PRESIDEN Jose Sarney mengerahkan ribuan tentara lengkap dengan pasukan tank ke kilang minyak dan pelabuhan Santos, Rabu pekan lalu. Bukan untuk menghadapi ancaman musuh, tapi cuma menakut-nakuti ribuan buruh yang melancarkan aksi mogok sejak tiga minggu lalu. Kekalutan mulai meruyak, ketika pemerintah mengumumkan bahwa pembayaran bunga berikut cicilan utangnya -- sebesar U$$ 108 milyar -- terpaksa ditangguhkan karena ekonomi yang memburuk. Aksi mogok pun meledak, karena rakyat kecewa menghadapi harga yang melambung, sementara upah mereka tidak naik. Pemerintahan Sarney, yang berkuasa sejak dua tahun lalu, dinilai tidak mampu mengendalikan laju inflasi yang melesat sampai 500% tiap tahun. Buruh minyak -- sekitar 55.000 orang -- menuntut kenaikan gaji 71% dan menolak tawaran pemerintah yang hanya sanggup menaikkan 38%. Sementara itu, 40.000 buruh pelabuhan juga mogok, menuntut kenaikan upah 275% dan tidak mau menerima tawaran pemerintah yang berjanji akan menaikkannya 108%. Aksi mogok kemudian meluas ke sektor lain, pertanian misalnya. Hampir satu juta petani dengan barisan traktor memblokir sejumlah bank dan jalan raya, sebagai protes atas tingginya tingkat suku bunga dan rendahnya harga hasil bumi mereka. Sarney baru bertindak sesudah didesak oleh pimpinan perusahaan minyak negara (Petrobras), Ozires Silva. Alasannya, ekonomi Brasil akan semakin runyam bila produksi dan pengiriman minyak terhenti total. Tapi gebrakan Sarney tidak membuat buruh gentar ketakutan. Menurut seorang tokoh buruh, Orlando dos Santos, sekitar 1.100 pekerja pelabuhan justru minta berhenti. "Gaji buruh pelabuhan Brasil adalah yang paling rendah di dunia, sesudah Ghana," kata Dos Santos. Pemogokan bisa menjurus ke penghentian kerja secara total, apalagi jika pasukan marinir yang didrop ke pelabuhan sempat menggertak mereka. Kaum buruh sama sekali tidak digerakkan oleh motivasi politik. Masalahnya sederhana: gaji mereka tidak cukup. Menurut catatan pada kantor organisasi buruh, gaji buruh biasa sekitar 2.000 cruzados (Rp 150.000) per bulan, ditambah berbagai tunjangan sehingga penghasilan mereka senilai Rp 300.000. Sedang gaji seorang kapten kapal 15.250 cruzados (Rp 1.100.000). Dan itu tidak memadai, karena harga barang lebih cepat membubung. Buntut aksi mogok, sampai awal pekan ini, ada 163 kapal yang tetap tertambat, 135 buah di Brasil dan 28 selebihnya di berbagai pelabuhan negara. Untuk mengatasi keadaan, sejak Sabtu lalu, pasukan yang diturunkan ke pelabuhan siaga mengadakan patroli dan membantu bongkar-muat gandum dan tanker minyak. Aksi mogok juga mengakibatkan macetnya ekspor minyak dan komoditi lain, yang tentu saja memukul telak pemerintah yang lagi haus devisa. Brasil berada pada tempat teratas dari jajaran negara berkembang yang menanggung utang: US$ 108 milyar (Rp 178,2 trilyun), di atas Meksiko (US$ 98 milyar) dan Argentina (US$ 58 milyar). Beberapa langkah pernah diambil untuk mengatasi neraca perdagangan yang anjlok. Tahun lalu, Menteri Keuangan Dilson Funaro berusaha memulihkannya dengan "Cruzado Plan", yaitu memperkenalkan satuan mata uang baru, membekukan harga, dan membolehkan kenaikan upah. Akibatnya, justru gawat. Harga tidak beku, maiah melonjak di atas 220%. Februari lalu, keadaannya semakin gawat. Surplus neraca perdagangan bulanan sebesar US$ 1 milyar pada awal 1986 justru anjlok menjadi US$ 100 juta saja cadangan devisa, dari US$ 9 milyar, kini tinggal US$ 4 milyar dan harga -- yang tentu saja membuat rakyatnya resah -- naik dari 500% sampai 1.000%. Jatuh-bangun di bidang ekonomi itu juga agaknya yang menyulut pemogokan. Tentara memang sudah ditarik sebagai prasyarat untuk negosiasi dengan buruh. Tapi, seandainya krisis mogok ini berakhir dengan mulus, Brasil masih tetap dihantui utang. Sedikitnya negeri itu harus menyetor 3%-4% produk domestik kotornya (GDP) kepada negara kreditor. A. Margana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini