Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Darah dan Puing di Jalan Lenin

Bentrokan etnis Kirgis dan Uzbek menelan korban jiwa 700 orang dan ribuan luka-luka. Presiden Roza Otunbayeva meminta bantuan dari Amerika dan Rusia.

21 Juni 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JALAN utama yang menghubungkan Osh dengan lumbung beras di Lembah Fergana itu tampak lengang. Tadinya kota ini adalah kota tersibuk kedua setelah Ibu Kota Bishkek. Universitas Persahabatan Rakyat (People’s Friendship) yang menjadi simbol persatuan dua etnis besar di kota itu tak tampak lagi bentuknya.

Di seberangnya, televisi komunitas yang biasa jadi tempat kongko warga Uzbekistan dan Kirgistan cuma tersisa kubah dan menara antenanya. Kafe dan toko tempat kedua etnis ini bertransaksi lenyap. Tujuh blok rumah di deretan toko itu hangus. Sebatang pohon besar ditumbangkan untuk memblokade jalan, melindungi etnis Uzbekistan dari geng-geng warga Kirgistan.

Warga etnis Uzbek yang berdiam di sisi yang lebih dekat ke perbatasan Uzbekistan mengungsi ke Tashkent, negeri asal etnis itu. Perempuan, anak-anak, dan orang tua, yang ratusan jumlahnya, mesti berbagi tenda, air bersih, dan makanan.

Pemandangan ini merupakan sisa pertempuran empat hari di Osh, kota perbatasan antara Kirgistan dan Uzbekistan. Keduanya adalah bekas negeri di bawah Uni Soviet. Di Kirgistan Selatan itu, bentrokan di antara kedua etnis berkobar setelah beberapa kelompok etnis Kirgistan menyerang kota tersebut.

Sejak Kurmanbek Bakiyev, presiden negeri itu, dijungkalkan oleh pemerintahan sekarang, April lalu, situasi politik Kirgistan belum juga stabil. Bakiyev, yang menguasai daerah Kirgistan Selatan, mengungsi ke Belarusia. Sejak lepas dari Uni Soviet yang bubar pada 1991, negeri-negeri di Asia Tengah itu—termasuk Uzbekistan, Tajikistan, dan Kazakstan—tak pernah lepas dari ”perang saudara”.

Sebelumnya, dalam operasi Revolusi Tulip, Presiden Askar Akayev ditumbangkan pada 2005. Akayev adalah seorang ilmuwan dan satu-satunya presiden yang bukan orang anggota Politbiro—Partai Komunis Rusia. Dia kembali ke Rusia menjadi ilmuwan.

Presiden ad interim Roza Otunbayeva menuding Bakiyev yang menjadi dalang bentrok berdarah ini. Roza menuding Janybek Bakiyev, kakak sang bekas presiden, yang menggalang serangan ini. Bakiyev yang dituduh ingin kembali berkuasa di Kirgistan membantah. Daerah selatan itu tak pernah bisa dikuasai Roza dan pemerintahannya. Kekuatan pro-Bakiyev masih bercokol di sini, di antaranya menjelma menjadi geng etnis Kirgistan.

Pada April lalu, Bakiyev, yang tadinya didukung 83 persen mayoritas kekuatan politik negeri itu, dijungkalkan oleh lawan-lawan politiknya. Roza muncul sebagai penyelamat untuk meredakan ketegangan politik. Dia berjanji menggelar pemilihan umum lima bulan sejak April lalu, atau Oktober mendatang. Tapi, dengan kondisi terakhir di wilayah selatan yang belum stabil, Roza sudah menyatakan meninjau ulang janjinya.

l l l

Percakapan itu berlangsung Kamis pagi pekan lalu. Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Clinton berbicara dengan Roza lewat sambungan telepon. Kedua pemimpin perempuan itu berbicara hampir setengah jam, mendiskusikan cara meredam krisis politik di negeri itu. Setelah menutup telepon, Clinton memerintahkan asistennya, Robert Blake, terbang ke Bishkek. Misi Blake membantu Roza mengembalikan stabilitas politik negeri itu.

Sebelumnya, Roza juga menelepon Presiden Rusia Dmitry Medvedev. Dia meminta bantuan Rusia mengatasi krisis politik negeri yang dekat dengan Afganistan itu. Tapi permintaan tersebut ditolak. Medvedev cuma mau memberikan bantuan kemanusiaan. Rusia menilai bentrok etnis itu merupakan urusan dalam negeri Kirgistan.

Bisa dimaklumi bila Roza meminta bantuan kepada Rusia. Jejak negara bekas adidaya itu masih terlihat di sana hingga akhir 1990-an. Tanpa pasukan Rusia yang diterjunkan di sana, mustahil Asia Tengah bisa berbagi wilayah dengan damai. Pangkalan Rusia, tempat Uni Soviet mendaratkan pasukan untuk menggempur Afganistan pada perang dingin, juga masih ada di tenggara negeri itu.

Penolakan Rusia sebetulnya didasari penilaian bahwa Roza merupakan kaki tangan Amerika. Perempuan politikus itu memang kental dalam urusan penegakan demokrasi dan segala hal yang berbau Amerika. Lantaran dekat dengan Amerika pula, Rusia membiarkan Bakiyev terjungkal pada April lalu. Bakiyev diketahui menyediakan lahan dekat pangkalan Rusia, untuk pangkalan udara Abang Sam. Inilah markas Amerika untuk menggempur Taliban di Afganistan.

Setahun sebelum Bakiyev tumbang, kampanye anti-Bakiyev sudah beredar di media massa Rusia. Berbagai skandal korupsinya dibuka, termasuk koneksi dengan Pentagon yang meminta pangkalan udara. Akhirnya, sang anak, Maxim, yang selama ini menjadi operator Bakiyev, ditangkap di Inggris lantaran skandal itu.

Roza yang tampil setelah Bakiyev tumbang ternyata lebih ”Barat” dibanding pendahulunya. Hal itulah yang membuat Moskow berpikir ulang untuk membantu negeri itu. Roza berjanji akan lebih demokratis memerintah Kirgistan dan akan menggelar referendum konstitusi pada 27 Juni. Kekacauan di Asia Tengah, termasuk Afganistan, biasanya memang merupakan bagian dari perebutan pengaruh kedua negara besar itu sejak era perang dingin.

”Para politikus sadar, mereka tak bisa mengendalikan daerah selatan yang dihuni etnis selain Kirgistan—ada Uzbekistan dan Tajikistan,” ujar analis politik Dosym Satpayev. Kekacauan yang tak pernah berakhir ini ada kemungkinan akan membuat wilayah negeri itu menyusut. Negara tetangga akan ikut campur karena menyangkut etnisnya. Ikatan agama yang sama terbukti kurang berpengaruh mendamaikan mereka.

Berbagai bantuan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, Amerika, dan Rusia, sekarang sudah mengarah ke Tashkent, Uzbekistan. Tapi kegelisahan masih hinggap di benak etnis Uzbek lantaran mereka tak bisa lagi kembali ke daerah mereka. Sebelum Bakiyev berkuasa, etnis Uzbekistan mendominasi wilayah Osh. Namun kebijakan Bakiyev yang mengirim transmigran dari etnis Kirgistan ke Osh membuat ketegangan antaretnis muncul.

Tak cuma Abang Sam, PBB juga paham rawannya konflik politik di negeri itu. Clinton mesti mengutus diplomat seniornya ke sana untuk memahami kemungkinan berkembangnya konflik lebih besar dan mengakomodasi kekuatan di sana. Amerika terutama berkepentingan agar kelompok militan Islam yang berbasis di Afganistan tidak menyusup ke sana.

Soal terakhir ini pula yang dikhawatirkan PBB. ”Ada ancaman di Fergana, dan secara umum di Asia Tengah, karena ini perbatasan dengan Afganistan,” ujar Utusan Khusus PBB, Miroslav Jenca. ”Banyak organisasi ekstremis. Di tengah kerawanan, ini situasi yang menguntungkan bagi kaum militan. Amunisi yang baik buat mereka untuk melaksanakan rencana dan memperluas pengaruh.”

Kendati terdesak di Afganistan, Taliban masih bisa menyusup untuk memperluas pengaruhnya.

l l l

Dugaan itu dilontarkan Robert Colville, juru bicara Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia PBB. Dia menyatakan bentrok berdarah pekan lalu sudah diorganisasi. ”Kami punya staf, informan bawah tanah, lembaga swadaya masyarakat, dan wartawan lokal yang memberikan informasi serupa tentang adanya provokasi. Ini bukan bentrok yang spontan.”

Seorang pemuda etnis Kirgis bersaksi, dia datang ke Osh untuk membantu saudara-saudaranya memerangi etnis Uzbek. ”Saya mendengar para perempuan Kirgis diserang orang Uzbek.” Konflik meluas dengan cepat, dari Osh ke Jalalabad dan sekitarnya di Kirgistan Selatan.

Saksi lain menyatakan, dari Bishkek dia menuju Osh untuk membantu etnisnya, Kirgis, yang diserang Uzbek. Dia bergabung dengan konvoi mobil dan van menuju Omon, bagian Osh yang kini dalam penguasaan polisi. Pengangguran berusia 24 tahun itu nekat, karena ingin menyelamatkan kerabatnya di Omon. ”Saya mendengar mereka memerkosa perempuan Kirgis di asrama sekolah.” Ketika sampai di sana, ”Saya tinggal melihat mayat-mayat mereka.”

Dia menolak menyebut nama pemimpin konvoi itu, tapi dia menyebut senjata dijanjikan oleh seorang warga Soviet berusia 50 yang berperang di Afganistan. ”Dia membantu warga Kirgis yang sedang marah.” Pemuda itu tak tahu persis apakah tembakan yang dilepaskannya membunuh orang-orang Uzbek. ”Kalau Anda jadi saya, adik perempuan Anda diperkosa dan dibunuh, bahkan hanya dengan pisau pun Anda akan mencari pelakunya. Kami orang Kirgis, ksatria perang. Itu ada dalam darah kami.”

Tak semua warga Uzbek lari ke Tashkent. Masih ada beberapa orang yang bahu-membahu dengan warga Kirgis menyalurkan bantuan ke Tashkent. Mereka membawa minyak sayur, tepung, dan mi untuk bahan masakan. ”Ini pertama kalinya kami berani ke luar rumah,” kata seorang warga yang sedang menyiapkan bantuan di Jalan Lenin, Kota Osh. Di tempat itulah bentrok berdarah bermula dan baru berakhir empat hari kemudian.

Yophiandi (Time, Washington Post, Telegraph, Independent)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus