Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia datang, mengokang senjata laras panjangnya, membidik batok kepala seorang Palestina yang tergeletak di aspal jalan di daerah El Rumeida, Hebron, kemudian... jadi pahlawan. Sebutir peluru yang ditembakkannya dari jarak tiga meter itu meremukkan kepala pemuda yang sebelumnya telah menikam-melukai seorang tentara Israel yang berpatroli di El Rumeida yang sepi itu dengan sebilah pisau.
Ada video rekaman seorang Palestina yang tinggal di sebuah apartemen dekat tempat kejadian pada akhir Maret lalu itu yang lantas dirilis kelompok hak asasi B'Tselem. Video ini menunjukkan betapa tim paramedis yang didatangkan lebih sibuk dengan tentara yang terluka ringan. Tidak ada yang peduli pada penyerang yang perlahan-lahan masih dapat menggerakkan kepala itu, sampai akhirnya eksekusi berdarah dingin tadi membuat tubuh itu tak bergerak lagi, dan mereka saling pandang.
Hasil investigasi militer Israel (IDF) pekan lalu menunjukkan bahwa jiwa sang serdadu—hingga saat ini namanya masih dirahasiakan—tidak sedang terancam ketika menarik pelatuk senapan. Abdel Fatah al Sharif, 21 tahun, yang telah ditembak kaki, lengan, tangan, kepala, dan dadanya, tak berdaya untuk menyerang lagi. Dalih bahwa Al Sharif mengenakan sabuk yang dipasangi bom juga dinilai terlalu mengada-ada. Serdadu pengeksekusi tersebut baru datang enam menit setelah Al Sharif dilumpuhkan oleh rekan-rekannya. Jika benar Al Sharif memakai sabuk itu, tentu ia sudah meledakkan diri sebelum kedatangan sang serdadu.
"Ini mengerikan, tak bermoral, tindakan yang tidak bisa dibenarkan, hanya akan mengobarkan kekerasan lebih lanjut dan memperkeruh situasi yang sudah rentan," kata Nickolay Mladenov, koordinator khusus Timur Tengah Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Apa yang menimpa Al Sharif itu dikenal dengan istilah pembunuhan di luar hukum. Tak sedikit serdadu Israel yang terlibat dalam tindakan serupa tapi tak banyak yang mendapat sanksi hukum yang sepadan.
Menurut Sekretaris Jenderal Organisasi Pembebasan Palestina, Saeb Erakat, tahun lalu terdapat 207 kasus pembunuhan di luar hukum di Tepi Barat. "Rangkaian eksekusi ini bukan kejadian yang berdiri sendiri. Israel harus bertanggung jawab atas terjadinya kejahatan ini," kata Saib Erakat, mewakili orang-orang Palestina yang menuntut keadilan di Tepi Barat. Palestina menuntut PBB melakukan investigasi terbuka atas kejadian ini.
Serdadu "tanpa nama" itu kini meringkuk dalam tahanan IDF tapi dapat merasakan bahwa dunia di sekelilingnya yang didominasi kelompok sayap kanan bergerak menyokongnya. Halaman Facebook tentara berusia 19 tahun itu memperlihatkan bahwa ia mempunyai hubungan istimewa dengan kelompok garis keras Yahudi. Sebuah video menunjukkan beberapa menit setelah eksekusi tapi sebelum ditahan polisi Israel, ia berjabat tangan dengan Baruch Marzel, aktivis sayap kanan radikal yang tinggal di Hebron.
Sebuah jajak pendapat yang diadakan saluran televisi Israel, Channel 2, menunjukkan 57 persen penduduk Israel menentang penahanannya. Sedangkan 42 persen justru menyimpulkan tindakannya merupakan wujud "tanggung jawab" seorang tentara yang menjalankan tugas. Hanya 5 persen yang beranggapan bahwa tindakan itu tak lebih dari pembunuhan. Ya, mayoritas warga Israel menunjukkan dukungan, dan dalam tempo singkat Menteri Pertahanan Moshe Ya'alon yang menganggap serdadu itu telah menyalahi prosedur dan pantas dihukum itu tiba-tiba menjadi "musuh bersama".
Dukungan publik melambung secara menakjubkan, sedangkan ancaman hukuman yang dihadapi serdadu itu semakin ringan. Melihat hasil rekaman video di atas, para pengamat awalnya memperkirakan ia dapat dikenai pasal "pembunuhan". Dalam perkembangannya, hakim kemudian memutuskan menggunakan pasal "pembunuhan tak disengaja".
Semenjak Benjamin Netanyahu berkuasa kembali sebagai perdana menteri pada 2015, ada kecenderungan kelompok-kelompok ekstrem kanan mengambil alih hukum dari tangan negara dan aparat keamanan. Pembunuhan di luar hukum yang menimbulkan kekhawatiran di antara para pimpinan militer justru mendapat sambutan hangat dari kalangan garis keras. Dalam artikelnya di surat kabar Haaretz, kolumnis Ben Caspit melukiskan pengaruh radikal ini di antara para serdadu yang melakukan patroli di daerah-daerah yang banyak dihuni orang Palestina.
"Sebagian patuh terhadap hukum, nilai-nilai moral, dan instruksi atasan. Sedang sebagian lain terdiri atas kalangan yang lebih berorientasi pada penguasaan Yudea dan Samaria. Mereka bercampur-baur dengan para pemukim Yahudi dan menjadi mirip milisi, tak sepenuhnya bisa dikontrol," katanya mengenai kondisi serdadu Israel dewasa ini. Yudea dan Samaria adalah istilah Alkitab untuk sebuah wilayah luas yang meliputi Tepi Barat Sungai Yordan.
Dari investigasi yang masih berlangsung terhadap serdadu tanpa nama di atas, pendapat Caspit seperti mendapat pembenaran. Menghadirkan saksi-saksi, para penyidik militer acap mendengar ungkapan yang semakin populer di antara para serdadu Israel: "Mereka yang menyerang kita pantas menemui kematiannya."
Al Sharif yang sudah tiada dan serdadu tanpa nama yang masih menjalani pemeriksaan dan menunggu vonis sama-sama merupakan bagian dari benturan Israel-Palestina yang lebih besar. Harian Haaretz mengakui serangan-serangan dari warga Palestina belakangan ini terbilang unik karena tanpa sel-sel organisasi yang berada di belakangnya.
Media ini menyebutnya "teror individual", orang-orang seperti bangkit bersama, mengorganisasi diri di tengah ancaman pemukim Israel dan vakumnya kepemimpinan Palestina. Meski merupakan tindakan individual, kejadiannya yang susul-menyusul membuat konfrontasi bisa meluas dan mengarah ke "intifada ketiga".
Jelas, pembunuhan berdarah dingin yang terjadi di Distrik El Rumeida, Hebron, merupakan bagian dari eskalasi konflik di daerah pendudukan Israel. Dan meluasnya pengaruh kalangan ekstrem kanan di antara masyarakat dan tubuh militer Israel seakan-akan menegaskan bahwa kekerasan merupakan satu-satunya jalan untuk menyelesaikan konflik yang pecah semenjak 1948 itu. "Mungkin kelak kita harus mengakui sebuah realitas baru bahwa 'intifada ketiga' sedang berlangsung," tulis Haaretz.
Idrus F. Shahab (Reuters, Al-Jazeera, Jerusalem Post, AFP)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo