KEBIMBANGAN Raja Hussein mengenai perdamaian di Timur Tengah sedikit terobati, selesai ia bersantap siang dengan Presiden Mesir Husni Mubarak di Istana Nadwa, Amman, Kamis pekan lalu. Ini adalah pertemuan mereka yang kesepuluh selama sepuluh bulan terakhir. Pertemuan kali ini cukup panjang, hampir 12 jam, karena begitu banyak soal yang didiskusikan, mulai dari soal keikutsertaan Oganisasi Pembebasan Palestina (PLO) di meja perundingan sampai keinginan Perdana Menteri Israel Shimon Peres berkunjung ke Amman. Niat mengunjungi ibu kota Yordania itu dilontarkan Peres di tengah-tengah kesibukannya mengikuti perayaan ulang tahun PPB ke-40, di New York, dua pekan lalu. Bahkan ia juga telah mengancer-ancer jadwalnya: sebelum 1985 berakhir. Misi utama Peres adalah untuk mengakhiri pertikaian negara Israel dengan Yordania, yang sudah berlangsung 37 tahun. Selain itu, ia berharap beroleh peluang melangsungkan perundingan internasional untuk mewujudkan perdamaian di Timur Tengah. Dalam konsep Peres, perundingan internasional itu akan melibatkan anggota tetap Dewan Keamanan PBB kecuali, seperti bisa diduga, Uni Soviet dan RRC. Selain itu, PLO juga tidak usah bermimpi bisa duduk di meja perundingan tersebut. Tidak heran jika pertemuan Hussein-Mubarak lebih banyak membicarakan tawaran Israel. Hussein sendiri, dalam sebuah wawancaranya dengan surat kabar The New York Times, yang disiarkan pekan lalu, dengan tegas menyatakan sikap tidak akan melepaskan PLO dari kerangka perundingan perdamaian. "Gagasan Peres itu menimbulkan persoalan serius bagi saya," ujarnya. Persoalan Hussein bisa dimengerti karena, Juni lalu, ia telah mencoba melontarkan gagasan perundingan internasional serupa, yang melibatkan lima negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Hanya saja, waktu itu, Amerika Serikat tidak bernafsu lantaran melibatkan Soviet. Lagi pula, AS sudah bertekad tidak mau berhadapan dengan PLO di meja perundingan apa pun. Itulah sebabnya Hussein menampik keinginan Peres. Sebenarnya ada alasan lain di balik penolakan Hussein. Ia tidak mau mengkhianati perjanjian mengikutsertakan PLO dalam delegasi Arab, yang ditandatangani Yasser Arafat di Amman, Februari lalu. Sementara itu, Hussein juga diingatkan, Syria akan hasil KTT negara-negara Arab di Fez, Marokko, September 1982, tatkala melanjutkan pembicaraan babak kedua dengan delegasi Damaskus di Arab Saudi, pekan lalu. KTT di Fez menyepakati, akan mengikutsertakan semua pihak yang terlibat dalam pertikaian Timur Tengah di meja perundingan. Selain itu, Syria mendesak Yordania untuk tidak melakukan perundingan sendiri dengan Israel. Lalu, apa maksud gagasan Peres? Ada keinginan Israel untuk merangkul Yordania seperti dilakukannya dengan Mesir melalui perundingan Camp David. Dengan cara begitu, secara tidak langsung, Israel telah melindungi wilayah Tepi Barat dari ancaman kelompok-kelompok yang mengaku dirinya wakil Palestina. Tapi, apa pun yang tersembunyi di balik gagasannya, Peres ternyata harus menghadapi serangan diparlemen, terutama dari Likud, kelompok utama yang mendukung koalisinya. Mereka menganggap gagasan Peres sama saja dengan "mengundang keterlibatan pihak luar dalam proses perdamaian." Serangan Likud itu tidak menggoyahkan keinginan Peres. "Tidak sepatah kata pun akan saya cabut dari gagasan tersebut," katanya di depan anggota parlemen. Setelah berdebat selama tujuh jam, akhirnya para anggota parlemen menyetujui gagasan Peres. Amerika juga tidak tinggal diam menyokong gagasan Peres. Pekan lalu, Asisten Menlu Richard W. Murphy mengunjungi Hussein di Amman. Upaya pemerintahan Ronald Reagan tidak cuma sampai di situ. Yordania perlu diperkuat secara militer agar bisa menjadi "polisi" perdamaian. Karena itu, Reagan mmenyetujui penjualan senjata senilai US$ 1,9 milyar kepada Yordania. Tapi Senat menyatakan keberatan terhadap penjualan perlengkapan perang itu. Diduga Senat, yang dipengaruhi lobi Yahudi, ingin menekan Yordania mau berunding dengan Israel. Penundaan itu membuat berang Hussein. Menurut dia, ancaman itu tidak ada kaitannya dengan upaya perundingan perdamaian. Kendati dibayangi ancaman Senat AS Yordania tampak tidak terlalu khawatir. Toh mereka sudah pernah mengikat perjanjian pembelian peralatan perang dengan Uni Soviet. Bahkan bulan lalu, Yordania telah sepakat membeli peralatan perang berteknologi tinggi dari Inggris senilai US$ 380 juta. Sementara itu, kabarnya, Yordania sedang mengincar pesawat-pesawat pemburu dari Prancis dan tank dari Argentina. Bisa jadi Reagan, yang bermaksud menjual peralatan perang kepada Yordania agar bisa mempertahankan diri dari Syria, menentang persekutuan Yordania-Palestina. James R. Lapian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini