KRISIS itu datang dari RUU Pajak, dan tidak ada orang lain yang lebih tahu tentang ini kecuali Yasuhiro Nakasone. PM Jepang itu bermaksud mengubah undang-undang perpajakan, tanpa menduga akan terjadi kontroversi serius. Undang-undang pajak yang selama ini berlaku merupakan produk yang dipaksakan oleh Administrasi Tentara Pendudukan Amerika. Hal itu merupakan satu dari sekian banyak konsekuensi yang harus dipikul Jepang akibat kekalahannya dalam Perang Dunia II. Sesudah 30 tahun lebih, kabinet Nakasone berketetapan mengganti warisan Jenderal MacArthur dengan karya Jepang asli. Apa mau dikata, banyak yang tidak suka. Protes bermunculan dan para pendukung partal Nakasone, LDP (Partai Demokrat Liberal), terutama dari kalangan bisnis menengah dan kecil. Padahal, merekalah yang secara tradisional jadi tulang punggung LDP. Golongan buruh juga protes. Bagian yang paling diprotes dari perubahan UU itu adalah pajak pertambahan nilai 5% -- disebut juga uriage-zei, yang sama artinya dengan pajak penjualan -- yang akan mulai berlaku Januari tahun depan. Ketentuannya didasarkan pada pola yang berlaku di Eropa, yakni dengan menetapkan pajak pada setiap tahap produksi barang. Pemerintah berpendapat cara tersebut merupakan jalan satu-satunya yang tak menyakitkan buat meningkatkan pemasukan. Dengan adanya pajak itu, pemerintah dapat memungut sekitar 2,9 trilyun yen (Rp 31,47 trilyun). Jumlah ini akan mempercantik citra finansial pemerintah yang berutang 136 trilyun yen (Rp 1.475.6 trilyun) -- suatu jumlah utang paling tinggi di kalangan negara-negara berkembang. Tapi pengusaha dan konsumen punya pandangan lain. Buat orang bisnis, perubahan itu menggerogoti laba, sedang konsumen merasa daya beli mereka dibabat. Tapi apa yang diprotes baru sebagian dari rancangan itu. Bagian lain dari RUU menyangkut perubahan pajak pendapatan, yang dewasa ini berkisar antara 10% dan 70%, kelak akan diturunkan sampai di bawah 50%. Tapi tabungan di bawah 3 juta yen (Rp 32.55 juta), yang tadinya bebas pajak, sekarang dikenakan pajak 20% atas bunganya. Tidak heran jika rancangan itu menimbulkan antipati. Sebagai akibatnya, sejak hari Senin, 2 Maret silam, telah terjadi serangkaian demonstrasi antiperubahan pajak yang memperoleh dukungan populer. Unjuk rasa itu dikaitkan dengan kekalahan calon LDP, Nyonya Rei Isurugi, pada pemilihan susulan di Distrik Iwate, 8 Maret lalu. Wilayah yang merupakan basis Konservatif dan dikuasai LDP selama 25 tahun terakhir, ternyata, jatuh ke tangan calon Partai Sosial, Jinichi Ogawa. Mengapa? Karena Ogawa cuma mengandalkan kampanye "antipajak baru". Pada hari bersamaan, di Tokyo, terjadi demonstrasi besar anti-RUU pajak baru yang dihadiri tak kurang dari 160.000 orang, dua kali lebih besar dari jumlah yang direncanakan semula. Untuk menyelamatkan popularitas partai, para pemuka LDP mulai menjauhkan diri dari soal pajak itu. Malah Menteri Keuangan Kiichi Miyazawa menampilkan dirinya sebagai orang yang siap menampung keluhan. Ternyata, taktik ini menguntungkan citra Miyazawa, saingan Nakasone. Dalam tiga pekan terakhir ini, nasib Nakasone sedang diuji dan akan ditentukan. Sejauh ini, kedudukannya sebagai ketua partai yang berkuasa, LDP -- otomatis memangku jabatan perdana menteri -- telah mendapat perpanjangan dua kali, masing-masing selama dua tahun dan setahun. Sekalipun begitu, seorang pembantu terdekatnya menegaskan bahwa Nakasone akan terus memaksakan RUU perpajakan yang baru itu. Mungkin sang PM lupa bahwa dalam kampanye tahun lalu, ia berjanji tidak akan mengintroduksi pajak tak langsung yang berskala besar, seperti uriage-zei itu. Bukan tidak mungkin, Nakasone kali ini terperosok dalam perangkap yang dibuatnya sendiri. A. Dahana, Laporan Seiichi Okawa (Tokyo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini