilham dan teman-temannya dipaksa menipu orang-orang dari negara-negara seperti Rusia, Turki, dan lainnya melalui love scamming. "Jadi, kami membuat orang-orang ini jatuh cinta kepada model yang kami pekerjakan. Setelah itu, kami menguras uang mereka, menipu mereka dengan tautan online yang kami berikan," katanya.
Dipukul dan Disetrum Hampir Setiap Hari
Ilham dan teman-temannya juga dipaksa bekerja lebih dari 14 jam per hari. Mereka mendapat siksaan dipukul, disetrum, hingga dimasukkan ke dalam penjara hitam, sebuah ruangan gelap. Mereka tidak diberi makan sampai berhari-hari jika tidak mencapai target performa yang diminta perusahaan.
"Setelah keluar dari penjara itu, kami tidak istirahat, kami harus bekerja lagi. Bekerja sampai selesai jam kerja, setelah itu baru kami bisa istirahat," kata Ilham.
Berhasil Telepon Keluarga hingga Dibebaskan
Ilham berhasil menghubungi keluarganya menggunakan telepon genggam milik temannya. Rudiyanto, sang ayah, akhirnya melaporka kasus Ilham kepada Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Bangkok, Thailand.
"Saya meminta anak saya untuk membagikan lokasinya. Setelah mendapatkan lokasi, kami belum tahu mereka berada di mana. Hanya menyebutkan ada di perbatasan Thailand, entah itu di Kamboja atau Vietnam," ujar Rudiyanto.
Setelah mengirim lokasi Ilham ke KBRI Thailand, barulah ada jawaban bahwa mereka berada di daerah Myawaddy, Myanmar. Situasinya rumit untuk bisa mengevakuasi mereka karena di daerah konflik.
"Jangankan pihak KBRI, pemerintah resmi Myanmar pun tidak bisa masuk ke sana," kata Rudiyanto. Ia mengutip keterangan yang disampaikan KBRI terkait upaya pemerintah untuk mengeluarkan para korban TPPO dari daerah tersebut.
Direktur Pelindungan WNI dan BHI Kemlu RI Judha Nugraha dalam keterangannya pada 6 Maret menyatakan bahwa untuk memulangkan para WNI, Kemlu melakukan koordinasi intensif dengan otoritas Thailand yang menjadi negara transit. Koordinasi juga dilakukan dengan otoritas Myanmar untuk memastikan tidak ada lagi WNI yang masih terjebak di Myawaddy.