Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - 16 September 2020, menteri luar negeri Bahrain dan Uni Emirat Arab berdiri di kedua sisi Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk menandatangani Kesepakatan Abraham empat tahun yang lalu. Ketika itu, keempat orang tersebut - dan pemerintah mereka - membayangkan sebuah era yang terus berkembang antara Israel dan dunia Arab.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kita berada di sini sore ini untuk mengubah arah sejarah," kata Trump berseri-seri dari balkon yang menghadap ke South Lawn. "Setelah beberapa dekade perpecahan dan konflik, kita menandai fajar Timur Tengah yang baru."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seperti dilansir Times of Israel, Netanyahu saat itu mengatakan bahwa momentum perdamaian yang baru ini dapat mengakhiri konflik Arab-Israel "untuk selamanya".
Dalam kesempatan yang sama, Menteri Luar Negeri UEA Abdullah bin Zayed memperkirakan bahwa "gema perjanjian ini akan tercermin di seluruh kawasan."
"Sudah terlalu lama, Timur Tengah telah mengalami kemunduran akibat konflik dan ketidakpercayaan, menyebabkan kehancuran yang tak terhitung jumlahnya" dan menggagalkan harapan "yang termuda dan paling cemerlang" di kawasan ini," keluh Menteri Luar Negeri Bahrain, Abdullatif al-Zayani, saat itu. "Sekarang saya yakin kita bisa mengubahnya."
Perjanjian normalisasi hubungan dengan Israel kemudian diikuti oleh Maroko dan Sudah, beberapa bulan kemudian.
Peringatan Empat Tahun
Empat tahun kemudian, Israel, Minggu, 15 September 2024, merayakan ulang tahun keempat Kesepakatan Abraham. Terlepas dari perang Israel di Gaza dan serangan di Tepi Barat, serta kekhawatiran akan konflik yang lebih luas dengan Iran dan kelompok Hizbullah Lebanon, Menteri Luar Negeri Israel, Israel Katz, mengklaim di platform media sosial X bahwa perjanjian-perjanjian tersebut telah mengarah pada perdamaian.
"Israel berkomitmen untuk memperluas lingkaran perdamaian dengan negara-negara lain di kawasan ini," kata Katz pada Minggu, seperti yang dilaporkan oleh Times of Israel. "Hari ini, kita menandai empat tahun sejak Perjanjian Abraham, perjanjian bersejarah yang mencerminkan takdir bersama dan telah mengubah Timur Tengah secara positif secara politik, keamanan, ekonomi, sosial dan pendidikan."
Katz mengklaim bahwa Perjanjian Abraham telah membuat perdamaian di wilayah tersebut menjadi kenyataan. "Mereka telah menghancurkan ilusi historis bahwa perdamaian dan kemakmuran di Timur Tengah hanya mungkin terjadi dalam kondisi tertentu, dan membuktikan bahwa visi bersama dan kerja sama adalah jalan menuju masa depan yang lebih baik."
Mengabaikan bukti-bukti yang bertentangan, dia menegaskan bahwa, "Terlepas dari banyaknya tantangan yang kita hadapi sekarang, dan di masa depan, Israel akan selalu berkomitmen untuk bekerja sama dengan mitra-mitra regionalnya, dengan harapan dapat merealisasikan nilai-nilai Perjanjian Abraham, dan memperluas lingkaran perdamaian ke lebih banyak negara."
Tanggapan Uni Emirat Arab
Menteri Luar Negeri UEA Sheikh Abdullah Bin Zayed Al-Nahyan, sementara itu, mengatakan pada X, "UEA tidak siap untuk mendukung hari setelah perang di Gaza tanpa pembentukan negara Palestina."
Dalam konteks yang sama, Anwar Bin Mohammed Gargash, penasihat diplomatik presiden Emirat, mengatakan, "UEA akan tetap bersama rakyat Palestina dan hak mereka untuk menentukan nasib sendiri."
Dia menambahkan bahwa pernyataan menteri luar negeri "mencerminkan keyakinan UEA bahwa stabilitas di wilayah tersebut hanya dapat dicapai melalui solusi dua negara."
Abraham Accords Peace Institute melaporkan bahwa volume perdagangan antara Israel dan "mitra-mitra perdamaiannya" telah meningkat sejak penandatanganan perjanjian tersebut. Pada Juni tahun ini, misalnya, volume perdagangan antara Israel dan UEA mencapai $283,5 juta untuk enam bulan pertama tahun 2024. Angka perdagangan dengan Bahrain adalah $17,9 juta; dengan Maroko, $8,4 juta; dengan Mesir $76 juta; dan dengan Yordania, $51,5 juta.
Mesir dan Yordania, tentu saja, telah memiliki perjanjian damai dengan Israel sejak tahun 1979 dan 1994.
Seruan untuk mundur dari Kesepakatan Abraham
Dalam sebuah artikel majalah Time yang diterbitkan pada Desember, Sarah Leah Whitson, direktur eksekutif kelompok hak asasi Democracy for the Arab World Now (DAWN), menulis bahwa alih-alih "mengekang pelanggaran Israel", Kesepakatan Abraham telah "mendorong pemerintah Israel yang berurutan untuk semakin mengabaikan hak-hak Palestina."
Ia mengatakan bahwa organisasinya telah "secara terbuka meminta UEA, Bahrain, Maroko, dan Sudan untuk segera menarik diri dari Kesepakatan tersebut dan, bersama dengan para penandatangan perjanjian perdamaian, Mesir dan Yordania, mengakhiri seluruh koordinasi militer dengan Israel."
Israel telah melancarkan perang brutal di Jalur Gaza sejak Oktober tahun lalu dalam sebuah serangan yang telah menewaskan sedikitnya 41.206 orang, menurut kementerian kesehatan daerah kantong Palestina tersebut.
Rumah sakit, tempat ibadah, dan bangunan tempat tinggal telah menjadi sasaran serangan, dan Afrika Selatan telah menuduh Israel melakukan genosida di Mahkamah Internasional, mahkamah tertinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
TIMES OF ISRAEL | ARAB NEWS | MIDDLE EAST MONITOR