Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kapal trawler bernama Lu Yan Yuan Yu 010 itu mula-mula dideteksi sedang mengarungi perairan Puerto Madryn, sekitar 1.300 kilometer di selatan Buenos Aires. Ketika penjaga pantai Argentina memintanya berhenti, kapal itu berusaha melarikan diri, memasuki kawasan internasional. Kapal berbendera Cina itu sempat bermanuver sedemikian rupa, berupaya menabrak kapal yang memburunya. Pengejarnya pun melepaskan tembakan, diarahkan ke beberapa bagian kapal. "Sang kapten tak mematikan mesin sampai kapal mulai tenggelam," kata seorang pejabat penjaga pantai Argentina.
Keterangan resmi penjaga pantai menyebutkan mereka berhasil menyelamatkan empat awak trawler itu. Sebagian awak lain, sebanyak 28 orang, yang juga meninggalkan kapal, ditolong oleh satu lagi kapal Cina; kapal ini hanya membayangi ketika pengejaran sedang berlangsung.
Para pejabat di Kedutaan Besar Cina untuk Argentina, yang dimintai keterangan mengenai kejadian pada 15 Maret lalu itu, menolak berkomentar. Mereka beralasan penyelidikan masih berjalan.
Sebenarnya, pada bulan yang sama, peristiwa di pantai Argentina itu bukan satu-satunya konfrontasi antara kapal penangkap ikan Cina dan kapal penjaga pantai negara yang batas wilayahnya dilanggar. Ketegangan terjadi pula di kawasan Natuna, wilayah Indonesia, empat hari kemudian. Di sini berhadapan kapal patroli Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dengan kapal penangkap ikan Cina bernama Kway Fey 10078, yang dikawal kapal penjaga wilayah Cina.
Kapal Cina itu sempat dikejar dan diberhentikan setelah terjadi tabrakan. Dengan pengawalan awak kapal KKP, kapal itu sempat hendak ditarik ke Natuna. Tapi lalu muncul kapal penjaga pantai Cina, yang merangsek dan menabrak kapal penangkap ikan itu sehingga tak dapat ditarik. Kapal itu lalu ditinggalkan.
Sepanjang beberapa tahun terakhir, jumlah insiden dengan kapal penangkap ikan Cina memang meningkat. Insiden-insiden itu terjadi tak hanya di perairan yang menjadi obyek sengketa di Laut Cina Selatan dan Laut Cina Timur, tapi juga di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di negara-negara lain dan perairan internasional. Kapal-kapal penangkap ikan Cina berlayar hingga ke Afrika dan Amerika Selatan.
Semua itu bukan satu kebetulan. Yang berada di balik berbagai kejadian itu sebenarnya adalah adanya pergeseran mendasar di sektor perikanan laut Cina: dari penangkapan ikan di perairan pantai ke perairan laut lepas dan ekspansi kegiatan penangkapan ikan jarak jauh atau distant water fishing (DWF). Pada 1985, hanya ada puluhan kapal kecil yang secara rutin menangkap ikan di dekat Kepulauan Spratly. Tapi pada 2013 sudah ada 700 kapal. Sama halnya, armada DWF Cina meningkat dari 13 kapal pada 1985 menjadi 2.460 kapal pada 2014.
Semua itu terdorong oleh satu hal: Cina menghadapi krisis suplai ikan yang disebabkan oleh sektor perikanannya yang ambruk akibat penangkapan di laut yang berlebihan.
Sebuah artikel di World Politics Review, yang terbit pada 19 Februari 2015, menyebutkan, dengan kondisi industri perikanan yang merosot itu, tingkat konsumsi ikannya terus melonjak. Berdasarkan data Euromonitor International pada 2014, volume konsumsi ikan segar dan makanan laut Cina terus meningkat sejak 2008, mencapai 36,6 juta ton pada 2013 (38 persen dari produksi ikan di seluruh dunia). Ini hasil dari laju pertumbuhan konsumsi 4,6 persen per tahun. Diperkirakan pada 2018 volume konsumsi bakal menembus 48 juta ton.
Beberapa negara sebenarnya mengalami hal yang sama. Tapi tak semuanya menempuh jalan keluar seperti Cina: untuk memenuhi permintaan itu, Cina sengaja membangun armada penangkapan ikan di perairan jauh terbesar di dunia, yang mayoritas disubsidi habis-habisan oleh negara.
Campur tangan negara itu berarti, seperti dikemukakan Larry M. Elkin, yang menulis di Palisades Hudson pada 28 Maret lalu, sangat jelas betapa nelayan-nelayan Cina yang mengabaikan aturan internasional itu bukan hanya para pelanggar hukum, yang berusaha mendapatkan untung. Banyak dari mereka adalah pegawai pemerintah. Serbuan para nelayan itu sama sekali bukan insiden yang tak terkait satu dengan yang lain; semuanya merupakan cerminan dari kebijakan negara.
Dengan lebih dari 2.000 kapal, armada DWF Cina merupakan yang terbesar di dunia. Sebuah studi oleh Parlemen Eropa memperkirakan antara 2000 dan 2001 nelayan Cina menguras 4,6 juta ton ikan per tahun. Bagian terbesar dari ikan-ikan itu berasal dari perairan Afrika, disusul dari perairan Asia, lalu sebagian kecil dari Amerika Tengah dan Selatan serta Antartika.
Kepada VOA News, pertengahan tahun lalu Peter Jennings, Direktur Eksekutif Australian Strategic Policy Institute, menjelaskan, dengan wilayah penangkapan ikan yang meluas, Cina jadi punya kesempatan mewujudkan kehadiran yang signifikan di kawasan yang dalam jangka panjang terhitung strategis. "Saya kira ini semacam pendekatan pragmatis tak hanya terhadap sumber daya kelautan, tapi juga kapasitas untuk menempatkan Cina pada peluang ekstraksi sumber daya dari benua Antartika di masa depan," ucap bekas pejabat senior Departemen Pertahanan Australia ini.
Ketika itu, sebulan sebelumnya, sebuah perusahaan Cina baru saja mengumumkan akan memperluas operasi penangkapan ikannya ke Antartika untuk menjaring lebih banyak udang geragau. Pengumuman ini menyusul pembukaan stasiun riset keempat Cina serta investasi negara itu untuk pengadaan pesawat pemecah es dan helikopter di Antartika.
Penyusupan, juga pencurian di wilayah negara lain oleh armada Cina, terjadi di banyak tempat. Menjelang akhir Maret lalu, Malaysia mengungkapkan ada sekitar 100 kapal Cina yang dideteksi menyusup ke wilayahnya. Shahidan Kassim, menteri di kantor perdana menteri yang berurusan dengan keamanan, mengatakan kepada kantor berita Bernama bahwa tindakan tegas akan dilakukan jika kapal-kapal itu tertangkap basah memasuki ZEE.
Menurut catatan Larry Elkin, yang benar-benar berani bertindak seperti yang diancamkan itu sejauh ini tak banyak. Di kawasan Asia Tenggara, selain Indonesia, hanya Vietnam dan Filipina--dua negara ini merupakan seteru Cina dalam sengketa wilayah di Laut Selatan. Di luar itu baru bisa disebut Korea Selatan, Jepang, dan Rusia.
Masalahnya, kecuali Jepang dan Rusia, negara-negara seperti Argentina, Filipina, Indonesia, Malaysia, dan Vietnam sangat diragukan bakal sanggup berhadapan langsung dengan Cina, terutama secara militer. Menurut Elkin, jika masyarakat internasional hendak membendung agresi kapal penangkap ikan Cina, yang dibutuhkan adalah tindakan dengan basis yang luas. Negara-negara yang merasa dirugikan mesti bersatu. Tapi, untuk itu, "Diperlukan kepemimpinan yang kuat," ujarnya.
Elkin menunjuk Amerika Serikat, tapi menurut dia hal ini tergantung siapa yang bakal terpilih dalam pemilihan umum presiden pada November nanti.
Purwanto Setiadi (BBC, Foreign Policy, Philippine Star, VOA News, World Politics Review)
Di Mana Kapal Ikan Cina
Perkiraan tangkapan rata-rata per tahun menurut kawasan, dalam metrik ton*
Afrika Barat
64% dari total
Asia (di luar Jepang, Korea Selatan)
21%
Lainnya
15%
Amerika Tengah dan Selatan
182.000 Ton US$ 44 Juta
Afrika Barat
2,9 JUTA TON
US$ 7,15 MILIAR
Antartika
48.000 TON
US$ 7,8 JUTA
Asia (tak termasuk Jepang dan Korea Selatan)
948.000 TON
US$ 2,45 MILIAR
Afrika Timur
181.000 TON
US$ 20,5 JUTA
Korea Selatan, Jepang
106.000 TON
US$ 22 JUTA
Oseania
198.000 TON
US$ 71,2 JUTA
Sumber: PEW charitable Trust, laporan di literatur sains dan laporan media yang dihimpun proyek Sea Around Us
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo