Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Gagal lagi, honasan, gagal lagi

Percobaan kudeta yang dipimpin kol. gregorio honasan berhasil dipatahkan setelah para pembangkang sempat menduduki kamp aguinaldo. noy noy, putra cory tertembak. kali ini cory bersikap keras.

5 September 1987 | 00.00 WIB

Gagal lagi, honasan, gagal lagi
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
JANUARI lalu, Kolonel Gregoria Honasan, yang dijuluki El Gringo, duduk berdua dengan Presiden Cory Aquino dalam sebuah pertemuan khusus. Ia bertanya, "Apakah yang harus saya lakukan bagi karier saya." Jawab Presiden sederhana, "Cintailah negaramu." Pekan lalu, Gringo, 39 tahun, perwira muda paling terkenal di Filipina itu menunjukkan kecintaannya pada tanah air dengan melakukan kudeta. Usaha makar itu digerakkan Gringo, Jumat dinihari. Ia bergerak dari utara, dari Benteng Magsaysay, dengan satuan pasukan khusus menuju Manila. Sementara pasukan dari Akademi Militer Baguio City, yang dipimpin Kolonel Eduardo "Red" Kapunan, melaju ke Kamp Olivas, markas bcsar polisi di Luzon Tengah. Jam 1.00, tanpa kontak senjata yang berarti, Kamp Olivas jatuh ke tangan pemberontak, dan polisi-polisi dan markas itu menyatakan bergabung dengan para penyerbu. Kemudian pasukan dari tiga markas militer itu -- diduga berkekuatan 2.000 orang bergerak dalam keremangan pagi menuju Metro Manila. Tiba di batis kota, pasukan itu memecah kekuatan mereka. Tiga kompi tentara, dengan kekuatan sekitar 300 orang, mengendarai dua truk, dua bis, dan 10 jip menuju Istana Malacanang dan kediaman Nyonya Presiden Aquino di Alergui Street tak jauh dari Istana. Jam 1.20, pasukan gabungan ini sampai di Istana Malacanang, dan menyusun formasi sekitar 500 meter dari titik sasaran. Beberapa menit sebelum Jam H -- saat penyerbuan -- putra Cory Aquino, Benigno "Noynoy" Aquino bersama empat pengawalnya memasuki kawasan Alergui Street dengan sebuah mobil. Ia tak curiga ketika berpapasan dalam jarak dekat dengan satuan pemberontak. Malah, Noynoy mengira mereka itu anggota pasukan pengawal Presiden, sehingga ia tak ragu-ragu turun dari mobilnya dengan maksud berdialog. Waktu menunjukkan jam 1.30, dan Noynoy baru beberapa meter melangkah dari mobilnya, ketika pasukan pemberontak mengenali wajah putra presiden itu, dan lalu menembak. Noynoy disambar peluru, dan darah mengucur dari leher dan pundaknya. Sadar ia berhadapan dengan lawan, Noynoy segera balik ke mobilnya mencari perlindungan. Tiga pengawalnya memburu keluar dengan senjata terkokang. Tapi, mereka tak sampai melepaskan tembakan, bahkan untuk membela diri, karena Noynoy, yang tak suka cara kekerasan, berteriak agar mereka tidak menembak. Akibatnya, ketiga pengawal yang setia itu tewas seketika dihunjam peluru lawan yang dimuntahkan dari senjata-senjata otomatis. Noynoy meloncat ke dalam mobil, lalu merunduk di bagian belakang. Lalu, pengawalnya yang masih selamat mengambil alih kemudi, dan menerobos barisan pemberontak di bawah berondongan peluru. Saat itu pula, satu regu marinir, pasukan pengawal Presiden, bergerak maju melindungi mobil Noynoy, dan kemudian menyusun pertahanan mengelilingi istana dan kediaman Presiden. Hiruk-pikuk di pagi buta itulah yang membuat Cory Aquino terbangun, dan mendapat laporan bahwa putra tunggalnya luka-luka terkena tembakan. Meski satuan marinir yang membarikade Istana Malacanang cuma satu peleton, toh penjagaan mereka tak bisa ditembus pasukan pemberontak. Bahkan para pengawal istana itu yang balik melakukan serangan dengan strategi penyerangan yang tersusun rapi. Satuan marinir yang diserahi menjag keamanan Istana Malacanang dan kediaman Presiden memang dikenal satuan paling tangguh dalam jajaran militer Filipina. Jam 2.10, pasukan marinir di Istana Malacanang diperkuat. Pasukan bantuan menjepit kedudukan pemberontak. Tembak-menembak yang berlangsung sekitar setengah jam membangunkan penduduk di sekitar kawasan elite itu, dan sebagian dari mereka langsung keluar rumah menonton pertempuran tanpa rasa takut. Ketika pasukan pemberontak terdesak sorak-sorai penduduk terdengar gemuruh. Jam 2.25, para pembangkang yang merasa misinya gagal, mundur ke kendaraan sambil melepaskan tembakan membabi buta. Korban jatuh dalam kontak senjata dan ketika pasukan pemberontak melepaskan tembakan secara ngawur tercatat 10 prajurit dan 5 warga sipil tewas. Pasukan yang terpukul itu segera mundur ke Kamp Aguinaldo, 10 kilometer dari Istana Malacanang, tempat sebuah serangan besar sedang dipersiapkan. Di kawasan lain, kemenangan (sementara) berada di pihak pemberontak. Mereka, antara jam 2.00 dan jam 2.30 berhasil menduduki stasiun tclevisi Saluran 7 dan Saluran 4, dua stasiun radio, dan sebuah kantor berita di Quezon City -- semua lokasi yang direbut penyerbu masih terletak di wilayah Metro Manila. Pada saat yang hampir bersamaan, jam 2.30, Joker Arroyo, Sekretaris Eksekutif Presiden, menyiarkan berita melalui sebuah pemancar radio swasta bahwa Presiden Aquino dan keluarga selamat dari sebuah usaha kudeta. Selang 20 menit, Kepala Staf Angkatan Bersenjata Tenderal Fidel Ramos, melalui radio swasta lain, mengumumkan bahwa pasukan pemberontakan telah gagal menduduki Istana Malacanang. Ramos dengan tegas mengungkapkan penyerangan terhadap kediaman Presiden itu adalah sebuah rencana kudeta. Ketika itu, ia memperkirakan kekuatan pembangkang hanya 300 orang saja -- belakangan dikoreksinya menjadi 800. Jam 3.15, pasukan pemberontak menyerang Kamp Aguinaldo, Markas Besar Angkatan Bersenjata dan kantor Kementerian Pertahanan Filipina. Empat dari lima pos pertahanan, yang terletak di tembok benteng yang mengelilingi markas itu, berhasil dikuasai pasukan pemberontak. Deputi Kastaf AFP (Angkatan Bersenjata Filipina) Mayjen Eduardo Ermita bersama pasukannya yang bertahan mati-matian terjepit di satu pos gerbang, karena sebagian besar prajurit di markas itu membelot mendukung Gringo. Kolonel Gringo Honasan, yang memimpin sendiri pendudukan itu, tak menemui kesulitan berarti sewaktu memasuki Kamp Aguinaldo. Ia lama bertugas di sana sebagai komandan pasukan keamanan Kementerian Pertahanan semasa Juan Ponce Enrille menjabat menteri pertahanan. Dan, hampir semua perwira jaga yang bertugas pagi itu dikenalnya, serta membiarkan Gringo bersama pasukannya masuk ke Kamp Aguinaldo. Kehadiran Gringo di pentas kudeta pekan lalu tidak terlalu mengejutkan banyak orang. Perwira muda yang ikut berjasa menjatuhkan Diktator Ferdinand Marcos itu sudah berulang kali dicurigai merencanakan kudeta. Kolonel yang sangat populer itu memang punya kesempatan besar untuk melakukan makar. Teoretis ia mampu mengumpulkan pasukan karena mempunyai pengaruh yang besar di kalangan perwira muda yang memegang pasukan. Selain itu, atribut pahlawan yang disandangnya, ketenaran dan wibawanya didukung pula oleh sifat setia kawannya yang sangat menonjol. Pada kudeta Februari lalu, misalnya, Gringo menentang keras rencana Cory menindak para pelaku kudeta, sehingga Jenderal Ramos ikut turun tangan memperhatikan permintaannya. Akhirnya, penghukuman pelaku kudeta tidak jadi dilaksanakan. Seperti juga bekas bosnya, Juan Ponce Enrile, Gringo pada akhirnya frustrasi menghadapi sikap lunak militer mengikuti alur pemerintahan Aquino, khususnya sikap akomodatif menghadapi komunis. Manny Martines, seorang wartawan yang kebetulan menemuinya seminggu sebelum kudeta, mengungkapkan sikap keras sudah ditunjukkan Gringo ketika itu. "Ada krisis kepemimpinan dalam tubuh AFP," katanya, "Ramos tidak lebih dari perwira hubungan masyarakat militer." Berapi-api Grigo mengungkapkan ada 200.000 prajurit dalam jajaran militer, tapi yang bertempur mati-matian di lapangan hanya 60.000. "Lalu, ke mana yang 140.000 lagi?" tanyanya. Menurut Martines, ketika itu Gringo mengatakan, ia dan kawan-kawannya, sejumlah perwira muda yang punya idealisme, merasa sudah waktunya harus melakukan suatu tindakan. Pernyataan ini, waktu itu, disebutnya sebagai off the record. Usaha makar Gringo kendati gagal harus diakui gerakan tersusun cukup rapi. Pertempuran yang terjadi tercatat terbesar di Filipina sejak Perang Dunia II. Mengikuti strategi yang digariskan, jam 4.00, pasukannya bergerak ke basis angkatan udara di Kamp Villamor, yang terletak berdampingan dengan bandar udara internasional Manila. Markas AU itu bisa dikuasai dalam waktu singkat dengan mula-mula memblokir seluruh lantai dasar gedung. Kepala Staf AU Mayjen Antonio Sotelo disandera di markasnya -- meski beberapa jam kemudian berhasil melarikan diri. Namun, yang penting, seluruh jaringan komando basis itu dapat dikuasai dengan alan menodong para perwira yang memegang kendali perintah. Honasan bahkan bisa memerintahkan satuan helikopter yang berpangkalan di sana untuk bergerak ke Kamp Aguinaldo. Setelah melihat perkembangan keadaan, jam 4.10, Presiden Aquino diungsikan dari kediamannya di Alergui Street ke suatu tempat yang aman. Di tempat persembunyian inilah ia memimpin rapat kabinet guna membahas situasi. Menjelang subuh baru terlihat tanda-tanda kekuatan pendukung Aquino bangkit. Jam 4.45, sebuah wawancara dengan Presiden Cory Aquino disiarkan radio swasta ke seluruh Filipina. Dengan suara serak ia meminta agar rakyat tenang. Ia mengatakan bahwa Jenderal Ramos telah diberi kekuasaan penuh untuk mengontrol keadaan. "Saya kira anak-anak sebaiknya tinggal di rumah dan tidak perlu ke sekolah," kata Presiden Aquino di akhir wawancara. Tepat jam 5.00, beberapa menit setelah suara Aquino menghilang di udara, Jenderal Ramos memerintahkan pasukan gabungan menyerang Kamp Aguinaldo memberi instruksi pada Mayjen Ermita yang terjepit di salah satu pos untuk menarik mundur pasukannya ke Kamp Crame, Markas Besar PC (Police Constabulary), yang terletak berhadapan dengan Kamp Aguinaldo. Ramos, yang mengambil komando penyerangan, mengepung Kamp Aguinaldo dengan pasukannya. Tembak-menembak berlangsung gencar. Pasukan Ramos menghajar para pemberontak dengan senjata berat Howitzer M-60. Pada pengepungan itu, Ramos mengatakan kepada wartawan yang meliput penyerbuan bahwa Honasan adalah seorang pengkhianat. Aneh, di tengah ketegangan itu wajahnya tampak cerah. Gerakan Honasan mungkin sudah diperhitungkannya. Ternyata, tak seluruh jaringan hubungan Gringo dapat dibetot habis. Setelah pada jam 9.00 salah satu pasukan pemberontak berhasil menduduki pangkalan udara Legaspy City di Albay, 550 kilometer di selatan Manila, satuan-satuan yang dipimpin Gringo, yang menunggu di batas kota, segera melakukan penyusupan ke jantung Manila sambil menanti bala bantuan. Untung, pasukan marinir Metro Manila segera sadar terhadap kemungkinan serangan yang datang dari luar kota. Semua jalan masuk menuju ibu kota langsung diblokir. Tank, buldozer, dan rintangan kawat berduri di pasang di dua mulut by pass di utara dan selatan. Semua pelintas diperiksa dengan ketat. Jam 9.30, satuan marinir mencegat sebuah truk dan dua jip pemberontak bersenjata lengkap, dan berhasil memukul mundur lawan. Pada waktu yang sama, pasukan Gringo yang sudah menyelusup ke dalam kota berhasil merebut empat stasiun radio. Karena itu, untuk memperkuat pertahanan Manila, satu batalyon pasukan infanteri di bawah komando Kolonel Raul Aquino diterbangkan dari Mindanao. Jam 10.00, sidang darurat Senat dibuka. Semua Senator hadir, kecuali wakil kelompok oposisi, Joseph Estrada dan Juan Ponce Enrile. Ini memperkuat spekulasi bahwa bekas Menteri Pcrtahanan Enrile yang mendalangi dan membiayai kudeta Gringo. Spekulasi itu disangkal Enrile dan pasukan pemberontak. "Saya tak ingin berpihak kepada siapa pun," kata Enrile. Jam 10.15, ketika sidang Senat masih berlangsung, Ramos memberi ultimatum kepada pemberontak dan memberi waktu sampai matahari terbenam untuk menyerah. "Yang tidak menyerah akan ditindak tegas," katanya. Selang 30 menit kemudian, pemberontak berbicara melalui televisi. Letnan Dua Robert Lee mengumumkan sikap pemberontak. "Kami," kata perwira muda itu, "tidak bermaksud menggulingkan pemerintah yang sah. Dan, kami juga tidak berniat membunuh rakyat." Lee menjelaskan, pemberontakan militer itu bukan "revolusi kiri" maupun "gerakan kanan" tapi gerakan militer yang punya idealisme mencari keadilan. Lee juga menyampaikan pesan Gringo: agar masyarakat berdoa bagi perjuangan mereka. Jam 12.30, pasukan pemerintah melakukan mobilisasi umum di semua tempat yang dikuasai pemberontak. Empat batalyon yang dikerahkan menyerang Kamp Aguinaldo maju dengan susah payah, karena masyarakat yang menonton menghalangi gerak mereka. Korban pun berjatuhan: prajurit pemerintah, pemberontak, dan penduduk sipil. Jam 13.30, satuan Gringo mencatat kemajuan lagi. Jenderal Edgardo Abenina, Panglima Wilayah Militer VII Viscayas Tengah, menyatakan seluruh jajaran di wilayahnya mendukung gerakan Honasan. Bendera-bendera Filipina di semua markas militer serentak dikibarkan terbalik. Provinsi Cebu jatuh ke tangan pemberontak. Jam 15.30, Presiden Aquino tampil di televisi dengan suara yang serak. Ia tampak berusaha menahan diri dan berhati-hati mengucapkan pidatonya -- yang dibacanya dari naskah yang sudah disiapkan terlebih dahulu. "Mereka mengatakan tidak akan menembak rakyat, tapi mereka telah menembak anak saya, dan membunuh dengan keji tiga pengawalnya," kata Aquino. Setelah itu, Presiden Aquino mengeluarkan perintah menembak mati di tempat semua pemberontak yang menolak menyerah. "Saya memerintahkan pada semua jajaran militer agar pemberontakan dipadamkan secepatnya, dan tidak akan ada perundingan dengan para pengkhianat," ujarnya. Untuk pertama kali Aquino menunjukkan sikap keras terhadap pelaku kudeta. Sebelumnya, ia senantiasa bersikap lunak dan enggan menjatuhkan hukuman, bahkan tindakan disiplin. Ini, menurut pengamat politik di Manila, membuat peminat kudeta tak pernah jera. Lalu, makar pun terjadi silih berganti. Jam 17.30, satuan artileri diturunkan menggempur Kamp Aguinaldo. Sejumlah helikopter dan dua bomber T-28 mulai mengebom kamp itu. Menjelang matahari terbenam, tanda-tanda pasukan Gringo terdesak mulai tcrlihat. Di Aguinaldo, sekitar 300 prajurit pemberontak mengibarkan bendera putih dan menyerahkan diri. Beberapa perwira dan sekitar 50 prajurit berusaha menyelamatkan diri ke Hotel Camelot, yang terletak tak jauh dari sana. Mereka kemudian menyerah setelah satuan PC menyerbu hotel itu. Pertempuran kemudian menjadi panjang setelah malam turun. Jam 18.00, bandar udara internasional Manila ditutup selama 12 jam untuk semua penerbangan. Perang dalam gelap itu menjadi sulit, karena terlibatnya penduduk. Seorang wartawan Selandia Baru yang mengarahkan kameranya, yang dilengkapi lensa tele, di kegelapan malam terlihat seperti membidikkan laras senjata panjang oleh seorang penembak tepat pada pasukan Eduardo Ermita. M-16 dalam genggaman snipper itu menyalak dan kepala wartawan itu pun hancur. Menjelang jam 00.00 Menteri Pertahanan Rafael Ileto mengumumkan 1.000 pasukan pemberontak menyerah di Manila. Karena tak ada tempat yang aman, para tawanan yang menyerah ini dikumpulkan di dua kapal perang yang berlabuh di pantai Manila. Sekitar tengah malam para pemberontak di Kamp Aguinaldo terdesak. Gringo lari dengan helikopter yang sudah sejak siang disiapkan di sana. Konon, ia lari bersama isteri dan keempat anaknya ke Baguio City dengan harapan bisa meneruskan perjuangannya di Akademi Militer dengan dukungan pasukannya yang masih menguasai Kamp Olivas. Kabar terakhir menyebutkan, ia diselamatkan oleh satuan angkatan laut AS di perairan Filipina. Sabtu pagi, jam 7.00, Kamp Aguinaldo kembali dapat direbut. Letkol Melchor Acosta, wakil Gringo, membuka rahasia: pemberontakan itu memang sebuah rencana kudeta. Honasan, katanya, bahkan sudah menyiapkan sebuah pemerintahan junta militer. Bersamaan dengan itu, semua prajurit pembangkang di semua basis pemberontakan menyatakan menyerah. Di Provinsi Cebu, basis pemberontak yang paling kuat, Deputi Panglima Kolonel Marriano Baccay, yang setia kepada pemerintah, mengambil alih kekuasaan dan menangkap atasannya. Kamp Olivas tak jauh dari sana sudah pula dikuasai Brigjen Eduardo Taduran. Pada jam 9.00 Brigjen Gerardo Protacio mengawatkan sudah menguasai kembali pangkalan angkatan udara di Villamor. Jam 9.30, Ramos dari Kamp Aguinaldo mengumumkan bahwa keadaan sudah bisa dikuasai. Hasil evaluasi menunjukkan seluruh korban pertempuran, sampai Sabtu pekan lalu, tercatat 21 orang tewas dan 209 luka parah. Brsama Letkol Acosta, empat belas perwira menengah yang lain juga tertangkap. Dari hasil interogasi, terungkap 8 panglima wilayah militer diketahui terlibat dalam usaha kudeta. Tapi, sampai awal pekan ini, mereka kini masih aktif di pos masing-masing. Gringo telah gagal. Rencana kudetanya, menurut Menteri Pertahanan Rafael Ileto, sebenarnya sudah tercium enam bulan lalu walau tidak bisa dipastikan kapan akan dilancarkan. Menghadapi kemungkinan itu satuan intel AP sudah memasang jaringan penangkal di berbagai kesatuan, dan Gringo kalah cepat melangkah. "Aku akan mempertaruhkan nyawaku untuk perjuangan ini," bunyi pesannya kepada Eduardo Ermita, kawan lama dan sekaligus lawannya di Kamp Aguinaldo. "Aku titip keluargaku." Itulah pesan terakhir dari Gringo sebelum terbang dengan helikopter dari Kamp Aguinaldo. Jim Supangkat Laporan Bayu Pratama (Manila)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus