TENTARA manapun yang kalah akan selalu bisa pulang. Tapi akan ke
manakah pasukan PLO yang kalah nanti? Pertanyaan ini tiba-tiba
mengingatkan nasib mereka yang dasar -- dan seluruh sejarah
mereka, sejak pertemuan 18 tahun yang lalu.
Setelah berdebat sengit dalam majelis nasional di Yeusalem
Timur, Juni 1964, tokoh-tokoh gerilyawan dari berbagai aliran
berhasil memancang tiang koalisi: Organisasi Pembebasan
Palestina (PLO). "Masalah Palestina hanya dapat diselesaikan di
Palestina, dan dengan kekerasan senjata," kata Ketua Eksekutif
PLO Ahmed Shukeiry yang mengungkapkan piagam perjuangan mereka
selepas pertemuan itu.
Sejak itu PLO memang tak henti mengganggu Israel dengan
kekerasan. Januari 1965, Al Fatah, fraksi inti PLO meledakkan
saluran air di Tel Aviv.
Tak sampai dua musim PLO, yang disokong 400 pimpinan gerilyawan
waktu di Yerusalem Timur, retak di dalam. Tokoh pendukung
menuduh Shukeiry ingin memainkan rol sendiri dalam PLO. Padahal
waktu pembentukan telah disepakati koalisi akan digerakkan
secara kolektif. Awal 1967, Shukeiry, bekas Dubes Arab Saudi di
Washington, meletakkan jabatan. Ia digantikan oleh Yahya Hammuda
dengan status pejabat ketua.
Tahun 1969, Kongres Nasional Palestina memilih Yasser Arafat
sebagai pimpinan tertinggi PLO ia, boss Al Fatah, dianggap tokoh
yang bisa mempersatukan kembali kekuatan organisasi koalisi itu.
Langkah pertama oleh Arafat memang meneftibkan organisasi
pendukung yang bentrok di dalam. Antara lain: Front Pembebasan
Rakyat Palestina (PFLP) di bawah pimpinan George Habash.
Tapi usaha Arafat itu tak lancar. Hingga ia terpaksa membentuk
Komando Perjuangan Bersenjata Palestina (PASC). Tujuannya:
mengawasi kegiatan semua kelompok gerilyawan dan bertindak
sebagai polisi di Libanon, Yordania, dan di kalangan penduduk
Palestina. Pasukan inti terdiri dari Al Fatah, Front Demokrasi
Pembebasan Rakyat Palestina (PDFLP) di bawah Nayef Hawatmen, dan
sejumlah organisasi perjuangan lain. Ide Arafat dengan PASC
ternyata jitu. Ia secara berangsur berhasil mengendalikan semua
kekuatan-kecuali grup Habash.
Setahun kemudian, ketika terjadi bentrokan berdarah antara
kelompok gerilyawan dengan tentara Yordania, Habash tak punya
pilihan lain kecuali bergabung lagi ke dalam PLO. Juga
organisasi lain, seperti Aksi Untuk Pembebasan Palestina (AOLP)
di bawah Isam Sartawi, yang ikut-ikutan membelot kembali tunduk
pada Arafat.
Sukses Arafat mengendalikan PLO banyak ditopang oleh Al Fatah --
memiliki 6.000 prajurit komando bersenjata AK-47. Ia adalah
salah seorang pendiri organisasi itu yang didirikan di Kuwait,
tahun 1957. Inti perjuangan Al Fatah: Pembebasan Palestina
adalah urusan rakyat Palestina, tidak dapat dipercayakan pada
negara-negara Arab.
Al Fatah, di awal 1960-an, yang tampil dengan gagasan perjuangan
bersenjata untuk mengusir Israel, menjadi buah bibir dengan
cepat di kalangan anak muda Palestina. Lebih-lebih setelah
pertempuran di Karameh. Jumlah anggota Al Fatah terus
membengkak. Terakhir Al Fatah dikabarkan menghimpun sekitar 1
juta pengikut -- tersebar di berbagai negara Arab.
Pertempuran di Kota Karameh, di tepi Sungai Yordan, Maret 1968,
telah menjadi cerita rakyat di Palestina. Inilah cerita Abul
Tayeb, veteran 1968, tentang kehebatan gerilyawan Al Fatah:
"Hanya memiliki granat tangan, mereka tidak mempedulikan jiwa
mereka. Para syuhada itu menghadang kendaraan lapis baja Israel
dengan menggenggam granat dan kemudian meledakkannya. Begitu
dua-tiga tank lumpuh, tentara Israel itu mundur. Dan kami pun
menang."
Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser begitu mendengar kemenangan Al
Fatah di Karameh langsung mengirim ucapan selamat pada Arafat.
Ia kemudian bahkan mengikutsertakan pemimpin PLO sebagai anggota
delegasi Mesir mencari bantuan ke Uni Soviet.
Tumbuhnya Al Fatah sebagai organisasi yang kukuh tak terlepas
dari kepemimpinan kolektif yang erat. Lima serangkai -- Arafat,
Khalil Al Wazir, Farouk Kaddoumi, Abu Iyad, dan Khalid Al
Hassan -- tetap dipercayai oleh pengikut Al Fatah sampai
sekarang. Kaddoumi bahkan juga diterima oleh kelompok gerilyawan
lain untuk menjabat Menlu PLO.
KEKUATAN inti lain dalam PLO, setelah Al Fatah, adalah Front
Pembebasan Rakyat Palestina (PFLP). Organisasi yang dikemudikan
oleh Habash ini merupakan peleburan beberapa kelompok gerilyawan
kecil. Antara lain: Gerakan Nasionalis Arab (ANM) di bawah
Habash, Pemuda Pembalas (YV) pimpinan Hawatmen, Pahlawan Kembali
ke Tanah Air (HTR) di bawah Wajih Al-Madani, serta Front
Pembebasan Palestina (PLF) dengan tokoh Ahmed Jibril.
Lahir akhir 1967, PFLP terkenal sebagai organisasi pejuang garis
keras. Doktrinnya: Persatuan melalui perjuangan bersenjata. PFLP
dan Al Fatah hanya berbeda dalam mengaitkan perjuangan Palestina
dengan negara Arab. PFLP cenderung menghubungkan perjuangan
mereka dengan sasaran lebih luas: revolusi di dunia Arab. Tak
heran bila PFLP sulit mendapat bantuan tetangga -- terutama Arab
Saudi.
Belum berusia satu tahun, PFLP retak di dalam. Penyebab utamanya
adalah ditahannya Habash di Damaskus. Ia, waktu itu, mengunjungi
Suriah untuk mendapatkan izin melancarkan serangan terhadap
Israel dari wilayah ini, dan sekalian minta kiriman senjata bagi
PFLP. Tapi ternyata Pemerintah Suriah memenjarakan Habash.
George Habash, dokter yang dilahirkan di Lydda, Palestina, tahun
1925, kurang disukai banyak negara Arab karena ia menjadi
pengikut Marxist-Leninist fanatik. Ia, yang dikabarkan mendapat
latihan militer dan bantuan senjata dari Uni Soviet, juga tak
pernah dikenal terlibat langsung di front seperti Arafat.
Habash, yang berkumis lebat itu, mengendalikan operasi dari
Yaman Selatan atau Irak.
Waktu Habash meringkuk di penjara Damaskus, Hawatmen, mencoba
merebut pimpinan PFLP. Walau Hawatmen didukung oleh banyak
suara, ia tak mampu bertahan lama. Hawatmen terlibat
pertentangan ideologi dengan Ahmed Jibril dan Ahmed Za'rur --
dua tokoh pendiri PFLP yang kemudian membentuk kelompok baru
dengan nama PFLP Command A. Adalah grup Jibril yang membajak
pesawat El Al milik Israel ke Aljazair (1969) dan meledakkan
pesawat Swissair dalam perjalanan menuju Tel Aviv (1970).
PFLP kembali dikuasai Habash, yang melarikan diri dari penjara
Damaskus setelah memenangkan bentrok senjata dengan Hawatmen.
Atas inisiatif Arafat, yang menengahi pertikaian PFLP, Hawatmen,
diperbolehkan membentuk organisasi baru, PDFLP, dan diakui
sebagai anggota PLO.
Tak hanya PDFLP yang lahir. Tercaut sembilan kelompok baru
muncul mendukung PLO sampai tahun 1970. Salah satu di antaranya
yang berpengaruh adalah Al Saiqah -- tak diketahui nama
pemimpinnya. Kelompok yang dibiayai dan juga dikendalikan dari
Damaskus ini dalam tempo satu tahun (1971) telah berkembang
pesat, sempat menggeser kedudukan PFLP pimpinan Habash dalam
PLO. Pasukan komando Al Saiqah berkekuatan sekitar empat
batalyon.
Organisasi gerilyawan Palestina itu, yang kebanyakan
berpangkalan di perbatasan Israel, akhirnya merepotkan negara
yang menampung mereka seperti Yordania, Libanon, dan Suriah.
Banyak penduduk sipil di tiga negara itu menjadi korban akibat
pembalasan serangan Israel terhadap gerilyawan Palestina.
Raja Hussein, di tahun 19701 misalnya, pernah memperingatkan
PLO agar kegiatan mereka tidak merugikan rakyat Yordania.
Permintaan itu tak digubris mereka. Akhirnya PM Wasfi Tall
terpaksa memerintahkan tentara Yordania untuk menggasak
gerilyawan yang ada di wilayah Yordania. Perang antar-Arab,
September 1970, dianggap para pejuang Palestina sebagai bulan
hitam dalam sejarah perjuangan mereka. Sekitar 10.000 pengikut
mereka jadi korban. Maka mereka hijrah ke Libanon.
Toh Yordania belum aman. Habash, tokoh Palestina yang beragama
Kristen, menggunakan teror sebagai pembalasan. Untuk itu
dibentuknya pasukan komando dengan nama Black September. Korban
pertama mereka adalah PM Tall yang ditembak mati di Hotel
Sheraton, Kairo, sewaktu ia menghadiri pertemuan Liga Arab,
November 1971.
Tak cukup enam bulan setelah pembunuhan Tall, komando Black
September beraksi di bandar udara Lod, Tel Aviv. Mereka membajak
pesawat Sabena Airline milik maskapai penerbangan Belgia. Mereka
menuntut agar gerilyawan yang ditangkap Israel dibebaskan.
Pemerintahan PM Golda Meir menolak tuntutan itu dan
memerintahkan pasukan antiteroris Israel untuk menyerbu pesawat.
Dua dari empat gerilyawan tewas.
Black September kembali beroperasi menguber orang Israel. Kali
ini sasaran mereka adalah atlet Israel yang ikut Olympiade
Munich 1972. Aksi yang dikecam dunia ini menewaskan 11
olahragawan Yahudi. Di pihak gerilyawan terbunuh lima orang dan
tiga lagi tertangkap. Seminggu sesudah tragedi Munich, Black
September menembak mati dua diplomat Israel di dua kota --
Brussel dan London.
TAHUN 1974, PLO mulai mendapat pengakuan dunia internasional.
Majelis Umum PBB yang bersidang di New York, 14 Oktober
memberikan 105 suara setuju, 4 menentang, dan 20 abstain, untuk
PLO. Ini pertama kali sebuah organisasi bukan pemerintah ikut
berdebat di forum dunia tersebut.
PLO merupakan pemerintahan dalam pengasingan -- meski mereka
tidak suka dengan sebutan itu. Mereka punya dewan nasional yang
berfungsi seperti parlemen, dan memiliki komite eksekutif yang
bekerja mirip kabinet. Juga dilengkapi dengan badan-badan yang
mengurusi masalah luar negeri, kesejahteraan sosial, militer,
keuangan, dan lainnya. Istilah Arafat untuk ini: "persiapar
suatu negara."
Liga Arab membantu PLO sekitar US$500 juta seuhun. Pengungsi
Palestina yang bekerja di negara-negara Arab menyokong pula.
Majalah Middle East Juli, memperkirakan jumlah mereka seluruhnya
4,5 juta. Di luar daerah yang dikuasai Israel, jumlah mereka
(terbesar di Yordania) 1,2 juta.
SUMBANGAN perorangan untuk PLO juga mengalir. Kontraktor Kamel
Abdul Rahman, misalnya, mewariskan US$ 110 juta untuk program
sosial PLO tahun 1981. Bahkan seorang wartawan Yahudi-Amerika,
Fred Spark, pemenang Hadiah Pulitzer 1951, yang bekerja untuk
Chicago Daily News, dalam wasiatnya Maret lalu menghibahkan US$
30.000 untuk PLO.
Dana PLO itu sebagian besar disimpan di bank Swiss, Jerman
Barat, dan Meksiko. Sisanya mereka belikan saham di Wall Street,
pusat pasar modal di AS. Juga mereka beli tanah pertanian di
Sudan, Somalia, Uganda, Zaire, dan Guinea. Dari hasil investasi
ini PLO memperoleh separuh dari anggaran tahunan mereka -- US$1
milyar.
Sesudah tentara Israel melakukan invasi ke Libanon, awal Juni,
kedudukan PLO umpak makin terjepit. Israel menghendaki mereka
angkat kaki dari Libanon Arafat sudah setuju. Tapi ke mana?
Dengan aksi Israel ini riwayat PLO belum pasti tamat. "Institusi
mereka memang telah hancur. Tapi sebagai ide PLO tak akan
punah," ramal Prof. Yehoshafat Harkabi guru besar Hubungan
Internasional pada Universitas Hebrew, Yerusalem.
Harkabi benar. Kebencian orang Palestina terhadap Israel sudah
begitu berakar. Di kamp pengungsi Palestina ada syair perjuangan
yang selalu dikumandangkan:
Aku, saudara, beriman kepada rakyat
terlunta dan terbelenggu
Maka kuangkat senapan mesin agar
generasi di belakangku mengangkat pula
Aku jadikan luka-lukaku dan tetes darah: dataran tinggi, kanal,
dan lembah.
Tragisnya, kini gunung dan lembah Libanon tak memberinya
kesempatan lagi. Lebih tragis lagi bila -- seperti
diperhitungkan Israel -- PLO tak kuasa lagi mempengaruhi
penduduk Tepi Barat Sungai Yordan, yang kini dikuasai Israel. Di
sana, simpati kepada PLO demikian besar. Tujuan Israel
menghantam Beirut justru untuk melaksanakan idenya tentang
"otonomi" wilayah Tepi Barat itu --suatu proses yang berbahaya
dan ruwet (lihat hal.19).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini