Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Amerika Serikat dilaporkan mengirim enam unit pesawat pengebom siluman B-2 Spirit ke Diego Garcia, pulau terpencil di Samudra Hindia yang dikenal sebagai pangkalan militernya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dikutip dari Times of India, citra satelit Planet Labs pada 1 April 2025 menunjukkan kehadiran B-2 di landasan, bersama pesawat tanker, kargo, dan sejumlah hanggar. Artikel ini akan membahas mengenai latar belakang pulau Diego Garcia.
Seiring masih panasnya kawasan Timur Tengah dan ketegangan politik AS-Iran, pengerahan pengebom B-2 Spirit ke Diego Garcia itu menegaskan pesan kuat Gedung Putih. Maklum, bomber strategis ini bisa terbang sejauh 6.000 km yang dengan mudah menjangkau kawasan Teluk Persia bila terbang dari pulau Diego Garcia.
Tentang Pulau Diego Garcia
Dilansir dari situs web Britannica, Diego Garcia adalah pulau paling selatan di Kepulauan Chagos yang terletak di tengah Samudra Hindia. Pulau ini merupakan bagian dari Wilayah Samudra Hindia Britania. Atol ini mencakup area sekitar 44 kilometer persegi dan terdiri dari sebuah pulau kecil berbentuk huruf "V", dengan panjang sekitar 24 kilometer dan lebar maksimal sekitar 11 kilometer, yang seluruhnya dikelilingi pasir.
Terletak sekitar 3.862 kilometer dari pantai selatan Iran, Diego Garcia pertama kali ditemukan oleh bangsa Portugis pada awal abad ke-16. Dahulu, pulau ini berada di bawah administrasi Mauritius, sebuah negara kepulauan di Samudra Hindia yang pernah menjadi koloni Inggris. Namun, pada tahun 1965, Diego Garcia dipisahkan dari Mauritius dan dimasukkan ke dalam Wilayah Samudra Hindia Britania yang baru dibentuk.
Aktivitas ekonomi utama di Diego Garcia berpusat pada produksi kopra selama bertahun-tahun. pada awal 1970-an, seluruh pekerja perkebunan beserta keluarganya dipindahkan dari pulau tersebut. Sebagian besar dari mereka direlokasi ke Mauritius, sementara sebagian kecil lainnya dikirim ke Seychelles, negara kepulauan kecil lainnya di Samudra Hindia. Pemindahan ini dilakukan untuk membuka ruang bagi pembangunan fasilitas militer Amerika Serikat, yang dibangun berdasarkan kesepakatan dengan pemerintah Inggris.
Pembangunan pangkalan militer di Diego Garcia mulai berkembang pesat pada akhir 1970-an hingga 1980-an, menjadikannya sebagai pusat dukungan operasi udara dan angkatan laut. Meski begitu, kehadiran militer ini sempat menimbulkan protes dari sejumlah negara di sekitar Samudra Hindia yang menginginkan kawasan tersebut tetap bebas dari aktivitas militer. Kendati demikian, Diego Garcia kemudian menjadi titik strategis bagi berbagai operasi militer udara, termasuk selama Perang Teluk (1990–1991), serangan pimpinan Amerika Serikat ke Afghanistan (2001), dan tahap awal Perang Irak pada 2003.
Menjelang akhir 1990-an, warga Kepulauan Chagos, termasuk yang berasal dari Diego Garcia, mengajukan gugatan hukum untuk mendapatkan kembali hak atas tanah kelahiran mereka. Pada tahun 2000, pengadilan di Inggris menyatakan bahwa larangan tinggal yang diberlakukan pada tahun 1971 tidak sah secara hukum.
Namun, meskipun keputusan tersebut mendukung para penggugat, pemerintah Amerika Serikat dan Inggris tetap menolak rencana pemulangan mereka. Hingga tahun 2006, keputusan pengadilan tetap mempertahankan hak penduduk Chagos, meski tidak diiringi dengan langkah konkret untuk mengembalikan mereka ke pulau-pulau asal.
Setahun setelah keputusan pengadilan, pemerintah Inggris kembali kalah dalam proses banding. Meski demikian, mereka menyatakan akan membawa kasus tersebut ke House of Lords. Pada tahun berikutnya, mayoritas dari lima hakim di panel Law Lords memutuskan menolak gugatan warga Chagos, meskipun pemerintah Inggris menyatakan penyesalan atas pengusiran yang terjadi di masa lalu.
Kemudian, pada tahun 2017, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) meminta Mahkamah Internasional (ICJ) untuk meninjau legalitas proses dekolonisasi Mauritius. Fokus peninjauan tersebut adalah pemisahan Kepulauan Chagos dari Mauritius dan dampak dari kekuasaan Inggris atas wilayah tersebut.
Pada Februari 2019, Mahkamah Internasional (ICJ) mengeluarkan putusan yang menyatakan bahwa proses dekolonisasi Mauritius, termasuk pemisahan Kepulauan Chagos, tidak sah. ICJ merekomendasikan agar Inggris segera mengembalikan wilayah tersebut kepada Mauritius. Meski bersifat tidak mengikat, putusan ini tetap memberikan dampak diplomatik yang signifikan.
Hingga kini, Diego Garcia tidak memiliki penduduk tetap yang tercatat secara resmi. Namun, pulau ini dihuni oleh sekitar 4.000 personel militer dan sipil dari Amerika Serikat dan Inggris yang ditempatkan untuk mendukung operasi militer di kawasan tersebut.
Dicky Kurniawan dan Ni Made Sukmasari berkontribusi dalam tulisan ini.
Pilihan editor: Jet Bomber B-2 Siluman AS Berada di Diego Garcia, Jangkau Teluk Persia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini