Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERSAMA ribuan anak muda lain, Alessandro Dal Bon turun ke jalan di Kota New York, Amerika Serikat, untuk mengikuti kampanye penyelamatan iklim, Jumat, 20 September lalu. Mengenakan kaus hijau yang senada dengan kelir lambang gerakan “Jumat untuk Masa Depan”, bocah 15 tahun asal Manhattan ini memulai pawai akbar pada pukul 11.00, setelah ia mampir sejenak ke sekolahnya.
Para peserta aksi protes berbondong-bondong menjejali titik kumpul di Foley Square dan jalan-jalan di sekitar Balai Kota hingga memadati anak tangga menuju stasiun kereta bawah tanah terdekat. Mereka meneriakkan yel-yel sembari membentangkan aneka spanduk dan poster bertulisan “Tidak Ada Planet B”, “Darurat Iklim”, “Rumah Kita Sedang Terbakar”, dan “Pemanasan Global, Manusia Akan Binasa”.
Dari Foley Square, pawai yang juga diikuti ribuan orang dewasa yang peduli terhadap isu perubahan iklim ini berarak-arak melintasi jalan-jalan Broadway dan Nassau menuju titik kumpul selanjutnya di Battery Park, sekitar satu kilometer dari lokasi bekas menara kembar World Trade Center.
Seperti anak-anak lain, Dal Bon hari itu mogok sekolah. Peserta aksi umumnya pelajar yang mendapat izin dari sekolah dan Dinas Pendidikan Kota New York untuk tidak mengikuti pelajaran. Sekolah-sekolah mengizinkan para siswa absen asalkan telah memperoleh izin dari orang tua mereka.
“Saya salah satu penyelenggara utama gerakan ‘Jumat untuk Masa Depan’ di Kota New York. Bersama 14 anak lain, saya telah menyiapkan pemogokan ini sejak tiga bulan lalu agar bisa menjadi aksi pemogokan iklim terbesar dalam sejarah,” kata Dal Bon kepada Tempo, Kamis, 26 September lalu.
Usaha Dal Bon rupanya tidak sia-sia. Menurut dia, aksi yang juga diikuti sebagian orang tua siswa ini menyedot perhatian banyak orang dari berbagai kalangan. “Ada sekitar 315 ribu orang yang berpartisipasi di Kota New York. Ini mobilisasi kampanye iklim terbesar dalam sejarah umat manusia,” ujarnya, antusias. Menurut Kantor Wali Kota New York, kerumunan massa diperkirakan terdiri atas 60 ribu orang.
Diselenggarakan tiga hari menjelang Konferensi Aksi Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa dan bertepatan dengan dua tahun peringatan bencana badai Maria yang mengamuk Puerto Riko yang menewaskan 4.645 orang, kampanye kali ini memang terbilang masif. Selain di Amerika Serikat, aksi protes berlangsung di 120 negara, termasuk di Indonesia, dengan jumlah peserta diperkirakan mencapai 4 juta orang.
Di New York, mogok sekolah bertambah semarak karena ada Greta Thunberg. Para demonstran bersorak ketika aktivis iklim asal Swedia yang mempelopori gerakan “Jumat untuk Masa Depan” itu naik ke panggung pada sore hari di Battery Park. Thunberg mengarahkan pidatonya kepada para pemimpin dunia yang menetapkan kebijakan iklim. “Mereka suka atau tidak, perubahan akan terjadi. Apakah kalian pikir mereka mendengarkan kita?” tutur bocah 16 tahun ini, disambut sorak-sorai para peserta aksi.
Setahun lalu, Thunberg memulai perjuangannya sendirian di Stokholm. Saban Jumat, sejak pagi hingga sore, dia mogok sekolah dan duduk di pelataran gedung parlemen sambil memajang poster bertulisan “Skolstrejk for Klimatet” (“Mogok Sekolah untuk Iklim”). Setelah berpekan-pekan menjalankan aksinya, remaja yang didiagnosis mengidap sindrom asperger ini menuai simpati warga. Protesnya yang merebak lewat media sosial telah menginspirasi ribuan pelajar di seluruh penjuru dunia untuk berbuat serupa.
Thunberg selalu tampil total, termasuk dalam soal sikapnya yang pantang menumpang pesawat. Menurut dia, emisi bahan bakar fosil pesawat cukup besar untuk turut memicu kenaikan suhu bumi yang mengakibatkan krisis iklim. Bahkan dia memilih berlayar dengan yacht menyeberangi Samudra Atlantik selama 15 hari demi bisa menjejakkan kakinya di New York sebulan lalu. “Dari Greta saya mengetahui betapa seriusnya krisis iklim,” ucap Dal Bon, yang telah beberapa kali bertemu dengan aktivis itu.
Kehadiran Thunberg di New York tidak semata bertujuan mengikuti aksi mogok sekolah yang disiapkan Dal Bon. Kepada ratusan delegasi yang menghadiri Konferensi Aksi Iklim PBB, Thunberg menyampaikan pidato yang bernas. Dia mengecam para pemimpin dunia karena mereka telah mengkhianati generasi muda seperti dia dengan kelambanan dalam mengatasi krisis iklim lewat badan dunia tersebut.
Dengan suara bergetar dan mata berkaca-kaca, Thunberg mengatakan para pemimpin dunia mengobral janji dan mengabaikan penderitaan banyak orang karena kerusakan ekosistem. “Ini semua salah. Saya seharusnya tidak di sini. Saya seharusnya kembali ke sekolah di seberang samudra. Tapi Anda datang memberikan harapan kepada kami, kaum muda. Kita berada di awal kepunahan massal dan yang bisa Anda bicarakan hanyalah uang dan dongeng pertumbuhan ekonomi. Beraninya Anda!” ujarnya.
Gebrakan Thunberg tak berhenti di situ. Sepekan sebelumnya, dia menyampaikan pesan yang keras dan tanpa basa-basi ketika diundang satuan tugas krisis iklim Senat Amerika sebagai bagian dari sekelompok aktivis pemuda. Dia mempertanyakan mengapa dia dan aktivis remaja lain yang memberikan pidato, bukan para ilmuwan, yang seharusnya didengarkan para pengambil kebijakan.
“Harap simpan pujian Anda. Kami tidak menginginkannya,” katanya kepada para wakil rakyat Negeri Abang Sam. “Jangan mengundang kami ke sini hanya untuk memberi tahu betapa kami menginspirasi tapi tanpa benar-benar berbuat apa pun, karena itu tidak ada gunanya bagi kami.”
Gerakan advokasi Thunberg memperoleh wajah baru saat dia dan 15 aktivis muda lain menggugat Jerman, Prancis, Turki, Brasil, dan Argentina ke PBB pada Senin, 23 September lalu. Para penggugat, yang berasal dari 12 negara dan berusia 8-17 tahun, menuding pemerintah kelima negara itu tidak berbuat cukup untuk menangkal pemanasan global. Kelimanya juga dianggap melanggar hak-hak anak sesuai dengan Konvensi PBB tentang Hak-hak Anak yang telah diratifikasi 30 tahun lalu.
Alessandro Dal Bon. Twitter.com/aledalbon1
Dalam dokumen gugatan setebal 101 halaman, yang diajukan atas nama para aktivis oleh firma hukum internasional Hausfeld, disebutkan bahwa konvensi yang disusun pada 1989 itu adalah perjanjian hak asasi manusia yang paling banyak diratifikasi. Konvensi itu menjabarkan hak-hak anak yang tidak dapat dicabut, termasuk hak hidup dan kesehatan. “Dampak krisis iklim, seperti panas ekstrem, kekeringan, polusi udara, dan kebakaran hutan, telah mengancam kehidupan mereka,” begitu sebagian isinya.
Salah satu penggugat, Ridhima Pandey, gadis 11 tahun asal Uttarakhand, India, mengatakan temperatur bumi yang lebih panas telah membuat air Sungai Gangga di daerahnya kisat. “Sekalinya turun hujan sangat deras, air sungai meluap dan memicu banjir,” katanya seperti dikutip Mashable.
Menurut laporan PBB, setidaknya 66 negara telah berkomitmen memangkas habis emisi karbon dioksida pada 2050. Tapi 14 negara, penyumbang seperempat dari total emisi karbon global, menolak menguranginya pada tahun depan sesuai dengan tenggat yang dipatok Sekretaris Jenderal PBB António Guterres. “Ongkos terbesar adalah tidak berbuat apa-apa dan mensubsidi industri berbahan bakar fosil yang sekarat,” kata Pandey dalam Konferensi Aksi Iklim.
Presiden Prancis Emmanuel Macron menentang gugatan yang diajukan Thunberg dan kawan-kawan. Macron menggambarkan gugatan itu sebagai “sikap yang sangat radikal” dan mungkin akan “memusuhi masyarakat”. Adapun Amerika Serikat dan Cina, dua penyumbang terbesar emisi karbon global, luput dari gugatan karena keduanya tidak meratifikasi Konvensi PBB tentang Hak-hak Anak.
Di sela upayanya menggugat ke PBB, Thunberg melanjutkan rutinitas aksinya. Dari Kota New York, dia menuju Montreal, Kanada, untuk memimpin kampanye penyelamatan iklim, Jumat, 27 September lalu. Kali ini dia menumpang mobil listrik milik aktor dan bekas Gubernur California, Arnold Schwarzenegger. “Saya kerap menerima tawaran bantuan dari banyak orang. Tapi ini penawaran terlucu yang pernah saya terima,” tutur Thunberg, yang berkendara bersama ayahnya.
MAHARDIKA SATRIA HADI (NEW YORK TIMES, THE VERGE, INSIDE CLIMATE NEWS, SKAVLAN)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo