Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Setelah Ismail Haniyeh, pemimpin politik Hamas meninggal akibat serangan di Iran pada Rabu, 31 Juli 2024, publik mulai bertanya-tanya siapakah yang akan mengambil alih kelompok tersebut. Nama Khaled Mashal, mantan pemimpin politik Hamas sebelum Haniyeh, pun mencuat dan digadang-gadang akan menggantikan posisi kelompok penguasa Jalur Gaza Palestina itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Profill Khaled Mashal
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dilansir dari britannica.com, Khaled Mashal yang lahir pada 28 Mei 1956 di Silwad, Tepi Barat, adalah salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah modern Palestina. Kehidupan Mashal dimulai di Silwad, sebuah kota kecil di Tepi Barat yang saat itu berada di bawah administrasi Yordania.
Pada 1967, ketika Mashal baru berusia 11 tahun, Israel menduduki Tepi Barat setelah Perang Enam Hari. Keluarga Mashal, seperti banyak keluarga Palestina lainnya, dipaksa melarikan diri. Mereka kemudian menetap di Kuwait, di mana ayahnya telah bekerja sebagai buruh tani dan penceramah agama sejak akhir 1950-an.
Kuwait menjadi tempat Mashal tumbuh dewasa dan mulai membentuk identitas politiknya. Dari usia muda, ia dikenal sebagai individu yang sangat religius dan tertarik pada aktivisme politik Islam. Pada usia 15 tahun, Mashal bergabung dengan cabang Ikhwanul Muslimin Palestina di Kuwait. Pengalaman awal ini menjadi landasan bagi keterlibatannya yang lebih dalam dalam gerakan Islamis Palestina.
Pada 1974, Mashal masuk ke Universitas Kuwait untuk mempelajari fisika. Namun, peranannya di dunia akademik tidak menghalanginya untuk terlibat aktif dalam politik kampus. Di universitas, Mashal dan rekan-rekannya yang memiliki pandangan Islamis sering bersitegang dengan kelompok nasionalis sekuler yang mendominasi Serikat Mahasiswa Palestina.
Ketegangan ini akhirnya mendorong Mashal dan kelompoknya untuk membentuk asosiasi mahasiswa sendiri yang lebih sejalan dengan prinsip-prinsip Islam. Setelah menyelesaikan pendidikannya, Mashal tetap tinggal di Kuwait dan mengajar fisika. Namun, kecintaannya pada perjuangan Palestina dan keyakinannya pada gerakan Islamis mendorongnya untuk berhenti mengajar pada 1984.
Ia kemudian memfokuskan seluruh waktunya pada kegiatan politik, termasuk mengorganisir dan menggalang dana untuk membangun jaringan layanan sosial Islam di Jalur Gaza dan Tepi Barat. Pada saat yang sama, ia juga bekerja untuk memperkuat kemampuan militer kaum Islamis Palestina yang saat itu masih jauh tertinggal dibandingkan dengan organisasi-organisasi gerilya lainnya seperti Fatah di bawah naungan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO).
Pada 1987, sebuah peristiwa penting terjadi dalam sejarah Palestina: intifadah pertama. Pemberontakan massal ini menentang pendudukan Israel di Tepi Barat dan Jalur Gaza dan dari pemberontakan inilah Hamas secara resmi muncul sebagai organisasi Islam dengan Khaled Mashal sebagai salah satu pemimpinnya.
Hamas yang didirikan oleh Sheikh Ahmed Yassin segera dikenal karena pendekatannya yang keras terhadap Israel. Piagam organisasi ini yang diterbitkan pada 1988 menyerukan jihad untuk mendirikan negara Islam yang mencakup seluruh wilayah Palestina historis. Sikap keras ini menempatkan Hamas dalam posisi berlawanan dengan PLO yang saat itu mulai bergerak menuju pengakuan terhadap hak Israel untuk eksis.
Setelah invasi Irak ke Kuwait pada 1990, Mashal pindah ke Yordania. Di Yordania, Hamas mendirikan biro politik di pengasingan pada 1992 dan Mashal diangkat sebagai salah satu anggotanya. Biro ini bertanggung jawab atas hubungan internasional dan penggalangan dana untuk Hamas. Pada 1996, Mashal terpilih sebagai ketua biro politik Hamas, sebuah posisi yang akan dipegangnya selama lebih dari dua dekade.
Pada 1997, Benjamin Netanyahu yang saat itu menjabat sebagai Perdana Menteri Israel, memerintahkan pembunuhan Khaled Mashal sebagai balasan atas serangan bom bunuh diri yang dilakukan oleh Hamas. Operasi ini dilakukan oleh agen-agen Mossad, dinas rahasia Israel yang menyemprotkan racun lambat kepada Mashal di jalanan Amman, Yordania.
Namun, rencana ini gagal ketika salah satu pengawal Mashal menyadari serangan tersebut dan berhasil menangkap dua agen Israel sebelum mereka melarikan diri. Insiden ini menciptakan ketegangan diplomatik antara Yordania dan Israel. Raja Hussein dari Yordania yang khawatir bahwa pembunuhan di wilayahnya akan merusak perjanjian damai yang baru saja ditandatangani dengan Israel dan mengguncang stabilitas kerajaannya, menuntut Netanyahu untuk memberikan penawar racun yang digunakan terhadap Mashal.
Netanyahu, di bawah tekanan internasional dan domestik, akhirnya menyerah dan memberikan penawar tersebut, yang menyelamatkan nyawa Mashal. Meskipun selamat dari upaya pembunuhan ini, keberadaan Mashal di Yordania tidak bertahan lama.
Pada 1999, pemerintah Yordania melakukan tindakan keras terhadap Hamas, termasuk memenjarakan Mashal untuk sementara waktu sebelum akhirnya mengusir biro politik Hamas dari negara tersebut. Setelah pengusiran ini, Mashal dan para pemimpin Hamas lainnya mencari tempat perlindungan baru, dan mereka akhirnya menetap di Damaskus, Suriah, pada 2001.
Damaskus menjadi markas besar Hamas selama satu dekade berikutnya, di mana Mashal terus memimpin gerakan ini melalui masa-masa sulit. Pada 2004, setelah pembunuhan pendiri Hamas, Sheikh Ahmed Yassin, dan penggantinya, Abd al-Aziz al-Rantissi, dalam waktu kurang dari satu bulan, Mashal menjadi pemimpin utama Hamas.
Di bawah kepemimpinannya, Hamas mempertahankan sikap kerasnya terhadap Israel, tetapi juga menunjukkan keterbukaan terhadap kemungkinan gencatan senjata jangka panjang jika Israel bersedia mundur ke perbatasan sebelum 1967.
Pada pertengahan 2017, Khaled Mashal mengakhiri masa jabatannya sebagai ketua biro politik Hamas. Ia digantikan oleh Ismail Haniyeh, yang sebelumnya memimpin pemerintahan Hamas di Jalur Gaza selama sekitar satu dekade. Penggantian ini menandai pergeseran kekuasaan dalam Hamas dari para pemimpin di luar negeri, seperti Mashal, kepada mereka yang tinggal di Jalur Gaza.
MICHELLE GABRIELA I BRITTANICA