Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Ada Ancaman Di Hilir Asahan ?

Pabrik pulp milik PT. Inti Indorayon utama tetap akan dibangun di Porsea, Sum-ut, meskipun mendapat kecaman dari berbagai pihak. Dikhawatirkan bisa menimbulkan erosi, & limbahnya merusak bendungan2.(ling)

2 November 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DERU suara buldoser mulai membisingkan Desa Sosorladang, Tapanuli Utara. Alat-alat besar itu sudah 3 minggu nongkrong di kawasan berbukit yang letaknya 15 km dari Porsea, di tepi Danau Toba. Buldoser itu akan meratakan bukit-bukit, untuk penapakan pertama pabrik pulp yang direncanakan terbesar di ASEAN. Dataran rata yang diperlukan 200 ha, yang kabarnya akan rampung Januari tahun depan. Dua tahun kemudian, pabrik diharapkan selesai dibangun, dan PT Inti Indorayon Utama (IIU), dengan investasi sebesar Rp 213 milyar, akan memulai berproduksi. Rupanya, pabrik pulp yang semula banyak menerima kritik-kritik dan tertunda pembangunannya akhirnya jadi juga didirikan. Itu pun setelah Menteri Perindustrian Hartarto, 10 Oktober lalu, mengumumkan pada pers bahwa pemerintah telah memberi izin pembangunan pabrik pulp ini. Menurut rencana terbaru, kalau pabrik ini rampung, ia akan menampung 5.000 tenaga kerja lokal. "Bukankah ini suatu berkah bagi penduduk sekitar?" ujar Hakim Harianto, Direktur Utama IIU. Dia juga mengatakan bahwa separuh dari lahan yang 200 ha itu akan digunakan untuk kawasan permukiman karyawan. Berikut taman penghijauannya. "Permukiman yang nyaman yang bisa mengalahkan Cipanas, Puncak," tambahnya. Bahan bakunya? IIU memiliki HPH seluas 100 ribu ha di hutan pinus merkusii di kawasan Aek Nauli, Habinsaran, dan Samosir, terentang antara Kabupaten Tapanuli Utara dan Simalungun. Kawasan ini terbakar 4 tahun lalu (TEMPO, 5 September, 1981). Justru karena hutan itu pernah terbakar dan belum "sehat" betul, Menteri Negara KLH Emil Salim pernah mengirim surat ke berbagai instansi yang bersangkutan agar hutan reboisasi yang permukaannya belum tertutup semua tak diproduksi dalam jangka pendek. Bisa berakibat erosi pada Danau Toba. Kemudian, ada pula SKB 3 menteri (Pekerjaan Umum, Kehutanan, dan KLH) yang menetapkan areal HPH milik IIU itu termasuk DAS (daerah aliran sungai) prioritas. SKB 4 April 1984 itu menetapkan 22 DAS prioritas, termasuk daerah Sungai Asahan itu. Namun yang dianggap tak cocok untuk pengembangan pabrik itu bukan cuma daerah hutan pinusnya, melainkan juga lokasi pabriknya dianggap bisa membahayakan lingkungan. Karena itu, tanggal 1 Juni 1985, keluar lagi memorandum Emil Salim, dengan saran, agar pabrik pulp dipindahkan ke kawasan yang lebih hilir Sungai Asahan. Emil menyebutkan Kualatanjung, di zone industri Indrapura. Sebab, seperti yang dikatakan Menteri Pekerjaan Umum Suyono Sosrodarsono, tanggal 29Juni 1985, pabrik pulp dan kertas memiliki potensi pencemaran tinggi. Yang dikhawatirkan ialah bendungan Siruar, yang cuma berjarak 3 km dari lokasi pabrik. Lebih ke hilir lagi, ada pula dam raksasa Sigura-gura dan Tangga, milik proyek PLTA Asahan. Tampaknya, beberapa peringatan itu tak membuat rencana mendirikan pabrik batal sekalipun Walhi dalam hari jadinya yang ke-5, 21 Oktober lalu, ikut memprotes kehadiran pabrik itu di sana. "Kekhawatiran itu tak beralasan," kata Handoko, tamatan ITB Jurusan Kimia yang kini jadi staf ahli IIU. Menurut Handoko, IIU akan membuat cerobong boiler setinggi 85 m. "Dua kali lipat Hotel Danau Toba," ujarnya lagi. Hotel milik Pardede di Medan ini bertingkat 8. Tapi 'kan bukan masalah polusi udaranya yang dikritik, tapi polusi limbahnya dan Sungai Asahan yang tercemar. Untuk ini pun staf ahli itu tak kehilangan jawaban. Handoko kemudian bercerita bahwa dua bak besar yang berisi zat kapur akan menetralkan air limbah. Air itu tidak langsung dibuang ke Asahan, tetapi dialirkan dulu ke persawahan yang proyek pencetakannya konon akan ditangani pemerintah. Air yang dianggap ber-BOD (biochemical oxygen demands) rendah ini, kemudian baru dibuang ke Asahan. Handoko kemudian mengutip hasil peninjauan Dirjen Industri Kimia Dasar Ir. Sidharta ke Sungai Willamette di Oregon, USA. "Di sana, ada sembilan pabrik pulp dekat PLTA Sullivan," cerita Handoko tentang laporan Sidharta yang rupanya titik penentuan diizinkannya pabrik pulp ini. Konon, IIU akan menerima teknologi canggih dari pabrik pulp di Oregon, khususnya treatment air limbah. Peninjauan Sidharta Mei lalu menyimpulkan bahwa turbin PLTA Sullivan, meski terbuat dari besi tuang (cast iron) tidak menjadi karat atau korosi, meski di hulunya ada sembilan pabrik pulp. "Padahal," tukas Handoko, "PLTA itu sudah beroperasi selama 90 tahun, 50 tahun sendiri, tanpa sistem treatment." Handoko memang tidak merinci kapan pabrik pulp di Oregon itu berdiri, tapi di tahun 1950, Sungai Willamette pernah sangat tercemar dan akibatnya, ikan salmon di sana musnah. Sistem penanggulangan limbah memang baru dibikin di tahun 1965, dan seluruh sistem pencegahannya selesai 7 tahun kemudian. Sebuah sumber TEMPO di Jakarta meragukan "skenario" PLTA Sullivan itu. Tidak relevan kalau dibandingkan dengan PLTA Asahan. Sumber tadi menyebutkan, tidak berkaratnya turbin di PLTA Sullivan karena tak setitik pun air Sungai Willamette yang dipakai pabrik pulp masuk ke air sungai yang menggerakkan turbin. Sungai dibagi dalam tiga jalur pemisah untuk keperluan yang berbeda. Selain itu, di sana ada perbedaan suhu. Suhu Asahan sekitar 26-28C dan Willamette, 5-20C saja. Kedua sungai itu mempunyai derajat keasaman yang berbeda pula. Besar sungai berbeda pula. Sungai yang bermuara di Tanjungbalai, panjangnya hanya 150 km dengan lebar rata-rata 30 m. Sedang di Willamette, panjangnya 400 km dengan lebar 150 m. Kesimpulan, kedua tempat itu tak bisa dijadikan bahan perbandingan. TAMBAHAN, betapapun canggihnya teknologi penanganan limbah, kapasitas pencemarannya tetap tinggi. Air limbah akan tetap berwarna cokelat, meski melalui sistem treatment. Ketika masuk sungai, air cokelat akan berbaur dan warnanya akan berubah sedikit cokelat kehijauan. Intensitas warna ini akan mengurangi transisi cahaya matahari pada air. Pada kondisi ini, sulfur dan bahan organiknya akan membentuk hydrogen sulfide. Rentetan terakhir akan membuahi sulfurouszoid yang, betapa kecilnya pun, akan mengakibatkan logam jadi korosif. Yang terkena, "meski dalam jangka panjang" demikian sumber tadi, akan membuat karat penstock, turbin dan pipa air pendingin. Tetapi Menteri Hartarto telah meyakinkan, "Pengkajian dan tindakan pengamanan akan dilakukan." Sedangkan sumber TEMPO yang tetap bernada khawatir itu cuma berkata, "Agak aneh, kalau ada orang yang rela merusakkan miliknya sendiri." Di hilir Sungai Asahan, selain ada tiga dam raksasa (Siruar, Sigura-gura, dan Tangga), ancaman bisa terjadi pada PT Inalum, pabrik aluminium yang 25% sahamnya milik pemerintah. Toeti Kakiailatu Laporan Bersihar Lubis (Medan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus