Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rapat Badan Pengawasan Mah--kamah Agung pada 20 Agus--tus lalu sepakat memutuskan bahwa hakim agung ad hoc tindak pidana -korupsi pada Mahkamah Agung, Syamsul Rakan Chaniago, bersalah melakukan pelanggaran etik dan perilaku hakim. Tim pemeriksa Badan Pengawasan MA menyatakan Syamsul melakukan pelanggaran sedang karena terbukti -bertemu dengan pengacara terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung, yang kasusnya te-ngah ia ta-ngani. Ia juga dihukum karena di--anggap masih membuka kantor pengacara.
Tim pemeriksa pelanggaran etik Syamsul ini dipimpin Wakil Ketua Mahkamah Agung Non-Yudisial merangkap pelaksana tugas Ketua Badan Pengawasan MA, Sunarto, dengan anggota Syamsul Maarif, Irfan Fachrudin, dan Sekretaris Dwiarso Budi Santiarto. “Dia dihukum nonpalu enam bulan,” kata juru bicara Mahkamah Agung, Andi Samsan Nganro, Selasa, 24 September lalu. Nonpalu artinya hakim agung itu dilarang menangani perkara.
Pemeriksaan Syamsul bermula dari la-poran Koalisi Masyarakat Sipil yang menilai putusan kasasi terhadap bekas Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional, Sya-f-ruddin Temenggung, itu sarat kejang-galan. Badan Pengawasan MA menerima laporan itu pada 20 Juli lalu. Sekitar satu pekan sebelumnya, majelis memutuskan melepaskan Syafruddin dari semua dakwaan korupsi penerbitan surat keterangan lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia untuk taipan Sjamsul Nursalim.
Dipimpin Salman Luthan dengan anggota Syamsul dan Mohamad Askin, majelis kasasi sampai harus menggelar musyawarah hakim hingga tiga kali. Sidang pertama semestinya pada 25 Juli lalu, tapi batal karena satu hari sebelum sidang ketua majelis mendadak harus ke Eropa Timur. Majelis lantas mengundurkan jadwal sidang delapan hari kemudian. Namun sidang kembali tertunda karena ada anggota majelis yang belum menuangkan pendapatnya pada blangko putusan.
Karena pada sidang 3 Juli tersebut tiga hakim agung berbeda pendapat, salah sa-tu dari mereka mengusulkan anggota majelis ditambah menjadi lima orang. Tapi hakim lain menolak usul tersebut karena dikejar tenggat masa tahanan terdakwa, yang akan berakhir pada 9 Juli. Majelis kembali menggelar sidang sehari sebelum masa tahanan Syafruddin habis, tapi hasilnya dianggap tidak sah karena ada satu hakim agung yang belum menuangkan pendapatnya ke blangko putusan. Keesokan harinya, majelis baru mengetuk putusan. “Sidang mundur beberapa kali juga untuk pendalaman,” ujar Salman Luthan.
Dalam putusan Syafruddin itu, tiga anggota majelis kasasi berbeda pendapat. Hakim Salman sebagai ketua majelis menilai putusan majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta untuk Syafruddin awal Januari lalu sudah tepat. Syafruddin dihukum 15 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar. Putus-an ini lebih berat dari putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta yang menghukum Syafruddin 13 tahun penjara dan denda Rp 700 juta, pada 24 September 2018. Adapun hakim Askin menyatakan kasus itu meru-pakan pelanggaran administrasi.
Sama halnya dengan Askin, Syamsul me--nolak putusan Pengadilan Tinggi DKI Ja--karta. Tapi ia menyatakan perkara Sya-fruddin merupakan urusan perdata. Menu-rut Syamsul, kasus itu sebenarnya hanya soal master of settlement and acqui-sition agreement atau perjanjian pengembalian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dengan jaminan aset. “Ini soal perikatan, sehingga ranahnya hukum perdata,” ucap Syamsul, menjelaskan pertimbangan pu-tusannya.
Suara Syamsul dan Askin yang menyatakan perkara itu bukan tindak pidana korupsi mengalahkan pendapat Salman. Saat akan merumuskan putusan, menurut Salman kepada Tempo, dua anggota majelis yang lain berusaha merayu dia agar meng-ubah pendapatnya. “Tapi saya menolak,” katanya. Syamsul membantah -jika disebut membujuk Salman agar mengubah pendapatnya. “Tak ada soal itu,” ujarnya.
Karena masa tahanan Syafruddin habis pada hari itu, sorenya Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat Mahkamah Agung Abdullah mengumumkan putusan terhadap Syafruddin. Putusan tersebut langsung mendapat sorotan dari sejumlah kalangan. Koalisi Masyarakat Sipil, yang beranggotakan sejumlah lembaga swadaya masyarakat antikorupsi, menilai putusan Syafruddin janggal. Salah satunya adalah tiga anggota majelisnya berbeda pendapat. Mereka pun lantas melaporkan tiga anggota majelis perkara itu ke Badan Pengawasan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.
Kantor pengacara Syamsul Rakan Chaniago di kompleks perkantoran Sudirman Point, Jalan Jenderal Sudirman, Pekanbaru, 12 Juli 2019. / TEMPO/ RIYAN NOFI
Berbekal laporan itu, Badan Pengawas-an MA memeriksa ketiga hakim -tersebut. Hing-ga akhirnya mereka mengantongi informasi adanya pertemuan Syamsul de-ngan peng-acara Syafruddin. Menurut Andi Samsan Nganro, Syamsul diperiksa tiga kali untuk diklarifikasi soal pertemuan ter-sebut. Termasuk mengkonfirmasi -bukti re--kaman kamera pengintai (CCTV) yang di--ambil dari selasar Starbucks, lantai 1 Plaza Indonesia, Jakarta Pusat.
Dari rekaman CCTV itu, menurut seorang anggota tim pemeriksa, terlihat -Syamsul bertemu dengan salah satu kuasa hukum Syafruddin, Ahmad Yani, pada 28 Juni 2019. Mereka sedang minum kopi di Segafredo Zanetti Espresso, lantai 1 Plaza Indonesia. Pertemuan berlangsung mulai pukul 17.38 hingga 18.30.
Setelah ngopi, Syamsul terlihat -menuju Masjid Ar-Rahman di P2 Plaza Indonesia. Seusai salat, Syamsul dan Ahmad Yani terlihat kembali bersama-sama menunggu mobil mereka. “Pak Syamsul mengakui adanya pertemuan ini, tapi keterangan dia pertemuan itu hanya untuk kongko,” tutur Andi.
Sebelum pertemuan, kata Andi, Syamsul terbukti berkomunikasi dengan Ahmad Yani melalui sambungan telepon pada 13 Juni 2019 pukul 12.43 WIB. Saat pemeriksaan, tim Badan Pengawasan MA memeriksa telepon seluler hakim nonkarier tersebut. “Pertemuan dan komunikasi itu dianggap kesalahan,” ujar Andi.
Selain terbukti berkomunikasi dan bertemu dengan pengacara Syafruddin, Andi mengatakan, Syamsul kedapatan masih membuka kantor pengacara di Pekanbaru. “Padahal yang bersangkutan menjabat hakim ad hoc tindak pidana korupsi pada Mahkamah Agung sejak 2010,” ucapnya.
Menurut Andi, Syamsul kepada tim pemeriksa mengatakan kantor hukum tersebut dijalankan anak dan menantunya. Berdasarkan fakta-fakta tersebut, tim pemeriksa menyatakan Syamsul Rakan Chaniago dihukum tidak boleh menangani perkara selama enam bulan sesuai dengan Pasal 21 b Peraturan Bersama Ketua MA dan Ketua Komisi Yudisial Nomor 02/PB/MA/IX/2012.
Kendati putusan sanksi etik sudah diketuk sebulan lalu, Syamsul masih memiliki jadwal sidang. Bahkan, per 24 September lalu, ia mempunyai agenda sidang musya-warah bersama Salman Luthan yang menangani enam perkara kasasi.
Syamsul mengatakan hingga saat ini belum menerima putusan sanksi etik dari Badan Pengawasan Mahkamah Agung. Saat ia akan mengambil putusan itu, anggota staf Biro Kepegawaian sedang berdinas ke luar kota. Semestinya sanksi ini berlaku sejak diputuskan. “Tentang sidang yang saya laksanakan sebagai anggota majelis, itu perkara yang masuk atau diterima sebelum saya diperiksa,” ujar Syamsul. Seusai pemeriksaan tim Badan Pengawasan Mahkamah Agung, ia mengaku tidak menerima perkara lagi.
Ihwal pertemuan dengan Ahmad Yani, Syamsul menyatakan sudah mengenal lama bekas politikus Partai Persatuan Pembangunan itu. “Dia junior saya di Ikadin (Ikatan Advokat Indonesia),” katanya. Sebelum menjadi hakim ad hoc tindak pidana korupsi di Mahkamah Agung sejak 2010, Syamsul awalnya berprofesi sebagai pengacara. “Sudah lama kami sering ngumpul, bukan sekarang atau akhir-akhir ini saja,” ucapnya.
Syamsul memastikan tidak pernah bercerita mengenai perkara kepada Ahmad Yani. Menurut dia, putusannya dalam perkara kasasi Syafruddin Arsyad Temenggung tanpa pengaruh dari siapa pun. Mengenai kantor pengacara yang juga dipersoalkan Badan Pengawasan Mahkamah Agung, Syamsul mengakui memang masih menggunakan namanya. “Saya tidak praktik hukum lagi. Itu dipegang anak saya dan suaminya. Kan, tidak harus tutup,” ujarnya.
Ahmad Yani mengaku tidak begitu ingat pernah bertemu dan berkomunikasi dengan Syamsul. “Dengan adanya isu saya bertemu dengan Syamsul Rakan, bingung juga saya. Ada pertemuan-pertemuan di mana?” kata mantan anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat itu.
Saat dimintai konfirmasi soal pertemuan yang berlangsung di Plaza Indonesia pada 28 Juni 2019 atau sekitar sepekan sebelum sidang musyawarah kasasi Syafruddin Temenggung digelar, Ahmad Yani menyatakan pertemuannya dengan Syamsul bisa terjadi secara tidak sengaja. “Saya sering di Plaza Indonesia. Mungkin aja ketemu karena saya bertemu dengan banyak orang,” ujar pria yang kini menjadi politikus Partai Bulan Bintang ini.
Pertemuan Syamsul dan Ahmad Yani ini juga sedang diproses Komisi Yudisial. Ketua Komisi Yudisial Jaja Achmad Jayus mengatakan timnya sedang menyelidiki dugaan skandal ini. “Tim kami masih bekerja. Bisa jadi putusannya beda dengan Bawas MA. Kami masih mengumpulkan bukti-bukti lain,” kata Jaja.
Ketua Komisi Pemberantasan -Korupsi Agus Rahardjo dan wakilnya, Laode Muham-mad Syarif, mengaku sudah mendengar sanksi etik untuk Syamsul Rakan Chaniago. Agus mengatakan lembaganya akan menentukan sikap ketika sudah menerima salin-an putusan perkasa kasasi dari Mahkamah Agung. Komisi antikorupsi berencana menjadikan putusan etik itu sebagai novum untuk peninjauan kembali. “Sampai hari ini salinannya belum kami terima. Kami akan mengambil langkah-langkah setelah menerima salinan putusan,” ujar Agus.
LINDA TRIANITA, ANTON APRIANTO, MUSTAFA SILALAHI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo